August 8, 2024

Dinamika Isu Penegakan Hukum Pemilu dalam Diskursus RUU Pemilu

Isu penegakkan hukum pemilu menjadi isu yang kerap diperdebatkan dalam rapat dengar pendapat (RDP) yang diadakan oleh Panitia khusus (Pansus) Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilu. Mulai dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Kepolisian Republik Indonesia (Polri), hingga Mahkamah Agung (MA), memberikan usulan masing-masing.

Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) mengusulkan agar Bawaslu fokus menangani pelanggaran administrasi pemilu dan menyerahkan pelanggaran pidana pemilu kepada kepolisian. Sedangkan sengketa tahapan pemilu dan hasil pemilu diselesaikan oleh Mahkamah Kehormatan Pemilu (MKP) yang merupakan transformasi dari DKPP. Alasannya, sengketa pemilu mesti diselesaikan dalam waktu singkat sehingga membutuhkan peradilan khusus agar penyelesaian tidak berlarut-larut.

“Saran saya, Bawaslu fokus tangani pelanggaran administrasi saja. Sengketa tahapan dan hasil pemilu biar ditangani oleh MKP. MK (Mahkamah Konstitusi) sendiri sebenarnya keberatan harus menangani sengketa hasil pemilu,” kata Ketua DKPP, Jimly Asshidiqqie, pada rapat dengar pendapat di Senayan, Jakarta Selatan (7/12).

Bawaslu sendiri menyatakan siap atas tugas yang diamanahkan oleh Pemerintah dalam RUU Pemilu untuk menangani pelanggaran administrasi dan sengketa tahapan pemilu. Bawaslu menyerahkan penanganan pelanggaran pidana pemilu kepada kepolisian dan kejaksanaan. Menurut Bawaslu, yang terpenting dari penegakan hukum pemilu adalah lembaga penanganan satu atap yang khusus menangani suatu jenis perkara pemilu.

“Sentra Gakkumdu (Penegakan Hukum Terpadu) itu perlu dievalusi. Banyaknya pihak yang terlibat menyebabkan alur koordinasi jadi panjang, sehingga menghambat kinerja Bawaslu. Jadi, baiknya adalah otoritas satu atap,” jelas anggota Bawaslu, Nasrullah.

Berbeda dengan kedua usulan tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil mengusulkan agar sengketa tahapan pemilu diselesaikan oleh majelis ad hoc di pengadilan tinggi di setiap provinsi. Mekanisme penyelesaian yakni pelapor menggunakan hak sanggahnya ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), baru kemudian mengajukan sengketa ke majelis ad hoc tersebut. Sedangkan, untuk sengketa hasil, Koalisi Masyarakat Sipil mengusulkan agar tetap diselesaikan oleh MK.

“Untuk sengketa tahapan, di naskah kodifikasi UU Pemilu kami usulkan untuk membentuk majelis ad hoc di pengadilan tinggi setiap provinsi. Kalau sengketa hasil, kita usulkan seluruhnya di MK,” kata Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, kepada Rumah Pemilu (5/1).

Apabila pembentukan majelis ad hoc tidak memungkinkan, Koalisi Masyarakat Sipil mengusulkan agar sengketa tahapan pemilu diselesaikan oleh Bawaslu. Hal ini ditujukan untuk menghindari disparitas putusan. Namun, Koalisi Masyarakat Sipil memberikan catatan agar Bawaslu melakukan penguatan pada hukum acara dan memperbaiki aspek penyelesaian sengketa lainnya.

“Ini merujuk pada penyelesaian sengketa di Pemilu 2014. Bawaslu perlu melakukan penguatan terkait hukum acara, supporting peradilan, dan aspek penyelesaian sengketa lainnya,” jelas Titi.

Sementara itu, mengenai sengketa administrasi, Koalisi Masyarakat Sipil mengusulkan agar pemohon menyampaikan sengketa administrasi pemilu kepada Bawaslu paling lambat enam hari sejak dikeluarkannya keputusan KPU. Selanjutnya, Bawaslu wajib memutus sengketa administrasi pemilu dalam batas waktu paling lambat 14 hari sejak permohonan sengketa teregistrasi.

Pemohon yang tak puas dengan putusan Bawaslu dapat melakukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN), dan PT TUN wajib memutus perkara tersebut dalam waktu paling lambat 10 hari. Putusan PT TUN bersifat final dan mengikat.

Selanjutnya, Koalisi Masyarakat Sipil mengusulkan agar pengajuan sengketa hasil pemilu kepada MK dilakukan dalam waktu 6 kali 24 jam sejak ditetapkannya hasil pemilu oleh KPU. MK wajib memutus perselisihan hasil pemilu anggota legislatif dalam waktu paling lambat 30 hari, dan hasil pemilu presiden dan wakil presiden dalam waktu paling lambat 25 hari sejak permohonan teregistrasi.

“Kami harap ada fokus pembahasan mengenai penyelesaian sengketa pemilu dan penegakan hukum pemilu oleh Pansus RUU Pemilu. Selama ini, penegakan hukum pemilu kurang diperhatikan, padahal ini tak kalah penting,” tutup Titi.