November 15, 2024

Dinamika Perseorangan di Pilkada

 

Pendaftar jalur perseorangan Pilkada 2017 meningkat dibandingkan Pilkada 2015. Padahal persyaratan jalur perseorangan Pilkada 2017 berdasar UU No.10/2016 lebih berat dibanding pilkada-pilkada sebelumnya. Konteks dinamika politik masing-masing daerah menjadi faktor lain selain soal ketersediaan/kekosongan figur calon pemimpin.

Rumahpemilu.org merujuk peningkatan pendaftar jalur perseorangan pada sistem informasi tahapan pilkada (Sitap) Komisi Pemilihan Umum (KPU). Total pendaftar jalur perseorangan Pilkada 2015 berjumlah 167 pasangan calon. Jumlah ini tersebar di 94 daerah dari 269 daerah jumlah keseluruhan yang menyelenggarakan Pilkada 2015.

Sedangkan pendaftar di Pilkada 2017 berjumlah 116 pasangan calon. Jumlah ini tersebar di 57 daerah dari 101 daerah jumlah keseluruhan yang menyelenggarakan Pilkada 2017. Angka pendaftar jalur perseorangan Pilkada 2017 berarti naik 0,5% dibanding Pilkada 2015.

Secara umum, UU No.10/2016 memperberat syarat jalur perseorangan. Pasal  41 menekankan, calon jalur perseorangan bersyarat mempunyai dukungan sejumlah penduduk berhak pilih dan terdapat dalam daftar pemilih tetap pemilu terakhir. Provinsi berpenduduk sampai 2 juta jiwa, harus didukung setidaknya 10% DPT. Provinsi berpenduduk 2 sampai 6 juta jiwa, 8,5%. Provinsi berpenduduk 6 sampai 12 juta jiwa, 7,5%. Dan, provinsi berpenduduk lebih 12 juta jiwa, 6,5%.

Pasal 41 UU No. 10/2016 mempunyai tambahan syarat bagi calon jalur perseorangan. Ketentuan huruf e. bertuliskan, jumlah dukungan tersebar di lebih dari 50% jumlah kabupaten/kota di Provinsi dimaksud.

Akademisi Ilmu Politik Universitas Indonesia, Ikhsan Darmawan menjelaskan, syarat jalur perseorangan UU No.10/2016 yang lebih sulit memang berpotensi mempersulit warga mencalonkan. Bagi warga yang menyadari makin berat syarat perseorangan, akan berpikir ulang untuk maju.

“Meningkatnya jumlah paslon perseorangan tergantung pada figur yang tersedia dan kondisi sosial politik di daerah-daerah,” kata akademisi Ilmu Politik Universitas Indonesia, Ikhsan Darmawan kepada rumahpemilu.org (25/8).

Pilkada Provinsi Banten di 2017 merupakan pemilihan gubernur-wakil gubernur terbanyak pendaftar jalur perseorangan. Ada 4 pasangan pendaftar yaitu: 1) Yayan Sofyan-Ratu Enong St. Rz. Mandala; 2) Tubagus Sangadiah-Subari; 3) R. Ampi Nurkamal Tanudjiwa-Yeyen Maryani; dan 4) R. Achmad Dimyati Natakusumah-Yemmelia.

Keadaan banyaknya pendaftar jalur perseorangan di Pilkada Banten berbeda dengan provinsi lain. Pilkada Kepulauan Bangka Belitung, Sulawesi Barat, dan Papua Barat tak ada sama sekali pendaftar calon gubernur-wakil gubernur jalur perseorangan. Pilkada Gorontalo ada 1 pendaftar. Dan, hiruk pikuk calon perseorangan Pilkada DKI Jakarta malah hanya menghantarkan satu pendaftar jalur perseorangan yang sudah dipastikan gagal memenuhi syarat dukungan.

Pilkada Aceh menjadi pilkada provinsi kedua terbanyak pendaftar jalur perseorangannya dengan 3 pasangan calon. Pendaftar Zaini Abdullah-Nasaruddin, Abdullah Puteh-Sayed Mustafa Usab Al-Idroes, dan Zakaria Saman-Swasta menjaga dinamika politik Aceh yang relatif lebih tinggi di banding daerah lain. Konteks 2016-2017 Aceh yang berbeda dengan konteks saat pilkada pertama Aceh yang juga banyak terdapat calon jalur perseorangan.

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Kholilullah menjelaskan, relatif banyaknya pasangan pendaftar jalur perseorangan di Aceh dibanding daerah lain karena syarat dukungan jalur perseorangan Pilkada di Aceh pada 2017 ini jauh lebih rendah dibanding daerah lain.

Pendaftar jalur perseorangan calon gubernur-wakil gubernur Aceh cukup mengumpulkan 150-an ribu dukungan. Merujuk UU No.11/2006 tentang Pemerintahan Aceh Pasal 68 Ayat (1), 3% dari jumlah penduduk menyertakan syarat sebaran minimal 50% kebupaten/kota.

Aceh pelopor perseorangan

Konteks regulasi Aceh itu menjadi pembeda dinamika politik saat jalur perseorangan pertama kali diterapkan di Indonesia dalam pilkada provinsi dan kabupaten/kota di Aceh. UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah tak relevan dengan aspirasi politik Aceh untuk memilih kepala daerah. Partai-partai nasional di Aceh tak mempunyai keterhubungan dengan politik massa Aceh yang direpresentasikan Gerakan Aceh Merdeka.

UU No.11/2006 lahir salah satunya untuk menjawab kebutuhan kepala daerah di Aceh yang ingin lepas dari monopoli partai nasional. Karena partai lokal di Aceh belum ada saat itu, partai politik dimaknai hanya mewakili kepentingan nasional/Jakarta. Maka, penyelenggaraan pilkada di Aceh pada 2006 menjadi pilkada pertama Indonesia yang menyediakan jalur perseorangan.

Dari 8 pasangan calon gubernur-wakil gubernur, terdapat 3 pasangan dari jalur perseorangan: M. Djali Yusuf-R. A. Syauqas Rahmatillah, Irwandi Yusuf-M. Nazar, dan Ghazali Abbas Adan-Salahuddin Alfata. Ketiga pasangan ini berkontestasi dengan Iskandar Hoesin-Saleh Manaf (PBB), Tamlicha Ali-Tgk. Harmen Nuriqmar (PBR, PPNUI, dan PKB), A. Malik Raden dan Sayed Fuad Zakaria (Partai Golkar, PDIP, dan PKPI), A. Humam Hamid-Hasbi Abdullah (PPP), dan Azwar Abubakar-M. Nasir Djamil (PAN dan PKS).

Dari jumlah suara sah 2.012.370, Irwandi-Nazar terpilih dengan 38,20% suara. Pasangan kepala daerah perseorangan pertama Indonesia ini unggul suara dari Humam-Hasbi (16,62 %), Malik-Sayed (13,97%), Azwar-Nasir (10,61%), Ghazali-Alfata (7,80%), Iskandar-Saleh (5,54%), Tamlicha-Harmen (3,99%), dan Djali-Syauqas (3,26%).

Dominasi perseorangan di Pilkada Provinsi Aceh 2006 itu tak terjadi di tingkat daerah di bawahnya. Dari 21 kabupaten/kota ber-Pilkada 2006 di Aceh, hanya kabupaten Bireun yang dimenangkan jalur perseorangan yaitu, Tengku Nurdin Abdurrahman-Tengku Busmadar.

Pesta demokrasi lokal monumental Aceh itu mendorong perubahan undang-undang Pemda. Lahirlah UU No.12/2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No.32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah mempertimbangkan, penyelenggaraan pemerintahan daerah diarahkan agar mampu melahirkan kepemimpinan daerah yang efektif dengan memperhatikan prinsip demokrasi, persamaan, keadilan, dan kepastian hukum mewujudkan kepemimpinan daerah yang demokratis yang memperhatikan prinsip persamaan dan keadilan, penyelenggaraan pemilihan kepala pemerintah daerah memberikan kesempatan yang sama kepada setiap warga negara yang memenuhi persyaratan.

Putusan Mahakamah Konstitusi (MK) Nomor 5/PUU-V/2007 23 Juli 2007 pun menjadi dasar lahirnya jalur perseorangan melalui undang-undang itu. Anggota DPRD Kabupaten Lombok Tengah, Lalu Ranggalawe melakukan permohonan judicial review UU No.32/2004 yang hanya menyediakan pencalonan jalur partai.

Putusan MK dan UU No.12/2008 menjadi dasar diselenggarakan pilkada se-Indonesia yang pencalonannya terbuka melalui jalur partai atau jalur perseorangan. Wajah kontestasi pilkada berubah dari 3-5 pasangan calon menjadi lebih banyak bahkan mencapai 10 pasangan.

Pasal 59 Ayat (2a) UU No.12/2008 relatif memudahkan pencalonan jalur perseorangan. Untuk syarat dukungan pilkada provinsi yang berpenduduk sampai 2 juta jiwa adalah minimal 6,5%; 2-6 juta jiwa, minimal 5%; 6-12 juta jiwa, minimal 4%; dan lebih dari 12 juta jiwa, minimal 3%. Ayat (2b) menyamakan tingkat persentase syarat dukungan perseorangan untuk pilkada kabupaten/kota dengan rentang tingkat penduduk: sampai 250 ribu jiwa; 250-500 ribu jiwa; 500 ribu-1 juta jiwa; dan lebih dari 1 juta jiwa.

Dalam penyelenggaraan pilkada yang tak serentak—karena tiap daerah berperiode jabatan kepala daerah berbeda-beda, syarat dukungan relatif mudah beserta mekanisme pengunduran tahapan penutuhan masa pendaftaran peserta pilkada, pilkada bisa terhindar dari kemungkinan pasangan calon tunggal. Namun, secara umum, pasangan jalur perseorangan sebatas meramaikan dan mengevaluasi iklim kontestasi terhadap partai politik dalam memunculkan calon pemimpin daerah karena sangat jarang yang pasangan perseorangan memenangkan pilkada.

Di Pilkada Serentak 2017, cerita calon pemimpin perseorangan Pilkada DKI Jakarta seperti berjudul, “Akhirnya ke Partai Politik Juga”. Akan berbeda kegigihan dan hasil sebagian publik jika pengumpulan KTP bertujuan mendesak partai untuk mendukung/mengusung Ahok. Logika “tak ada musuh/teman abadi dalam politik” partai-partai politik malah masuk di kepala-kepala publik. Calon perseorangan yang digadang malah menyebrang ke jalur partai sambil bilang “saya dari dulu orang partai dan bapak saya orang Golkar”.

Bertepuk sebelah tangan asa calon perseorang pun terjadi di Pilkada Kota Yogyakarta. Jogja Independent pengusung Garin Nugroho-Rommy Harianto sebagai calon Walikota-Wakil Walikota Yogyakarta, menyerah. Syarat dukungan 27 ribu KTP hanya terkumpul 3.918 KTP. Kesan antipartai di awal, berakhir dengan sikap merekomendasikan pasangan minim dukungan publik itu ke partai.

Terma perseorangan atau independen ramai di publik tapi kenyataannya sepi pelaku dan pendukungnya. Siapa calon jalur perseorangan yang banyak dapat dukungan publik? Apa lagi jika pertanyaannya, siapa kepala daerah  jalur perseorangan terpilih yang sukses memimpin daerah?

Apa sebab? Ada kebutuhan penjelasan lebih untuk tak menyimpulkan partai masih baik menciptakan pemimpin politik. Perlu juga ditunda kesimpulan, publik belum bisa berinisiatif solid mengusung sosok berkualitas baik, bisa menang pemilu, lalu menyulap pemerintahan menjadi jauh lebih baik bagi publik. []

USEP HASAN SADIKIN