August 8, 2024

Diskriminasi Parpol Kecil dan Baru dalam Syarat Verifikasi Peserta Pemilu

Pemilu Indonesia disebut sebagai election role model di dunia internasional sebagai pemilu yang transparan. Indonesia digadang sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, dimana demokrasi yang berjalan di negeri ini dinilai bersifat integratif.

Namun, benarkah Indonesia telah memiliki regulasi partai politik dan kepemiluan yang benar-benar demokratis? Apakah masyarakat Indonesia mempercayai partai politik yang tengah berkuasa dan tidak membutuhkan adanya partai politik baru di tengah kemelut praktek korupsi yang dilakukan oleh seluruh partai di pemerintahan dan fakta bahwa partai semakin oligarkis?

Pemilu adalah sistem yang melahirkan para pejabat negara, dan konstitusi mengamanatkan partai politik sebagai peserta pemilu nasional. Akankah kita menyerahkan perjalanan demokrasi kita kepada parai politik yang faktanya telah gagal melangsungkan politik inklusif bagi semua warga negara?

Melanggengkan status quo

Syarat verifikasi partai politik peserta pemilu merupakan isu penting yang mesti disorot dalam diskursus perumusan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu yang tak kunjung selesai. Verifikasi faktual akan menyaring partai politik yang akan berkompetisi pada pemilu legislatif. Syarat verifikasi harus memperlakukan partai lama dan partai baru secara setara, serta memberikan ruang demokrasi sebesar-besarnya.

Verifikasi tak boleh keluar dari tujuannya untuk mengkonfirmasi kesanggupan partai politik dalam memperjuangkan aspirasi konstituen melalui pemilu. Verifikasi yang bertujuan untuk membatasi jumlah peserta pemilu tak sesuai dengan tujuan demokrasi itu sendiri.

Menurut UU No.8/2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, partai yang menjadi peserta pemilu harus memiliki kepengurusan di 100 persen provinsi, 75 persen kabupaten/kota, dan 50 persen kecamatan di kabupaten/kota. Syarat tersebut diisukan akan diperketat, yakni memiliki kepengurusan di 100 persen provinsi, 100 persen kabupaten/kota di provinsi, dan 75 persen kecamatan di kabupaten/kota.

Mengikuti diskursus, muncul wacana bahwa apabila syarat verifikasi partai peserta pemilu tak berubah dari UU No.8/2012, verifikasi faktual terhadap partai lama, yakni partai yang telah eksis di parlemen, tak diperlukan. Verifikasi diperuntukkan bagi partai baru yang telah tercatat sebagai partai politik berbadan hukum di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).

Menimbang usulan sekretariat bersama

Dalam naskah kodifikasi RUU Pemilu yang disusun oleh Sekretariat Bersama, terdiri atas lebih dari 30 non-governmental organization (NGO), termuat usulan bahwa partai politik yang hendak menjadi peserta pemilu legislatif tak harus memiliki kepengurusan sebagaimana disyaratkan pada UU No.8/2012. Partai politik yang memiliki jumlah anggota sebanyak harga satu kursi di suatu daerah pemilihan (dapil) dapat mendaftarkan diri sebagai peserta pemilu.

Sebagai contoh, Partai A memiliki jumlah anggota sebanyak 200 ribu di Dapil IV Jawa Barat. Partai A dapat mengajukan diri sebagai peserta pemilu untuk dapil tersebut, dengan menyerahkan bukti dukungan sebagai bahan verifikasi peserta pemilu.

Dengan mekanisme tersebut, partai kecil yang tak memiliki cukup modal untuk membuka kantor cabang di 75 persen kabupaten/kota dapat turut berpartisipasi memperubutkan kursi legislatif. Poinnya, partai politik peserta pemilu anggota DPR dan DPRD tak perlu ada di semua dapil. Partai politik dapat memilih untuk bertarung di dapil dengan jumlah basis masa yang dapat diperhitungkan. Usulan ini merupakan kunci permasalah strategis dalam menjawab sulitnya menembus syarat sebagai partai peserta pemilu.

Demokrasi yang lebih terbuka dan berkeadilan

Tak ada pemilu demokratis tanpa kehadiran regulasi kepemiluan yang demokratis. Regulasi tak patut dirumuskan untuk menjaga status quo peta kekuasaan partai politik yang tengah eksis di pemerintahan.

Pansus RUU Pemilu perlu menghapuskan syarat verifikasi partai politik peserta pemilu yang mengharuskan adanya kepengurusan di 100 persen provinsi, 75 persen kabupaten/kota, dan 50 persen kecamatan di kabupaten/kota. Syarat tersebut bersifat diskriminatif partai kecil dan partai baru. Partai politik peserta pemilu anggota DPR dan DPRD tak perlu ada di semua dapil.

Partai yang demokratis dan berkualitas tak takut berkompetisi. Sudah saatnya masyarakat memiliki partai politik alternatif baru yang berkomitmen melawan korupsi, menegakkan keadilan sosial-politik, tak mengkooptasi lembaga negara untuk kepentingan partai dan segelintir kelompok, serta bekerja untuk sebenar-benar kepentingan rakyat. []

AMALIA SALABI