Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI, Abhan, menyampaikan bahwa per Senin (18/3), Bawaslu RI masih kekurangan 55.410 pengawas Tempat Pemungutan Suara (TPS). Padahal, Bawalsu telah melakukan rekrutmen Pengawas TPS sejak 7 Februari 2019. Sulitnya mencari pengawas TPS disebabkan oleh syarat minimal usia dan pendidikan yang sulit dipenuhi oleh sumber daya manusia yang tersedia di beberapa daerah. Pengawast TPS disyaratkan minimal berusia 25 tahun dengan minimal pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA).
“Minggu lalu kami sampaikan, ada kurang 70 ribu. Kemudian kami monitor, sampai hari ini, keseluruhan kurang 55.419 atau kurang 7 persen. Kekurangan ini terkendala persoalan syarat usia dan SMA yang ada di Undang-Undang (Pemilu),” jelas Abhan pada rapat dengar pendapat di gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Senayan, Jakarta Seatan (18/3).
Sebab kendala tersebut, Bawaslu RI mengusulkan kepada DPR agar pihaknya diperbolehkan menerima pengawas TPS yang memenuhi salah satu dari syarat usia atau syarat pendidikan. Usulan ini diajukan setelah beberapa langkah telah ditempuh, seperti memperpanjang masa rekrutmen, menarik pengawas TPS dari desa atau kelurahan lain, dan merekrut staf Bawaslu kabupaten/kota.
“Beberapa skenario sudah kami lakukan. Bahkan, kami ambil dari kecamatan lain. Persoalannya, di Jawa bisa teratasi dengan honornya itu karena jarak antar kecamatan tidak jauh. Tapi di luar Jawa, beda resiko. Jadi, gimana kalau syarat SLTA dan minimal 25 tahun itu, bisa salah satu saja? Jadi, kalau dia sudah berumur 25 tahun, tidak perlu harus tamatan SLTA, dan kalau dia tamatan SLTA, boleh saja meski belum berumur 25 tahun,” ujar Abhan.
Usulan ini semula disetujui oleh dua anggota Komisi II. Bahkan, Komarudin Watubun, dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), awalnya mengusulkan agar usia minimal menjadi pengawas TPS adalah 17 tahun dan yang terpenting dapat membaca dan menulis. Yang lain, yakni Yandari Susanto dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) mengusulkan agar syarat menajdi pengawas TPS yang adalah terdaftar di Daftar Pemilih Tetap (DPT).
“Saya usul, tamat SD (Sekolah Dasar) atau yang cakap membaca atau menulis. Tidak usah bikin yang rumit-rumit. Ini ukuran Bali, tamat SLTA itu susah dicari. Ada di desa yang lulus SD, tapi lebih bagus pemahaman lapangannya, bisa baca tulis juga,” kata Komar.
Usulan tersebut ditentang oleh delapan fraksi, termasuk PDIP pada akhirnya. Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Ahmad Baidowi meminta Bawaslu tetap menaati UU Pemilu. Jika tak ada warga negara yang memenuhi kualifikasi sebagaimana yang diminta oleh UU, maka tak ada kewajiban untuk mengadakan pengawas TPS.
“Di UU Pemilu memang diatur keberadaan Pengawas TPS. Nah, apakah itu kewajiban? Kalau tidak ada Pengawas TPS, jalan atau tidak pemilu? Kan bisa saja tetap jalan, kecuali tidak ada KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara). Jadi, kalau tidak ada Pengawas TPS, biarkan saja tidak ada, daripada kita nabrak UU,” tegas Baidowi.
Para rapat dengar pendapat, disepakati bahwa Bawaslu tetap melanjutkan rekrutmen pengawas TPS sesuai UU Pemilu dan menggiatkan proses rekrutmen. Komisi II akan melaporkan kesulitan yang dihadapi Bawaslu kepada Pimpinan DPR, untuk selanjutnya dikonsultasikan kepada Presiden.
Perwakilan Pemerintah, yakni Soedarmo dari Kementerian Dalam Negeri mengusulkan agar Bawaslu memanfaatkan lembaga outsourcing yang ada di tingkat kabupaten/kota untuk menyediakan pengawas TPS. Jika usulan tak dapat dilakukan, Pemerintah meminta Bawaslu mengadakan pengawas TPS dari daerah lain dengan konsekuensi tambahan anggaran untuk transportasi pengawas.
“Jalan keluarnya, kalau mau non outsourcing, bisa gunakan pengawas dari daerah lain. Kalau ada masalah anggaran, kita akan bicara ke Kemenkeu (Kementerian Keuangan). Jadi, itu solusinya sebelum diarahkan ke Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang),” tukas Soedarmo.