Akhir April 2018, ada yang menggugat pembatasan masa jabatan presiden-wakil presiden. Dewan Pimpinan Federasi Pekerja Singaperbangsa dan Perkumpulan Rakyat Proletar untuk Konstitusi, mengajukan uji materi Pasal 169 dan Pasal 227 UU No.7/2017 ke Mahkamah Konstitusi.
Penggugat beralasan, pada tahap pencalonan presiden-wakil presiden Pemilu 2019 tak ada figur wakil presiden yang layak mendampingi Jokowi seperti JK. “Dia (JK) ini sosok tengah yang bisa diterima kelompok mana saja,” kata Kuasa Hukum Penggugat, Dorel Amir (29/4, tempo.co). Dorel meminta frasa “selama dua kali dalam masa jabatan yang sama” dibatalkan MK.
Sebetulnya, original intent Pasal 7 UUD 1945 bisa menjelaskan obsesi gugatan itu. Kepastian transisi kepemimpinan dan pembatasan jabatan kepemimpinan pemerintahan merupakan semangat utama Reformasi 1998. Kita tahu, Soeharto telah berkuasa lebih dari 30 tahun dengan 7 kali periode sebagai presiden dalam kepura-puraan pemilu dan demokrasi. Orde Baru mengulang kesalahan Demokrasi Terpimpin (seumur hidup) Soekarno.
Sidang Istimewa MPR RI 10-13 November 1998 salah satunya menghasilkan TAP MPR No XIII/1998. Bunyinya: Presiden dan Wakil Presiden RI memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang hanya untuk satu kali masa jabatan. Di sidang ini, dibincangkan dan dipahami bahwa maksud dari pembatasan masa jabatan presiden/wakil presiden dua kali berlaku untuk berturut-turut maupun tidak.
TAP MPR No XIII/1998 kemudian dijadikan rumusan utuh Pasal 7 UUD 1945. Sidang MPR 1999 dengan agenda prioritas pembatasan masa jabatan presiden/wakil presiden menghasilkan frasa dalam konstitusi Indonesia: Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
Masalah kekuasaan presidensial
Amandemen konstitusi yang membatasi masa jabatan presiden/wakil presiden itu bukan khas pengalaman traumatik pascalepas dari rezim tiranik. Kalau pun ini hasil penglaman traumatik Kepemimpinan Soeharto dan Soekarno, berarti demokrasi sendiri pun lahir dari traumatik Kepemimpinan (ke)Raja(an).
Demokrasi (baca: sistem pemerintahan presidensial) pun sebetulnya, merupakan tata dan implementasi kekuasaan Raja secara konstitusional. Bagaimana demokrasi membedakan dirinya dengan Kerajaan? Demokrasi menjawab dua prinsip: distribusi dan pembatasan kekuasaan.
Artinya dalam sistem pemerintahan presidensial, pembatasan masa jabatan presiden/wakil presiden merupakan kewajaran. Kebutuhan pembatasan periode pemimpin eksekutif dalam sistem pemerintahan presidensial karena kewenangannya memang lebih besar/tinggi dibanding perdana menteri dalam parlementer.
Sistem pemerintahan presidensial merupakan sistem pemerintahan yang memisahkan kekuasaan eksekutif dengan kekuasan legislatif dan pemimpin eksekutifnya (presiden) dipilih melalui pemilu. Ini pembeda sistem pemerintahan parlementer yang kekuasaan eksekutifnya (perdana menteri) ada di dalam dan dipilih lembaga legislatif.
Selain dua unsur pembeda dari pemerintahan parlementer itu, setidaknya ada tiga unsur lain pembentuk pemerintahan presidensial. Pertama, presiden secara bersamaan menjabat sebagai kepala negara dan pemerintahan. Kedua, presiden mengangkat dan memberhentikan segala macam pejabat pemerintahan. Ketiga, berkewenangan legislatif (membuat hukum).
Amat besar peran dan kewenangan presiden, maka presiden dalam sistem presidensial adalah “raja dalam demokrasi” atau “otoritarianisme konstitusional”. Pembatasan masa jabatan dari sifat raja/otoritarian ini merupakan kebutuhan demokrasi.
Masalah mimpi kepemimpinan
Adanya pihak yang menginginkan JK bisa menjabat wakil presiden ketiga kalinya, selain mengingatkan pentingnya pembatasan masa jabatan juga menyadarkan soal mimpi kepemimpinan Indonesia. Pada 2019, pemilu presiden-wakil presiden diselenggarakan keempat kalinya, amat disayangkan jika kita masih berkutat pada nama-nama lama. Selain sudah dua periode menjabat wakil presiden, JK pun sudah pernah mencalonkan presiden (dan gagal).
Sistem presidensial punya sisi insentif melahirkan banyak pemimpin baru. Pemilihan pemimpin eksekutif langsung oleh rakyat lebih mungkin keluar dari kepemimpinan ala parlementer yang cenderung dikuasai orang lama/elite parpol. Sehingga, kembali ke nama JK (sebagai orang parpol dan pernah jadi pemimpin parpol pemenang Pemilu 2004) bukan bagian dari harapan implementasi sistem presidensial.
Mimpi kepemimpinan Indonesia mudah jika kita merujuk pada sejumlah kepala daerah yang berhasil membangun daerah. Presidensialisme lokal melalui pemilihan kepala daerah banyak menghasilkan pemimpin daerah yang bukan orang parpol.
Kita tahu parpol yang berkeadaan makin buruk telah gagal melakukan kaderisasi kepemimpinan. Malah melalui pilkada langsung, rakyat dengan hak pilihnya melahirkan para pemimpin daerah. Mereka berusia relatif muda dan mendapat ragam penghargaan, contohnya Bung Hatta Anticorruption Award.
Sehingga, gugatan masa jabatan presiden/wakil presiden agar JK bisa mencalonkan bersama Jokowi, merupakan pembelaan terhadap orang yang tak sesuai dengan mimpi kepemimpinan Indonesia. Banyak dari kita jemu dengan Pilpres 2019 yang mengarahkan pada pengulangan Jokowi melawan Prabowo. Mengupayakan MK membolehkan JK kembali mencalonkan sebagai wapres hanya menambah kejemuan. []
USEP HASAN SADIKIN