Maret 28, 2024
iden

Efektivitas Pemerintahan Terpilih

Sejak awal, salah satu mandat undang-undang pemilu legislatif adalah mendorong efektifitas kerja parlemen. Penyederhanaan partai atau menciptakan sistem multipartai sederhana menjadi bentuk mandat itu.

Sebagai produk dari pemilu, proyeksi kelembagaan sistem kepartaian di DPR bisa dilihat dari hasil Pemilu 2014. Pemilu 2014 meloloskan 10 partai politik ke DPR, jumlah ini lebih banyak dari Pemilu 2009. Sistem kepartaian menentukan tingkat keefektifan kerja parlemen. Namun pertanyaannya apakah sistem kepartaian yang dibangun pascapemilu juga membentuk sistem kepartaian?

Jika dilihat berdasarkan komposisi perolehan kursi yang sangat menyebar dan porsi penguasaan kursi pemenang pemilu hanya 19,46 persen akan mengindikasikan sistem kepartaian yang juga menyebar. Jika dihitung berdasarkan indeks dari Marku Laakso dan Rein Tagaapera, Effective Number Of Parliamentary Parties (ENPP) sistem kepartaian yang terbentuk adalah 8,1 atau 8 sistem kepartaian. Dengan demikian misi penyederhanaan partai untuk meciptakan sistem multipartai sederhana telah gagal.

Giovani Sartori dalam “Parties and Praty system: A Frameworks of Analysis” (1976) membagi sistem kepartaian sebagai berikut; sistem partai tunggal (terdiri dari satu partai dominan), sistem dua partai (terdapat dua partai dominan), sistem multipartai sederhana (terdapat 3-5 partai dominan), dan sistem multi partai ekstrim (terdapat lebih dari 6 partai yang hadir di parlemen). Namun harus diingat, jumlah partai yang dimaksudkan oleh Sartori adalah jumlah efektif partai berdasarkan indeks ENPP, dan bukan berdasarkan jumlah riil partai politik yang hadir di parlemen.

Dasar pembagian itu bisa dibandingkan dari hasil pemilu pasca-Reformasi. Pemilu 1999, jumlah partai masuk DPR adalah 21 dengan sistem kepartaian berindeks ENPP 4,7. Bandingkan dengan Pemilu 2004 dengan angka 12 (7,1), Pemilu 2009 dengan angka 9 (6, 2), dan Pemilu 2014 dengan angka 10 (8,1).

Dari data tersebut bisa diambil kesimpulan semakin sederhana sistem kepartaian yang dibentuk hasil pemilu maka akan berbanding lurus dengan efektifitas kerja parlemen. Indikator sederhana DPR periode 1999-2004 mampu melaksanakan fungsi legislasi dengan baik (175 dari 200 RUU di Prolegnas) ditambah dengan empat kali perubahan UUD 1945. Ini lebih baik jika dibandingkan dengan DPR periode 2004-2009 maupun 2009-2014.

Beberapa hal yang bisa menjadi rekomendasi dalam rangka mengefektifkan kerja parlemen melaui sistem kepartaian. Pertama, RUU MD3 bisa meneruskan mandat UU Pemilu untuk mencapai tujuan penyederhanaan sistem kepartaian di parlemen melalui pengetatan syarat pembentukan fraksi.

Kedua, pengelompokan legislator dengan tiga model pengelompokan: 1. Fraksi; 2. Kelompok anggota; 3. Legislator tanpa Fraksi. Pipit R Kartawidjaya dalam “Mempekuat sistem Presidensialisme” (2012) memberikan catatan, biasanya perbedaan antar pengelompokan anggota tersebut pada hak yang melekat.

Fraksi paling kuat dalam kepemilikan hak, misalkan masuk AKD dan mengajukan RUU, kelompok anggota hanya bisa masuk AKD tapi tidak bisa mengusulkan RUU namun ikut membahas. Sedangkan legislator tanpa fraksi hanya menjadi penyerap informasi yang ikut rapat saja tanpa hak megusulkan RUU dan masuk dalam AKD. Hal ini untuk mengakomodasi partai yang lolos ke parlemen dengan porsi penguasaan kursi yang minin dan tidak mau bergabung untuk membentuk fraksi.

Ketiga, penyederhanaan partai melalui pengisian anggota komisi. Opsi ini bisa diambil jika syarat fraksi tetap seperti yang diatur dalam RUU Perubahan UU MD3. Setiap partai yang lolos ke parlemen berhak membentuk fraksi, namun tidak semua frkasi bisa masuk ke seluruh komisi.

Hasil Pemilu 2014 menunjukan perolehan suara setiap partai adalah Partai Nas-Dem 8.402.812 (6,89%), PKB 11.298.957 (9,26%), PKS 8.480.204 (6,95%), PDI Perjuangan 23.681.471 (19,41%), Partai Golkar 18.432.312 (15,11%), Partai Gerindra 14.760.371 (12,10%), Partai Demokrat 12.728.913 (10,43%), PAN 9.481.621 (7,77%), PPP 8.157.488 (6,69%), Partai Hanura 6.579.498 (5,39%).

Simulasi penyederhanaan partai melalui pengisian anggota komisi bisa dilakukan. Partai Nas-Dem dengan 35 kursi (6,25% kursi parlemen) mendapat alokasi 4 komisi. PKB dengan 47 kursi (8,39%) mendapat 5 komisi. PKS dengan 40 kursi (7,14%) mendapat 4 komisi. PDI Perjuangan dengan 109 kursi (19,46%) mendapat 11 komisi. Partai Golkar dengan 91 kursi (16,25%) mendapat 9 komisi. Partai Gerindra dengan 73 kursi (13,04%) mendapat 7 komisi. Partai Demokrat dengan  61 kursi (10,89%) mendapat 6 komisi. PAN dengan 49 kursi (8,75%) mendapat 5 komisi. PPP dengan 39 (6,96%) mendapat 4 komisi. Partai Hanura dengan 16 kursi (2,86%) mendapat 2 komisi.

Komisi dan efektifitas kerja parlemen

Komisi merupakan tulang punggung DPR dalam melaksanakan tugasnya. Setiap Anggota DPR harus masuk setiap komisi. Pasal 96 UU No. 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD dan pasal 53 Peraturan Tata Tertib DPR dituliskan, pelaksanaan tugas DPR baik di bidang legislasi, pengawasan dan anggaran sehari-hari dilaksanakan dalam komisi. Yang menjadi permasalahan adalah kekakuan DPR dalam menentukan jumlah komisi, padahal kewenangan tersebut dimiliki oleh DPR.

Pembagian komisi dan mitra kerja pada masa jabatan 2009-2014 tak efektif. Komisi I menangani Kemenhan, Kemenlu, TNI, Kominfo, Wantannas, BIN, LEMSANEG, Lembaga Kantor Berita Nasional, Dewan Pers. Komisi II: Kemendagri, Kemen PAN, SetNeg, LAN, BKN, BPN, ANRI, KPU, Bawaslu. Komisi III: Kemenkumham, Kejagung, PORRI, KPK, Komisi Ombudsman Nasional, KHN, KOMNAS HAM, MA, MK, Setjen MPR,Setjen DPD, PPATK, BPHN, KY (14). Komisi IV: Kementan, Kemenhut, Kemen K&P, Bulog, dan Dewan Maritim Nasional. Komisi V: Kemen PU, Kemenhub, Kemenpera, Kemen PPDT, BMKG.

Komisi VI: Kementrian Perindustrian, Kemendag, Kemenkop & UKM, Kementrian BUMN, BKPM, BSN, BPKN, KPPU. Komisi VII: Kementrian ESDM, Kementrian LH, Kemenristek, BPPT, Dewan Riset Nasional, LIPI,BATAN, BAPETAN, BAKOSURTANAL, LAPAN, BPHMigas, BP Migas. Komisi VIII: Kemenag, Kemenag, KPP & PA, KPAI, BNPB. Komisi IX: Kemenkes, Kemenakertrans, BKKBN,  BPOM, BNP2TKI,PT Jamsostek, PT Askes. Komisi X: Kemendiknas, Kemenbudpar & ekonomi Kreatif, Kemenpora, Perpustakaan  Nasional, BPBUDPAR. Komisi XI: Kemenkeu, BAPPENAS, BI, Lembaga Keuangan Bukan Bank, BPKP), BPS, BPK.

Bisa dibayangkan dengan jumlah komisi yang saat ini hanya sebelas, harus menangani 46 ruang lingkup kerja dan berhadapan dengan 31 kementerian (plus 3 kementerian koordinator) dan mitra kerja lainya. Artinya 1 komisi DPR harus menangani rata-rata 4 ruang lingkup kerja atau 3 kementerian. Ini belum termasuk badan/lembaga negara lainnya. Artinya, jumlah komisi di Indonesia lebih rendah ketimbang jumlah ruang lingkup kerja atau kementerian.

Sebagai perbandingan, Di Chile pada tahun 2002, terdapat 17 kementerian, 18 komisi di DPR, dan 19 komisi di Senat. Di DPR Jerman, untuk setiap ruang lingkup kerja terdapat satu komisi, bahkan dalam masa kerja periode ke 17, Bundestag (DPR Jerman) memiliki 22 Komisi dengan 22 ruang lingkup kerja dan hanya berhadapan dengan 14 kementerian. Lebih lanjut, beberapa negara cukup royal dalam menentukan jumlah komisi, misalnya di Argentina dan dan Meksiko, DPR di masing-masing negara tersebut memiliki 38 dan 43 komisi.

Pembangunan sistem pendukung yang dijalankan birokrasi harus menyasar pada dua hal: pertama, susunan organisasi sekretariat jenderal (setjen). Kedua, mengenai model kepegawaian dalam rangka mendorong profesionalitas kerja sistem pendukung.

Mengenai susunan organisasi struktur yang ada berdasarkan Draf RUU sudah cukup baik dengan adanya pusat kajian legislasi, pusat kajian anggaran, pusat perancangan UU dan P3Di. Bisa disesuaikan dengan kolompok ruang lingkup kerja DPR atau berdasarkan fungsi yang melekat di DPR.

Selain dua hal diatas, skema sistem pendukung juga perlu juga mengkaji mengenai dukungan negara terhadap anggota dewan. Berapakah ideal jumlah tenaga ahli bagi setiap anggota DPR? Mengacu pada tipologi diatas, perlu dibaca kecenderungan model parlemen kita lebih condong kemana. Hal ini sebagai dasar dalam pemberian dukungan oleh negara terhadap anggota DPR. Tentunya disesuiakan dengan kondisi sosiologis dan kemampuan keuangan negara. []

ERIK KURNIAWAN
Peneliti Indonesian Parliamentary Center (IPC)