Pilkada Serentak 2020 punya banyak calon tunggal. Dari 270 daerah yang menyelenggarakan pilkada, ada 25 daerah yang hanya punya satu peserta. 25 daerah ini yaitu: 1. Humbang Hasundutan; 2. Kota Gunungsitoli; 3. Kota Pematangsiantar (Sumatera Utara); 4. Pasaman (Sumatera Barat); 6. Ogan Komering Ulu (Sumatera Selatan); 7. Bengkulu Utara (Bengkulu); 8. Boyolali; 9. Grobogan; 10. Kebumen; 11. Kota Semarang; 12. Sragen; 13. Wonosobo (Jawa Tengah); 14. Kediri; 15. Ngawi (Jawa Timur); 16. Badung (Bali); 17. Sumbawa Barat (NTB); 18. Kota Balikpapan 19. Kutai Kartanegara (Kalimantan Timur); 20. Gowa; 21. Soppeng (Sulawesi Selatan); 22. Mamuju Tengah (Sulawesi Barat); 23. Manokwari Selatan; 24. Arfak; dan 25. Raja Ampat (Papua Barat).
Jumlah 25 pilkada calon tunggal ini meningkat pesat dibanding pilkada serentak sebelumnya. Pilkada Serentak 2015 hanya ada 3 daerah. Pilkada 2017, meningkat tiga kali lipat menjadi 9 daerah. Pilkada 2018, terus meningkat jadi 16 daerah.
Semua calon tunggal di pilkada terpilih sebagai kepala daerah, kecuali di Pilkada Kota Makassar 2018. Hanya melawan Kolom Kosong pada pilihan surat suara, calon tunggal begitu dominan memperoleh suara. Kemenangan Kolom Kosong dalam Pemilihan Walikota Makassar 2018 pun punya keadaan yang amat berbeda dibanding pilkada lainnya. Sejak kepala daerah dipilih langsung melalui pilkada, hanya Pilkada Kota Makassar yang berkeadaan kekalahan calon tunggal.
Dominasi dan tren kenaikan calon tunggal ini disebabkan banyak hal. Pada dasarnya ini merupakan jalan cepat untuk meraih kursi kepala daerah tanpa menghadapi lawan yang seimbang. Ketidakseimbangan ini tidak bisa lagi diartikan karena kualitas, kapasitas, elektabilitas, maupun integritas dari pasangan calon. Bisa jadi karena faktor lain yang kadang berlawanan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Melihat pada penyelenggaraan Pilkada 2020, calon tunggal makin menggambarkan sebagai cara alternatif bagi mereka yang berambisi untuk menjadi kepala daerah namun tidak siap bertarung melawan kompetitornya.
Kolom Kosong
Defenisi dan status Kolom Kosong sebagai pilihan lain bagi pemilih saat pilkada yang diikuti oleh satu pasangan calon telah melebar pada penyelenggaraannya. Pada surat suara, Kolom Kosong diletakkan sejajar dengan pasangan calon. Seolah-olah Kolom Kosong adalah peserta pilkada.
Sementara, pada saat tahapan kampanye, Kolom Kosong lebih sebagai sesuatu yang tidak ada. Ia pilihan yang tidak menyampaikan visi-misi, tidak memiliki alat peraga, dan tidak memiliki tim kampanye apalagi rekening kampanye.
Pada 2015, surat suara pilkada calon tunggal bukan menyertakan Kolom Kosong. Pada pilkada serentak nasional pertama ini, calong tunggal dipilih dengan cara memilih “Ya” atau “Tidak”. Penulis menilai cara ini lebih sesuai dibanding Kolom Kosong. Sepemahaman Penulis pun, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya punya pendapat, calon tunggal dipilih dengan pilihan “Ya” atau “Tidak” pada surat suaranya, bukan dilawan dengan Kolom Kosong.
Tentu, pertimbangan dan penyikapan lanjutannya sangat membutuhkan kajian lebih dalam. Yang pasti, undang-undang pilkada punya ketentuan yang berbeda dengan Putusan MK dalam cara memilih calon tunggal.
Dibutuhkan evaluasi yang kemudian melahirkan rumusan-rumusan untuk digunakan dalam revisi undang-undang pemilu. Jangan sampai, perbedaan pendapat yang memungkinkan didasari atau berkonsekuensi bias menjadi berlarut sehingga menyimpan sentimen ketidakadilan. Jadi, ketentuan calon tunggal harus lebih dipastikan baik ditingkat undang-undang maupun Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU).
Selain memang pada dasarnya undang-undang pilkada butuh kepastian hukum sebagai wujud teks dan implementasinya, ketentuan calon tunggal memang butuh direvisi. Selain memastikan makna “lawan” calon tunggal sebagai pilihan atau peserta, penting juga mengubah ketentuan syarat pencalonan yang berkaitan dengan munculnya calon tunggal.
Pilkada 2024 kemungkinan akan makin bertambah daerah bercalon tunggal. Setidaknya ada tiga faktor. Pertama, pilkadanya lebih banyak karena seluruh daerah Indonesia, provinsi dan kabupaten/kota. Kedua, karena pilkada ada di satu tahun yang sama dengan pemilu lainnya: pemilu presiden dan pemilu legislatif. Ketiga, ketentuan syarat pencalonan yang memberatkan dalam undang-undang pilkada, yang tidak direvisi.
Jika kita tidak mau lagi ada pilkada calon tunggal, penting tiga faktor itu dipertimbangkan untuk revisi undang-undang. Gagal mengubah hal ini dalam revisi undang-undang pilkada, maka Pilkada 2024 bisa lebih berpeluang adanya calon tunggal, bahkan lebih banyak. Ini tanda demokrasi lokal Indonesia buruk, bakan lebih memburuk. []
PABER COLOMBUS SIMAMORA
Pemerhati pemilu dan demokrasi