Data yang dipaparkan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Nelson Simanjuntak dalam seminar “Evaluasi Pilkada Serentak 2015†di Universitas Trisakti (15/3) mengonfirmasi tak efektifnya penyelesaian pelanggaran pidana pemilu.
Pelanggaran pidana yang bisa divonis jumlahnya hanya satu persen. Padahal, dari seluruh tahapan penyelenggaraan Pilkada 2015, tercatat laporan dan temuan dugaan pelanggaran pidana sebanyak 1.090 kasus.
Nyatanya, tidak semua pelanggaran bisa diselesaikan. Hanya 60 kasus yang dapat diteruskan ke penyidik. Sisanya, 1.030 kasus tidak dapat diteruskan dan hanya 13 yang divonis.Dari 1.030 yang ditolak, 929 kasus merupakan dugaan pemberian uang kepada pemilih dan 101 kasus dihentikan dengan alasan lain.
Sebagai perbandingan, pada tahun 1999, dari 236 dugaan pelanggaran pidana yang diterima Panwaslu, hanya 20 kasus yang diperiksa dipengadilan. Pilkada 2011 hanya ada 228 laporan dari 582 laporan yang dapat ditindaklanjuti pihak kepolisian.
Banyaknya laporan yang tidak bisa dilanjutkan atau ditolak oleh pihak kepolisian dan kejaksaan bukan masalah baru. Ini masalah yang terus berulang. Permasalahan mendasar yang dihadapi Panwas, Kepolisian dan Kejaksaan untuk membuktikan pelanggaran pidana adalah adanya persepsi yang berbeda dalam menangani tindak pidana pemilu.
Untuk menangani hal ini, pada tahun 2004 dibentuk Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu). Gakumdu merupakan upaya untuk menyamakan pemahaman dan pola penanganan tindak pidana pemilu. Proses penyamaan persepsi sangat penting karena pembuktian pelanggaran pidana memerlukan proses panjang dan melibatkan lebih dari satu institusi.
Anggota KPU Surabaya, Purnomo Satrio mengatakan, dari perspektif hukum acara pidana, proses dimulai dengan mengidentifikasi suatu tindakan yang termasuk tindak pidana. Proses identifikasi ini berlanjut dengan mekanisme untuk menemukan pihak-pihak yang diduga menjadi pelaku atas tindak pidana yang terjadi. Proses ini juga harus disertai alat-alat bukti untuk mendukung dugaan tersebut untuk kemudian dilimpahkan ke pengadilan yang berwenang.
“Melihat proses yang ada, memang menjadi keniscayaan bagi keberadaan Sentra Gakumdu. Hal ini dikarenakan upaya untuk menentukan apakah suatu perbuatan tersebut termasuk ke dalam tindak pidana, hingga pada upaya untuk menemukan pelakunya tidak dilakukan oleh satu institusi,†kata Purnomo.
Akan tetapi dengan menyatukan tiga lembaga dalam satu payung Gakumdu, penyelesaian pidana pemilu tak kunjung efektif. Jumlah pelanggaran yang ditolak dan yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya masih tetap banyak.
Nelson mengatakan, penyebab utamanya adalah UU Pilkada belum mengatur ketentuan sanksi pidana serta masih belum ada kesepahaman antarlembaga penegak hukum ketika dihadapkan dengan pidana pemilu.
“Sayangnya, penindakan pasangan calon yang melakukan pelanggaran pidana belum didukung peraturan serta mekanisme penegakan hukum yang padu. UU Pilkada yang mengatur pidana pemilu belum menyertakan secara rinci sanksi pidana,†papar Nelson.
Misalnya delik pidana dugaan politik uang tidak ada dalam UU Pilkada. Sejak awal hal ini telah disadari Bawaslu dan berusaha mencari alternatif agar pelaku politik uang bisa ditindak. Salah satu solusi yang ditawarkan, pelaku politik uang tetap bisa dipidana lewat jalur pidana umum.
Namun, pidana umum tidak gampang diterapkan terhadap pidana pemilu politik uang. Apalagi secara praktik terjadi pergeseran-pergeseran mengenai yang dimaksud politik uang. Hampir tidak ada calon yang langsung memberikan uang kepada pemilih, tetapi melalui pengurus rumah ibadah atau membagikan uang melalui tokoh-tokoh setempat.
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga Ramlan Surbakti mencatat, nyaris tidak ada tindak pidana pemilu yang diproses dalam pilkada. Menurutnya, penanganan pelanggaran pemilu sebaiknya ditangani Bawaslu. Akan tetapi Bawaslu perlu penguatan dan ditransformasi menjadi komisi penegak hukum pemilu.
Penegakan hukum pilkada juga belum sinkron dengan tahapan pilkada. Penegakan hukum seharusnya sudah diputuskan sebelum KPU mengumumkan penetapan hasil pemilu. Tindak pidana pemilu harus diputuskan paling lambat lima hari sebelum KPU mengumumkan hasil pemilu.
Keseriusan Gakumdu hanya sampai pada penandatanganan Memorandum of Undestanding (MoU), belum pada penyamaan persepsi dan langkah bersama menangani pidana pemilu. Standard Operational Procedur (SOP) yang direncanakan Bawaslu RI, Kapolri, dan Jaksa Agung belum bisa disepakati hingga pilkada serentak 2015 usai.
DEBORA BLANDINA