August 8, 2024

Golput di Surat Suara

Coba bayangkan, seandainya di surat suara pemilu ada pilihan “putih” di samping pilihan warna-warni partai, daftar calon legislator, atau pasangan calon presiden-wakil presiden! Apakah penyediaan pilihan itu membuat penyelenggaraan pemilu lebih menarik warga datang ke tempat pemungutan suara (TPS)? Jawabannya, belum tentu. Tapi yang pasti, saat itu pilihan “tak memilih” telah diakui tak hanya bagian dari demokrasi tapi juga diakui secara prosedur pemilihan pemerintahannya, bernama pemilu.

Sayangnya saat ini pilihan tak memilih di pemilu masih merupakan hal yang tak jernih dibahas dan disikapi. Di satu pihak, tak memilih dinilai tak solutif dan cenderung dimaknai apatis. Di pihak lain, tak memilih bagai kepastian yang suci tapi tampak ada kebutaan pengetahuan ontologis dan aktual bagi pembelanya. Ada yang coba melerai dengan menerima pilihan tak memilih sebagai bagian dari pilihan tapi menyertai catatan: saat ini (baca: pasca-Reformasi) sudah tak relevan.

Sejarah Golput

Pemilu Indonesia sebetulnya punya pengalaman pilihan “tak memilih” yang tak hanya menyadarkan bagian dari demokrasi tapi juga menghormati prosedur pemilu. Di Pemilu 1971, lahir gerakan menggunakan hak pilih dengan datang ke tempat pemungutan suara (TPS) untuk menolak semua pilihan yang ada di surat suara. Salah satu aktivisnya bernama Imam Waluyo menamakan gerakan dengan “Golongan Putih” atau “Golput”. Selanjutnya, nama “Arief Budiman” menjadi marka pembahasan pemilu dan Golputnya. Merujuk Arief akan langsung menjelaskan ontologis Golput sebagai pilihan khas pemilu di Indonesia yang maknanya tak sama dengan istilah “abstain” pada umumnya pemilu di negara lain.

Jurnalis Liputan6.com, Yus Ariyanto melalui artikel “Pemilu dalam Lintasan Sejarah (3)” (2014) mengutip penjelasan Indonesianis, R. William “Bill” Liddle. Bill yang sempat tinggal beberapa bulan di Desa Brosot, Kulon Progo, DI Yogyakarta, untuk mengamati Pemilu 1971 menulis dalam esai “Suara dari Desa”: “Sebelum dan selama kampanye, pemimpin-pemimpin partai dikerjai oleh aparat. Pegawai negeri dan aparat desa dipaksa menandatangani sumpah monoloyalitas kepada Golkar.” Monoloyalitas yang dipublikasikan Liddle dilembagakan dalam Inpres No. 6 tahun 1970.

Perbincangan soal pemilu dan tulisan bebas di dunia maya menjelaskan, istilah “putih” dalam terma “Golput” berarti gerakan ini menganjurkan agar mencoblos bagian putih di kertas atau surat suara di luar gambar partai peserta pemilu bagi yang datang ke bilik suara. Golongan putih kemudian juga digunakan sebagai istilah lawan bagi Golongan Karya, kontestan pemilu berwarna kuning sebagai representasi politik dominan Orde Baru.

Dari sini kita bisa tahu, tak memilih dengan istilah “Golput” merupakan sikap partisipatif warga berdemokrasi di dalam prosedural pemilu. Golput adalah sikap ideologis oposisi terhadap kuasa formal dengan tak memilih pada pilihan surat suara di dalam bilik yang dibatasi area bernama TPS. Golput adalah warga terdata di daftar pemilih yang datang ke TPS menggunakan hak pilihnya tapi memilih di luar peserta pemilu yang tawarkan permukaan isi surat suara. Pilihan ini hendak menyediakan ruang kesadaran bahwa demokrasi yang pergantian pemerintahannya melalui pemilu tetap memungkinkan hadirnya otoritarian, oligarki, dinasti, dan kuasa korup yang memang tak layak untuk dipilih atau diteruskan.

Ada semacam doktrin republikan dalam Golput yang digerakan Arief dkk. Arief tak memisahkan partisipasi warga negara berdemokrasi  dengan partisipasi memilih di pemilu. Jelas Golput di sini berbeda dengan pernyataan “demokrasi yes, pemilu no!”. Tetap datang ke TPS untuk memilih tak memilih terhadap tawaran di surat suara merupakan konsekuensi dari warga yang menerima demokrasi di negaranya.

Rekonstruksi istilah pilihan pemilu

Jelas berbeda antara Golput dengan abstain. Ada konteks pengalaman demokratisasi Indonesia di dalamnya. Dari ontologis ini, kita bisa mengartikan ulang varian pilihan warga berhak pilih di pemilu. Tujuannya untuk menegaskan perbedaan makna politik atau sikap dari kebanyakan bentuk pilihan warga pada hari H pungut hitung suara di pemilu. Varian pilihannya sebagai berikut:

Pertama, warga yang datang ke TPS untuk memilih salah satu peserta pemilu yang ditawarkan surat suara lalu pilihannya di surat suara dinilai sah dan bisa dikonversi menjadi kursi (disertai keperluan hitung-hitung pemilu lainnya [misalnya ambang batas]). Kita bisa menamakannya “suara untuk peserta”. Suara ini representasi warga yang memang mau memilih salah satu peserta pemilu dengan harapan pilihannya bisa memenangkan pemilu. Ini merupakan pilihan yang dinilai sah.

Kedua, warga yang datang ke TPS untuk memilih di luar peserta pemilu yang ditawarkan surat suara. Ini yang kita namakan “Golput” atau “suara putih”. Makna penegasannya, warga ini tak puas dengan tawaran pilihan yang ada di surat suara pemilu. Bisa karena tak ada yang merepresentasikan haknya, kebutuhannya, ideologinya, kelompoknya, atau tubuhnya (afirmasi perempuan misalnya). Atau bisa saja warga merasa akan bersalah jika pilihannya terhadap semua peserta yang dinilainya tak berkualitas baik akan membawa keburukan pemerintahan terpilih. Sama halnya “suara untuk peserta”, “Golput” atau “suara putih” pun merupakan pilihan yang dinilai sah.

Ketiga, warga yang datang ke TPS untuk memilih salah satu peserta pemilu yang ditawarkan surat suara tapi cara memilihnya di luar prosedur. Kita namakan saja ini sebagai “suara tak sah”. Makna penegasannya, pemilih ini merupakan warga yang tak mendapatkan sosialisasi pemilu dengan baik. Kita tahu, meski umur negara ini sudah lewat setengah abad, kita baru berdemokrasi pasca-Orde Baru runtuh. Pendidikan politik masih jauh dari baik menjadi kurikulum sekolah dan budaya di masyarakat.

Keempat, warga yang tak datang ke TPS. Kita perlu menamakannya sebagai “tak ke TPS” atau “tak gunakan hak pilih”. Kita bisa sertakan segala alasan yang membuat warga tak datang. Bisa apatis, tak prioritaskan pemilu dibanding hal/urusan lain, tak setuju sama pemilu karena menolak demokrasi, atau yang lainnya. Tapi makna penegasannya, istilah ini untuk menampung fenomena warga yang tak datang ke TPS.

Jika keempat istilah itu dipakai maka klaim Golput sebagai pemenang pemilu yang dimaknai selisih antara jumlah warga yang menggunakan hak pilih dengan jumlah nama di daftar pemilih tetap (DPT) bisa jernih dibantah. Penjelasan pembagian Golput ke dalam Golput ideologis, teknis, administratif, dan pragmatis pun bisa diklarifikasi dan diingatkan kekeliruannya. Jelas Golput bukanlah sikap tak memilih dan tak datang ke TPS. Golput iyalah datang ke TPS dengan sikap memilih tak memilih tawaran surat suara (karena tak memilih pun pilihan dalam demokrasi).

Golput tetap relevan

Pertanyaannya, apakah Golput tetap relevan meski konteks Orde Baru sudah berganti? Dalam artikel opininya “Dua Kiat Menumpas Golput” (Majalah Tempo, 28/12/1996), Arief mengingatkan, defenisi Golput di atas mempunyai keterikatan terhadap sejarah prosedur pemilu dan kultur berpolitik Indonesia. Golput 1971 yang digerakannya jelas masuk dalam sejarah prosedur pemilu. Merujuk kultur berpolitik Indonesia, sistem nenek moyang pemilihan kepala desa ternyata menyediakan pilihan kotak kosong sebagai prosedur tak memilih bila calon tunggal yang dinilai tak layak bagi pemilih.

Arief seperti mau menegaskan: jika tak memilih juga merupakan pilihan yang dijamin demokrasi, maka tak memilih tetap relevan dalam pemilu, di mana pun dan kapan pun. Sudah selayaknya pilihan politik dalam demokrasi diupayakan utuh terepresentasi dalam prosedur demokrasi bernama pemilu.

Pasca-Reformasi, pemaknaan Golput yang merujuk konteks bisa jadi memang tak utuh sesuai. Tapi secara substansi bisa saja dikaitkan sehingga disimpulkan Golput tetap relevan. Golput adalah sikap ideologis oposisi terhadap kuasa formal dengan tak memilih pada pilihan surat suara di dalam bilik yang dibatasi area bernama TPS. Yang dimaksud kuasa dihadapan pemilih bisa berupa otoritarian, oligarki, intervensi proses beserta hasil pemilu, atau apa pun. Doktrin sosialisasi penyelenggara pemilu berbunyi “pilih terbaik dari yang terburuk” sangat mungkin tak bisa diterima sebagian warga. Sehingga semangat pilihan bermakna partisipasi perlawanan dalam prosedur memilih harus tetap dijaga.

Tirani “matematika (kuasa) pemilu”

Sayangnya, argumentasi di atas selalu terbentur penerimaannya dengan pemaknaan pemilu yang sangat teknis. Sebagian pakar di luar dan di dalam Indonesia yang menggunakan pemilu sebagai sistem pemilihan, pemilu dimaknai sebagai proses mengkonversi suara menjadi kursi. Sampai tataran ini sebetulnya tak ada masalah, yang bermasalah ketika intervensi kepentingan kuasa mendorong pemaknaan, kursi yang tersedia sebagai representasi jumlah penduduk dan batasan daerah harus diisi.

Jadi, yang penting bagi pemilu adalah suara yang memang bermanfaat bagi elite kuasa politik. Saat itulah pemilu yang memang berdimensi matematika menjadi penting jika sesuai dengan keinginan elite kuasa politik. Pemaknaan ini akan menolak Golput sebagai bagian dari pilihan dalam pemilu. Pemaknaan ini pun yang menjadi dasar sindrom survei pemilu yang mementingkan tingginya elektabilitas. Akhirnya pemilu dalam aspek kontestasi bukanlah representasi aspirasi atau ideologi rakyat, melainkan soal pemilik elektabiltas tertinggi untuk bisa dikonversi menjadi kursi.

Golput pun sering dibenturkan dengan pertimbangan biaya penyelengaraan pemilu yang amat mahal. Padahal selama ini kita terus dikampanyekan memilih peserta yang buruk yang kita tahu pemerintahannya pun merugikan uang negara melebihi biaya pemilu. Kesejahteraan rakyat sebagai tujuan dari demokrasi pun jauh panggang dari api. Jadi, yang mana sebetulnya yang merugikan negara? Apakah betul, memaksa warga memilih “terbaik dari terburuk” tak berkontribusi mengakui pemerintahan yang (cenderung) korup?

Dari pemaknaan itu, pemilu melupakan demokrasi. Orang lupa bahwa pemerintahan “dari, oleh, dan untuk rakyat” merupakan koin logam yang satu sisinya adalah demokrasi dan sisi lainnya adalah pemilu. Demokrasi tak bisa tanpa pemilu. Sebaliknya, pemilu pun tak bisa tanpa demokrasi. Pemilu merupakan pembeda antara demokrasi dengan pemerintahan lainnya seperti kerajaan/monarki, aristokrasi, teokrasi, khilafah, dan pemerintahan lainnya. Jika Golput merupakan bagian dari demokrasi, Golput seharusnya pun tercermin dalam pemilu sebagai prosedur pemilihan demokrasi.

Untuk meningkatkan nilai sikap Golput yang direndahkan dalam pemilu kita buat pemilu bisa memfasilitasi warga menghukum peserta (caleg, partai, atau capres-cawapres) dan atau penyelenggara pemilu. Aturan pungut-hitungnya bisa saja dibuat dapat mengkonversi suara Golput menjadi kursi kosong. Pakistan melakukan pemilu ulang jika suara “tak memilih” lebih dari 50 persen. Swedia menyediakan kotak kosong putih untuk dicentang pemilih sehingga kalkulasinya jadi evaluasi yang menohok penyelenggara dan peserta pemilu.

Kita lihat, akan seberapa kuat pilihan Golput bisa menarik warga datang ke TPS menggunakan hak pilihnya untuk tak memilih tawaran peserta pemilu di surat suara. Melalui penyikapan Golput yang diakui dalam surat suara dan diperhitungkan dalam konversi suara, pemilu akan mengalami otokritik legal dan terukur. Penghargaan “suara putih” ini jadi kritik tak hanya bagi penyelenggara, tapi juga partai dan politisi kontestan pemilu. []

USEP HASAN SADIKIN