Maret 19, 2024
iden
Sumber: akun Youtube KPU RI.

Harsanto Nursadi:  Sirekap Dapat Dipertanggungjawabkan secara Hukum Administrasi

Pakar hukum administrasi negara Universitas Indonesia, Harsanto Nursadi menerangkan aspek hukum administrasi dari penerapan Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) di Pemilu 2024. Harsanto menjelaskan bahwa rekapitulasi suara yang dilakukan secara elektronik dapat dipertanggungjawabkan, baik secara hukum, etika kerja penyelenggara pemilu, maupun akuntabilitas hasil. Simak selengkapnya pemaparan Harsanto pada diskusi “Penerapan Sirekap pada Pemilu” (17/11) dalam format wawancara.

Bagaimana penyelenggaraan negara, dalam hal ini pemilu, dapat dilakukan dengan sistem elektronik? Adakah dasar hukum yang melindungi kegiatan tersebut?

Kita harus menyimak perkembangan pengaturan administrasi negara. Tahun 1970an, Undang-Undang (UU) No.10/1970 tentang Kehakiman sudah menyebut ada peradilan administrasi negara, yang kemudian ditindaklanjuti tahun 86 dengan UU No.5 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Masa Reformasi, ada UU No.28 tentang Anti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). 2006, UU Kependudukan. Agak aneh, kita merdeka sekian tahun, tapi UU Kependudukan baru ada tahu 2006.

Lalu ada UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Ini tonggak luar biasa dalam sistem pemerintahan. Di mana teknologi informasi diakui sebagai sistem yang menyambung beberapa pihak. Lalu ada Ombudsman. Ada UU Arsip, ini sangat penting terkait jaminan atas arsip-arsip kita. Harus kita akui, dalam konteks pengarsipan, kita agar sembrono. Sekarang pengarsipan sudah terdigitalisasi.

Kemudian tahun 2014, muncul UU yang menjadi tonggak besar dalam sistem pemerintahan. Objek materil pemerintahan baru diatur pada 2014 dengan lahirnya UU No.30 tentang Administrasi Pemerintahan. Lalu ada perbaikan UU Kependudukan.

Di 2020, ada UU baru, yang selalu diributkan dari berbagai sektor. Dari metodenya, prosesnya, segala macam. Tapi, lahirnya UU Cipta Kerja mengubah paradigma yang sangat luar biasa, terutama dalam konteks proses, prosedur administrasi pemerintahan. Khususnya lagi, di perizinan walau konteksnya perizinan usaha. Ini membuat sebuah lompatan luar biasa. Seharusnya Sirekap ini dekat dengan UU ITE tadi. Jadi ketika UU ITE muncul, maka seluruh proses elektronik ada di sebelahnya.

Ketika kita bicara UU Cipta kerja, kita masuk ke dimensi baru. Kita menyebutnya dengan era industri 4.0. Jadi, IT (information technology) memang harus kita terapkan. Data terkumpul di satu tempat. Lalu muncul pabrik cerdas tadi karena ada yang merangkum data. Ada juga internet untuk segalanya atau IoT (Internet for Things). Kemudian sistem siber berkomunikasi satu sama lain dan manusia secara bersamaan. Hubungan manusia tidak lagi dibatasi dengan saling bertemu, tetapi interface.

Untuk konteks pemilu, bagaimana mengubah paradigma manual ke elektronik?

Tidak mudah mengubahnya karena banyak hal, satu di antaranya, berbagai kesenjangan dari penguasaan elektroniknya sendiri. Orang menganggap manual lebih valid karena ada fisik. Padahal, elektronik itu juga bisa difisikkan, hanya tidak dalam sebuah kertas. Manual sebenarnya lebih terbatas pada ruang dan waktu. Bukti-bukti dalam konteks pemilu ada di TPS-TPS. Tetapi ketika data digitalnya masuk, dia melewati ruang dan waktu. Apakah itu sama? Ada proses yang membuat dia sama sebenarnya. Kemudian, pengolahan data manual memerlukan energi dan tempat yang besar. Tapi elektronik, akan jauh lebih mempercepat proses ini.  Juga, manual dianggap lebih terlindungi karena ada tanda tangan basah. Ingat, tanda tangan elektronik sudah diakui. Dan tanda tangan elektronik ini bukan tempel tanda tangan, tapi ada verifikasi bahwa dia itulah yang menandatangani.

Jadi, data elektronik, selain terlindungi oleh hukum, karena pengambilannya sah, sudah diatur, juga terlindungi oleh teknologi itu sendiri.

Bagaimana Sirekap? Apakah ada dasar hukum yang cukup untuk penerapan Sirekap secara resmi (menggantikan rekapitulasi manual) di Pemilu?

Di UU No.1/2015, penghitungan suara bisa dilakukan secara elektronik. Kemudian putusan MK (Mahkamah Konstitusi) juga mengakui data elektronik. Di UU No.7/2017, Pasal 64 huruf G, rekap secara elektronik. Juga UU ITE memuat informasi elektronik. UU ITE ini sebenarnya menganggap dokumen elektronik sama kuat pembuktiannya dengan dokumen fisik.

Tapi, secara khusus, memang belum ada yang mengatur Sirekap secara detail dan khusus. Namun Sirekap sudah disebut dan menjadi norma, walaupun masih dalam proses. Jadi, tidak secara spesifik dan tidak memungkinkan dalam sebuah peraturan perundang-undangan. Itu pun sudah bisa menjadi sebuah dasar hukum. Jadi, dia bagian dari proses. Nah kalau kita menepatkan Sirekap sebagai bagian dari proses, maka dasar hukumnya sudah sangat kuat.

Tahap berikutnya, peraturan teknisnya. Di dalam peraturan perundang-undangan, ada objek-objek yang diatur secara detail, tapi ada juga objek-objek yang hanya disebut saja. Objek yang diatur keseluruhan dalam UU khusus, tetapi ada juga yang hanya ada dalam bab-bab tertentu di UU, tetapi rigid. Wajib diatur lebih lanjut. Peraturan lebih lanjutnya juga rigid, tidak bisa lepas dari pengaturan yang ada di UU.

Faktanya, biasanya Permen (Peraturan Menteri), Perda (Peraturan Daerah), biasanya 80 persen sama persis, atau 90, atau bahkan 95 persen dengan bunyi norma di UU. Kemudian, dia relatif lebih tertutup dalam pengaturan lebih lanjut. Artinya, karena norma-normanya sudah dibahas di bab, tidak terbuka lagi untuk membahas lebih luas. Dan, pengaturannya menjadi lebih tekstual. Norma-norma tadi kalau dijabarkan hanya teknisnya saja. Norma teksnya tidak akan banyak berubah. Jadi, hanya teknis dan prosedural saja yang akan berkembang.

Di sisi lain, ada pasal-pasal yang hanya disebut sebagai sebuah proses, dan dia melekat pada pengaturan lain dalam sebuah proses. Ini wajib diikuti. Dia juga kuat menjadi dasar hukum. Tetapi, karena dia menjadi bagian yang hanya disebut, pengaturannya menjadi tidak terlalu rigid. Bisa saja dimodifikasi. Ada kondisi tertentu, disesuaikan, karena UU tidak mengatur rigid.

Jadi, Sirekap sangat erat kaitannya dengan UU ITE, juga UU Pemerintahan. Proses kepemiluan ini kan juga jadi bagian dalam satu fungsi dalam pemerintahan. Dia lebih open policy, tapi bukan berarti semaunya, tetap harus kontekstual. Kalau yang tadi tekstual. Jadi, walaupun ada penyesuaian dalam kondisional, tetap harus kontekstual dan tidak bertentangan. Pengaturan lebih lanjut bisa dalam peraturan dan juknis atau prosedural.

Jika Sirekap ditetapkan untuk mengganti proses manual, proses pada Sirekap juga termasuk kegiatan administrasi negara?

Nah, kita tidak bisa lagi bertarung dengan konsep manual. Bahwa manual itu ada, boleh-boleh saja. Manual sebagai back up, boleh-boleh saja. Harus diakui, bahkan pengadilan harus memahami betul, ada perubahan paradigma.

Kalau kita bicara pertentangannya, manipulasi, memangnya yang manual tidak bisa dimanipulasi? Tentunya bisa juga. Jadi, menurut saya, kita berhenti dalam perdebatan itu, tinggal kita melindungi perjalanan data tadi hingga masuk ke data center. Dasar hukumnya ada di UU ITE.

Nah, dalam sebuah proses, menghitung suara adalah tindakan pemerintahan. Itu dilindungi oleh UU 30. Memfinalisasi, mengirim gambar, itu tindakan nyata yang dilindungi. Jadi, proses itu dilindungi, tidak hanya di ujungnya saja atau di rekap yang ditandatangani, tetapi juga prosesnya. Dan, ada pertanggungjawabannya juga. Kalau terjadi penyimpangan di situ, hukuman bisa ke orang-orang yang menyimpang.

Apa regulasi yang harus disiapkan apabila Sirekap akan diterapkan di Pemilu 2024?

Dalam hal pemilu dilakukan sepenuhnya secara elektronik, maka Sirekap otomatis elektronik. Maka konsekuensinya, UU No.7/2017 harus dirombak. Kalau konteksnya pemilunya manual, Sirekap sebagai alat bantu, maka cukup diatur di PKPU. Karena kewenangan awalnya sudah ada di dalam pengaturan perundang-undangan. Dan, validitas Sirekap akan lebih kuat dari proses yang manual. Karena kemungkinan mengubah jauh lebih sulit. Dan data itu difoto, pakai OCR (Optical Mark Recognition) dan segala macam.

Pasti ada yang membahas foto bisa dimanipulasi, tapi apa manual tidak bisa? Ini tahap teknologi yang kita gunakan. Data terkumpul dengan sangat cepat. Kita menghemat waktu dan tenaga. Data yang terkirim bisa jadi data yang valid, sama seperti data awal. Hakim juga tidak harus memaksa data-data awal tadi atau data dari rekap fisik. Contohnya, perizinan di sistem Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), keluar izinnya. Ada sistemnya, ada kewenangannya. Nah prosesnya sangat elektronik, tapi ada titik-titik yang perlu verifikasi. Tapi kita bisa kirim saja dari rumah, izinnya keluar. Yang tanda tangan, pejabat-pejabat yang berwenang. Itu bisa kita contoh.

Jadi, yang harus dibuktikan hakim, bagaimana Anda menguji prosedurnya. Ini norma yang didigitalisasi. Yang mungkin bisa diuji, apakah yang tanda tangan adalah pejabat yang berwenang. Hanya orang yang berwenang yang bisa menyetujui suatu proses.

Proses di Sirekap akan jadi objek TUN. Jangan khawatir. Ada perlindungan justru, bahwa yang kita lakukan itu prosedural, tidak asal-asalan. Intinya, responsibility dan accountability-nya terjamin. Sisi positifnya, kalau ini jadi objek TUN, bukan berarti minus, tetapi jaminan. Selama proses kita benar, peradilan akan memihak kepada kita.

Jadi, KPU membuat pengaturannya, kesiapan sarana dan prasarana, kesiapan SDM (sumber daya manusia), perlindungan data, dan sosialisasi. Tidak semua masyarakat bisa mengubah paradigma manual ke elektronik. Sosialisasi tidak sederhana. Mungkin generasi muda, ini bukan sesuatu yang baru. Tapi ada generasi yang sangat sulit menerima, itu data yang tidak kasat mata.

Apa opsi penerapan Sirekap yang Anda rekomendasikan?

Bisa saja pemilu dilaksanakan secara penuh elektronik, atau hybrid, mungkin juga pemilunya manual dan terdigitalisasi di titik tertentu, tapi rekapnya elektronik. Terakhir, manual. Manual sekalipun rekapnya elektronik. Yang paling penting dalam konteks ini, ini berdasar hukum, dan validitasnya juga dijamin. Yang terpenting, prosesnya sesuai dengan apa yang ditetapkan KPU atau yang melakukan bimtek (bimbingan teknis).