Maret 19, 2024
iden

Herwyn Malonda: Green Election Jamin Hak Lingkungan Sehat untuk Generasi Mendatang

Senin (12/10), Komite Independen Sadar Pemilu (KISP) menggelar diskusi bertajuk “Green Election: Pemilu Ramah Lingkungan, Tanggung Jawab Siapa?”. Diskusi tersebut menghadirkan Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Sulawesi Utara, Herwyn Malonda. Herwyn merupakan penulis buku Green Constitution. Simak pemaparan Herwyn mengenai green election atau pemilu ramah lingkungan dalam format wawancara.

Mengapa perlu pemilu yang ramah lingkungan?

Ya, green election itu sebenarnya turunan dari green konstitusi. Kondisi saat ini, 15 Januari 2019, di Kota Manado, menjelang Pemilu 2019,terjadi bencana waktu itu. Juga di daerah lain ada kondisi kerusakan lingkungan. Nah, karena kondisi lingkungan kita sudah tidak baik, banyak kerusakan, maka kita perlu mengatur agar pemilu kita bisa berkontribusi untuk menyelamatkan lingkungan, bukan memperparah kerusakan lingkungan.

Bagaimana Anda melihat kondisi pelaksanaan pemilu saat ini? Apakah banyak hal yang Anda nilai memperparah kerusakan lingkungan?

Ada banyak sampah visual pemilu. Di 2019, ini terjadi, baik oleh penyelenggara pemilu maupun peserta pemilu. Banyak baliho-baliho, selain terbuat dari plastik, pemasangannya juga tidak memperhatikan etika dan estetika. Baliho itu dipasang menutupi pohon. Pohon kan ada daun, daun melakukan fotosintesis, nah ini menghalangi.

Juga, KPU kan mengeluarkan edaran agar surat suara yang dianggap rusak, supaya tidak dipergunakan salah, harus dibakar. Saya sempat protes saat itu. Kenapa dibakar, kenapa tidak digunakan mesin penghancur kertas. Kertas yang hancur itu kan bisa dipergunakan, entah itu jadi daur ulang atau jadi kompos.

Penelitian saya di Kota Manado, kertas yang digunakan untuk pendaftaran pemilih itu sebanyak 446.732 lembar kertas HVS atau 894 RIM. Jumlah ini setara dengan 894 pohon berumur 5 tahun. Orang lingkungan tahu kalau 1 RIM itu sama dengan 1 pohon berusia 5 tahun. Apalagi surat suara kita kualitasnya tinggi. Dan kalau saya lihat ukurannya, surat suara Pemilu DPD, RPD, dan DPRD, minimal dua kertas HVS. Kalau kita hitung-hitung, maka di Kota Manado sendiri ada 6.675 RIM kertas yang digunakan untuk surat suara saja. Berarti, 6.675 pohon ditebang. Nah, kalau 6.675 RIM kertas dikali 514 kabupaten/kota kali 7 surat suara, maka banyak sekali.

Kemudian APK (alat peraga kampanye), temuan Bawaslu Kota Manado, ada 10.143 unit APK dengan total ukuran 37.700m2.  Bandingkan dengan luas Kota Manado yang hanya 157.300m2. APK itu 23 persennya.

Maka, dari data-data ini, menjadi catatan agar pemilu memperhatikan lingkungan. Harus ada titik temu antara pemilu yang menjamin hak rakyat untuk memilih dan hak rakyat untuk terjamin lingkungannya. Ini sama-sama terkait hak, ada di konstitusi. Pasal 28 H ayat (1) menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Kemudian Pasal 33 ayat (4), “Perekonomian nasional diselenggarakan dengan menggunakan sumber daya seminimal mungkin untuk mencapai kemakmuran sebesar-besarnya yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat.” Dua klausul konstitusional ini mengamanatkan bahwa ada norma lingkungan.

Apa gagasan yang Bapak tawarkan mengenai green election?

Pertama, harus ada konsep green di dalam peraturan perundang-undangan. Pemilu harus memperhatikan lingkungan. Perlu ada e-election, bukan sekadar e-voting. Jadi, ada juga e-campaign. Saya berharap dari sisi regulasi, karena sudah diamanatkan oleh konstitusi, peraturan ramah lingkungan.

Kalau kita melihat UU Pemilihan dan UU Pemilu, sebetulnya sudah mengamanatkan green election. Pasal 66 ayat (5) UU No.1/2015 tentang Pemilihan menyebutkan bahwa “Pemasangan alat peraga Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (4) oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan mempertimbangkan etika, estetika, kebersihan, dan keindahan kota atau kawasan setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Norma ini disebutkan juga di Pasal 298 UU No.7/2017 tentang Pemilu. Kemudian di Pasal 85 ayat (2) UU No.1/2015 menyebutkan bahwa pemungutan suara dapat dilakukan secara elektronik.

Lalu di PKPU No.23/2018 Tentang Kampanye Pemilu, KPU mengamanatkan agar bahan kampanye mengutamakan penggunaan bahan yang dapat didaur ulang. Selama ini, daur ulang yang dimaksud hanya sekadar menggunakan kembali. Misalnya, bahan plastik itu dipakai untuk menutupi warung-warung dan sebagainya. Kemudian di PKPU No.15/2018 Tentang Norma, Standar, Prosedur, Kebutuhan Pengadaan, dan Pendistribusian Perlengkapan Penyelenggaraan Pemilu, Pasal 12 ayat (6), sudah menormakan agar surat suara dibuat dari bahan yang dapat didaur ulang, yaitu bubur kertas atau pulp. Nah, pulp ini juga sebenarnya dari kayu.

Bawaslu lebih progresif, bahwa APK tidak dipasang di pepohonan. Tetapi, masalahnya, dalam pengamanan APK yang dipasang di tempat yang dilarang, tidak ada keterlibatan Kementerian Lingkungan Hidup. Padahal, diperlukan. Satpol PP kan hanya sekadar menertibkan, tetapi Kementerian Lingkungan Hidup mengatur agar dilarang memasang di jalur hijau.

Jadi, saya berharap ada kebijakan pembatasan penggunaan kertas dan plastik. Kami di Sulawesi Utara, sudah membiasakan, agar setiap kegiatan membawa Tumbler sehingga panitia hanya menyediakan air galon.

Kemudian, saya harap e-election bisa disosialisasikan ke semua pihak, agar masyarakat terlibat. Karena, persepsinya, seolah-olah pemilu terlepas dari aktivitas pengelolaan dan perlindungan lingkungan. Padahal, tahapan pemilu itu aktivitas manusia yang terkait dengan lingkungan.

Maka, solusinya, pertama, sudah harus memikirkan untuk bahan daur ulang. Bisa dikoordinasikan dengan Dinas Lingkungan Hidup.

Berikutnya, kampanye harus minimalkan penggunaan kertas. Bisa e-campaign atau kampanye digital. Kami di Sulawesi Utara, menggagas tema kampanye “Pemilu Ramah Lingkungan”. Di Pilkada 2020, sudah dimulai kampanye digital, tapi belum maksimal.

Kemudian, biasanya kita rapat di tempat tertutup, ada penggunaan AC. Ke depan, penyelenggara pemilu menyelenggarakan kegiatan di tempat terbuka yang tidak perlu pakai penerangan dan AC.

Jadi, saya mendukung digitalisasi pemilu untuk mengurangi dampak lingkungan, termasuk e-election, apakah e-voting atau e-rekap, walaupun masih berbasis daerah yang siap. Kalau saya di Manado, saya rekomendasikan.

Saya juga mendorong penyelenggara pemilu untuk menanam pohon dan merawat itu selama lima tahun. Agar benar-benar pemilu tidak sekadar kita jamin hak rakyat, tetapi juga hak atas lingkungan bagi generasi yang akan datang.

Ada isu penyederhanaan surat suara, Anda setuju?

Ya, saya setuju. Misalnya, surat suara DPR dan Presiden, satu surat suara saja. Tanda tangan hanya satu kali. Itu lebih sederhana, dan penggunaan kertas otomatis berkurang. Juga, kalau pilih sistem pemilu daftar tertutup, penggunaan surat suara akan berkurang, karena yang dimuat hanya gambar partai. Poinnya, saya setuju pada penyederhanaan yang berkonsekuensi pada berkurangnya penggunaan kertas dalam pemilu kita.