August 8, 2024

Jadikan Pemberhentian Bahan Evaluasi Penyelenggara Pemilu

DKPP memberi peringatan keras terakhir kepada ketua dan empat anggota KPU terkait pelanggaran etik. DKPP juga memberhentikan secara tetap anggota KPU, Evi Novida Ginting. Menjadi bahan evaluasi penyelenggara pemilu.

Pemberhentian anggota Komisi Pemilihan Umum, Evi Novida Ginting, oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, Rabu (18/3/2020), harus menjadi bahan evaluasi internal KPU. Akan tetapi, di sisi lain, hal ini juga dinilai perlu menjadi bahan evaluasi relasi di antara lembaga penyelenggara pemilu.

Sudah dua anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) 2017-2022 diberhentikan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Sebelumnya, 16 Januari 2020, DKPP memberhentikan tetap Wahyu Setiawan dari posisi saat itu sebagai anggota KPU. Wahyu sebelumnya ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi terkait kasus dugaan suap.

Dengan pemberhentian itu, tersisa lima anggota KPU. Saat ini, KPU tengah menjalankan tahapan Pilkada 2020.

Pemberhentian Evi disampaikan majelis DKPP saat membacakan Putusan DKPP Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019 itu dalam sidang di Jakarta yang disiarkan secara daring. Sidang dipimpin Pelaksana Tugas Ketua DKPP Muhammad.

Dalam putusannya, Evi dinilai melanggar kode etik penyelenggara pemilu dalam perkara yang diajukan Hendri Makaluasc, calon anggota DPRD Provinsi Kalimantan Barat. Selain menjatuhkan sanksi kepada Evi, DKPP juga memberi peringatan keras terakhir kepada Ketua KPU Arief Budiman, anggota KPU Pramono Ubaid Tanthowi, Ilham Saputra, Viryan, dan Hasyim Asy’ari. Sementara itu, Ketua KPU Kalimantan Barat Ramdan dan para anggota KPU Kalimantan Barat, yakni Erwin Irawan, Mujiyo, dan Zainab, mendapatkan sanksi peringatan.

Para teradu dinilai melanggar Pasal 6 Ayat (2) huruf c dan huruf d, Padal 6 Ayat (3) huruf a dan f, juncto Pasal 10 huruf a, Pasal 11 huruf a dan b, Pasal 15 huruf d, huruf e, dan huruf f, serta Pasal 16 huruf e Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu. Pasal-pasal itu terkait integritas dan profesionalitas penyelenggara pemilu.

Dalam perkara yang diadukan Hendri Makaluasc, teradu dianggap tidak mampu menyokong terwujudnya penyelenggaraan pemilu berintegritas yang memastikan kemurnian suara pemilih sesuai desain sistem pemilu proporsional terbuka dengan metode penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak.

Dalam pertimbangan putusan, Evi disebutkan memiliki tanggung jawab etik lebih besar dari anggota KPU yang lain. Sebab, Evi menjadi Koordinator Divisi Teknis Penyelenggaraan dan Logistik Pemilu. Selain itu, Evi juga Wakil Koordinator Wilayah untuk Kalimantan Barat. Disebutkan pula bahwa pada 10 Juli 2019 DKPP menjatuhkan sanksi peringatan keras kepada Evi serta diberhentikan dari jabatan ketua divisi SDM, organisasi, diklat, dan litbang.

Final mengikat
Dihubungi seusai persidangan, anggota DKPP Ida Budhiati mengatakan, putusan DKPP bersifat final dan mengikat. Presiden memiliki waktu paling lambat tujuh hari untuk melaksanakan putusan itu, setelah putusan dibacakan. ”Ya, (selanjutnya) Presiden menerbitkan SK pemberhentian (terhadap Evi) berdasarkan putusan DKPP,” kata Ida.

Ketua KPU Arief Budiman dan anggota KPU, Ilham Saputra, saat dihubungi terpisah mengatakan KPU masih menunggu salinan putusan DKPP. Setelah mempelajari putusan DKPP tersebut, baru KPU akan menyampaikan sikap.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini mengatakan, secara kelembagaan, KPU harus menggunakan putusan ini sebagai evaluasi internal. Putusan ini dapat digunakan untuk melihat efektivitas sistem kerja KPU dalam membuat keputusan dan melaksanakan tahapan pemilu.

Meskipun hanya Evi Novida Ginting Manik yang diberhentikan, putusan itu menyangkut kebijakan yang diputuskan kolektif kolegial. ”Keputusan tersebut diambil bukan orang per orang,” kata Titi.

Menurut Titi, seharusnya perkara Evi jadi tanggung jawab kelembagaan KPU. Karena itu, perlu ada perbaikan dalam pola kepemimpinan kolektif. Menurut dia, dampak putusan ini bukan hanya pada reputasi kelembagaan KPU. Namun, hal ini bisa memperburuk residu Pemilu 2019 yang bisa memperkuat krisis kepercayaan terhadap kredibilitas KPU.

Titi mendorong agar DPR dan pemerintah mendudukkan tiga lembaga penyelenggara pemilu, yaitu KPU, Badan Pengawas Pemilu, dan DKPP untuk membangun sinergi lebih konstruktif guna mencegah munculnya masalah integritas di kemudian hari. Menurut Titi, hal ini akan menjadi evaluasi juga terhadap efektivitas pengawasan Bawaslu. Sebab, apabila pengawasan Bawaslu efektif, pelanggaran kode etik berulang oleh KPU bisa dicegah.

Kasus ini, kata dia, menjadi pembelajaran bagi pembuat undang-undang yang sedang merevisi UU Pemilu untuk mendesain kelembagaan penyelenggara pemilu yang lebih efektif.

Pendiri Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas Hadar Navis Gumay mempertanyakan apakah KPU memiliki masalah yang besar atau ada putusan keliru dari DKPP. Dengan berkurangnya satu lagi anggota KPU, beban kerja yang dipikul anggota yang tersisa semakin berat. Karena itu, posisi kosong itu perlu segera diisi. (INGKI RINALDI DAN PRAYOGI DWI SULISTYO)

Dikliping dari artikel yang terbit harian Kompas. https://kompas.id/baca/polhuk/2020/03/19/jadikan-pemberhentian-bahan-evaluasi-penyelenggara-pemilu/