Tok! Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui usulan Pemerintah, Komisi Pemiihan Umum (KPU), dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk melaksanakan Pemilihan Umum Legislatif yaitu Calon Presiden dan Calon Wakil Prsiden pada 14 Februari 2024. Lembaga-lembaga survei secara rutin menunjukkan hasil surveinya mengenai elektabilitas tokoh-tokoh bangsa yang dipersiapkan untuk menggantikan Presiden 2 periode yaitu Joko Widodo. Partai politik mulai melakukan kerja-kerja politik untuk terus mendongkrak popularitas partai dan tokohnya, mulai dari turun ke daerah-daerah pemilihan (dapil), memasang baliho, melakukan iklan di sosial media, dan lainnya.
Grusa grusu partai politik melalui aktor-aktor politiknya mulai terlihat. Ada wacana amandemen undang-undang terkait masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden menjadi 3 periode. Lalu ada Ambang batas pencalonan presiden 20%. Juga ada minimnya keterwakilan peran politik perempuan dalam KPU dan Bawaslu. Dan yang teraktual ada wacana pengunduran pemilu pada tahun 2024.
Ambang batas pencalonan
Ambang batas pencalonan presiden bukan merupakan hal yang baru dalam sejarah pemilu di Indonesia. Ia ada sejak Pemilu 2004 dengan rata-rata 20% keterwakilan wakil rakyat yang duduk di kursi DPR secara nasional. Meski demikian, sejak tahun 2017, sudah belasan kali judicial review penghapusan ambang batas pencalonan dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh para tokoh masyarakat serta akademisi politik dan hukum. Hasilnya, semuanya ditolak MK.
Banyak orang menganggap, ambang batas pencalonan presiden 20% sebagai hukum yang tidak adil. Dampak buruknya terlihat pada Pemilu 2014 yang hanya ada dua pasangan calon presiden-wakil presiden yang dapat berkompetisi. Rakyat terbelah secara nyata menjadi cebong atau kampret. Suatu pernyataan bisa mudah dipastikan memihak pada satu kelompok menyertakan pilihan presiden. Tidak ada poros lain. Ini semua penting dievaluasi.
Di samping itu, sekarang partai-partai mengalami krisis kepercayaan diri untuk memajukan tokoh-tokoh partai politiknya sendiri. Dibanding maju dan bertarung secara konstitusional di gelanggang pemilu, mereka lebih memilih untuk berkoalisi kepada partai besar pemenang pemilu. Tujuannya adalah mendapat sedikit kue-kue politik setelah berkoalisi.
Maka, pada dasarnya ambang batas pencalonan presiden dalam pemilu di Indonesia sesungguhnya menciderai hak politik. Prinsip demokrasi ditabrak dengan pembatasan pilihan masyarakat dalam menentukan calon pemimpinnya. Oligarki ekonomi dibiarkan tumbuh mengatur regulasi lewat proses-proses politik yang dimudahkan melalui pembatasan pilihan dalam pemilu.
Rendahnya keterwakilan perempuan
Keterwakilan perempuan dalam komposisi legitimasi anggota KPU dan Bawaslu tidak sampai mencapai 30%. Padahal, keterwakilan 30% perempuan tertuang dalam amanat undang-undang. Tetapi lagi dan lagi, DPR yang membuat undang-undang sekaligus melanggarnya. Sengkarut kepentingan politik di dalam penetapan anggota KPU dan Bawaslu masih tidak bisa dilepaskan. Proses-proses yang dilalui oleh calon anggota seakan hanya menjadi kegiatan menggugurkan kewajiban saja.
Kekecewaan dalam pemberian hak politik terhadap perempuan ini tentu saja mendapat banyak respons dari lembaga-lembaga pengawas pemilu yang dari awal sudah mengawal proses pemilihan anggota KPU dan Bawaslu ini. Sebut saja ada Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Pusat Kajian Ilmu Politik (Puskapol) Universitas Indonesia (UI), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Konstitusi Demokrasi (Kode) Inisiatif, Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, dan lainnya.
Pembina Perludem, Titi Anggraini mengatakan, urgensi keterwakilan perempuan bukan sebatas deskripsi angka-angka, tetapi juga membawa perspektif dan paradigma berdasarkan kebutuhan dan pengalaman khas dari perempuan. Dinamika ini diyakini akan memengaruhi cara organisasi dan lingkungan sosial dikelola sehingga lebih mampu merefleksikan kebutuhan dan pendekatan yang beragam, setara, adil, dan tanpa diskriminasi gender.
Wacana penundaan pemilu
Wacana penundaan pemilu juga kembali mencuat di radar perpolitikan Indonesia saat ini. Berbagai alasan yang diberikan yang salah satunya adalah faktor ekonomi setelah pandemi. Wacana ini bukan lah satu hal yang baru, dulu Jokowi diisukan untuk menambah masa jabatannya menjadi tiga periode tetapi ia menolaknya dengan tegas, tidak lama juga seorang Menteri mewacanakan penundaan pemilu karena alasan investasi, dan hari ini kembali lagi mencuat wacana tersebut melalui beberapa partai politik dan Organisasi Masyarakat.
Sudah ada sejumlah lembaga yang menginginkan penundaan Pemilu 2024. Dari partai politik ada Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Golongan Karya (Golkar), dan Partai Amanat Nasional (PAN). Salah satu organisasi masyrakat Islam terbesar di Indonesia yaitu Nahdathul Ulama (NU) pun mengafirmasi untuk diadakan penundaan pemilu.
Dalam hal ini, Presiden Joko Widodo belum merespon dengan pasti. Keadaan saat ini membutuhkan kepastian sikap untuk menolak penundaan pemilu karena menabrak konstitusi.
Malah sudah ada beberapa lembaga yang secara resmi mengeluarkan sikap menolak penambahan masa jabatan. Di antaranya termasuk partai pendukung utama pemerintahan Jokowi, yaitu Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan. Lalu ada ormas Islam Muhammadiyah yang dengan tegas dan lugas menolak wacana tersebut.
Manuver-manuver politik seperti ini memang perlu dicurigai adanya. Ada beberapa partai politik yang bersemangat menyetujui penundaan pemilu. Lalu ada seorang Menko yang menyampaikan penundaan dengan menyebutkan partai-partai DPR yang juga mendukung penundaan. Ada juga narasi yang berkembang, ini hanya intrik untuk menaikkan elektabilitas para ketua partai politik. Atau malah ini sebuah strategi dan propaganda politik untuk menutupi isu yang sedang berkembang di masyarakat seperti UU Ibu Kota Negara (IKN) dan polemik Jaminan Hari Tua (JHT).
Tentu, semua ini merupakan hal-hal yang harus diantisipasi dan dikawal secara bersama. Upaya menabrak konstitusi dan mengkhianati semangat Reformasi, harus dilawan. Presiden dan Wakil Presiden dengan masa jabatan 5 tahun, hanya dapat dipilih dua periode saja, tidak lebih daripada itu. []
ASYRAF AL FARUQI TUHULELE
Mahasiswa Ilmu Politk FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ)