Pembahasan terhadap Rancangan Undang-Undan Pemilihan Umum (RUU Pemilu) Presiden/Wakil Presiden, Anggota DPR,DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/kota telah bergulir. Sebagai pribadi yang concern terhadap persolaan politik baik keilmuan maupun praktis turut mengambil bagian minimal mengikuti perkembangan pembahasan terhadapa RUU yang akan menjadi asas legalitas pemilu ini.
Keikutsertaan saya melalui tulisan ini sekiranya dapat memberikan subangsih pemikiran dan pendidikan politik bagi masyarakat khususnya berkaitan denga RUU pemilu yang sedang di bahas oleh pemerintah dan DPR. Oleh karena itu, salah satu yang menarik dan perlu di kemukakan dalam tulisan ini adalah pembahasan RUU Pemilu berkaitan dengan metode penetapan pemenang bagi anggota DPR, DPRD Provinsi, Kab./Kota. Wacana kembali ke system proposional tertutup sebagaimana telah di gunakan pada pemilu 2004 kembali mencuat, ini terlihat dalam draf RUU Pemilu yang disodorkan pemerintah. Kali ini pemerintah mengusulkan untuk menggunakan system proposional terbuka terbatas.
Usulan pemerintah itupun mendapat respon penolakan dari Partai Amanat Nasional (PAN). Penolakan di sampaikan Ketua Badan Pemenangan Pemilu DPP PAN Viva Yoga Mauladi dengan dasar bahwa system proposional terbuka terbatas tidak jauh beda dengan sisem proposional tertup. Dengan demikian maka penentuan siapa pemenang mewaklii parpol di parlemen berdasarkan nomor urut. Penentuan lewat nomor urut akan memunculkan politik oligarki, dan calon legislative akan diputuskan oleh kebijakan parpol. ( Jawa Pos, 9/12/2016).
Apa yang menjadi dasar alasan penolakan PAN tersebut merupakan rasionalitas politik yang harus didukung oleh parpol lain serta seluruh lapisan masayrakat, sebab menurut hemat penulis, mekanisme penentuan berdasarkan nomor urut merupakan bagian dari “penghianatan” demokrasi yang meletakkan suara rakyat sebagai suara tuhan. Kembali kepada proposional tertutup sama artinya dengan melakukan “sunat” pilitik terhadap suara rakyat. Suara rakyat di sunat untuk melegitimasi caleg pilihan partai. Iya, penentuan berdasarkan nomor urut sangat memungkinkan membuka kran praktek politik tidak sehat baik internal partai maupun eksternal.
Praktek poitik tidak sehat internal parpol berupa; Pertama, permainan persaingan tidak sehat internal para petinggi parpol, Siapa yang lebih dekat dengan pemimpin parpol memiliki kesempatan lebih besar untuk mendapatkan nomor urut satu. Kedua, membuka ruang transaksional kotor, sehingga dapat menimbulkan praktek korupsi dalam perebutan nomor urut. Ketiga, membuka ruang praktek politik dinasti, melalui nomor urut memugkinkan pemimpin partai akan menempatkan keluarganya untuk menjadi caleg dan mendapatkan nomor urut emas
Sedangkan dampak eksternal yang paling memungkinkan adalah menurunnya ruang partisipasi masyarakat pemilik hak suara untuk datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Dengan system proposional tertutup masyarakat akan memilih untuk golput karena telah mengetahui siapa pememangnya berdasarkan nomor urut yang tersedia sehingga merasa suara mereka tidak berarti.
Demokrasi yang identik dengan kompetisi,kontestasi, dan partisipasi seharusnya memberikan ruang seluas-luasnya kepada setiap warga Negara untuk mengambil bagian dari identitas demokrasi tersebut bukan malah melakukan “aborsi” politik seolah suara rakyat tidak memiliki nilai politis. Rakyat seolah diberlakukan seperti segerombolan hewan ternak yang hanya mengikuti arahan tuannya untuk masuk atau keluar kandang.
Jika demikian maka menarik kemudian mengambil pernyataan Schumpter bahwa demokrasi hanya menjadi mekanisme meligitimasi otoritas elit, hak pilih tidak dinilai pada haknya itu sendiri namu sekedar cara untuk meligitimasi para pemimpin dan memberi dukungan masa. Lanjut Schumpter, peran rakyat hanya semata-mata melahirkan pemerintah, tidak untuk memilih politisi untuk menjalankan kehendaknya (Rita Abrahamsen, 1976: 114).
Pemilu sharusnya memberikan ruang partisipasi bagi setiap warga Negara sesuai dengan kapasitas masing-masing. Ketika parpol dan para caleg berpartisipasi dalam kapasitas untuk berkompetisi dan berkontestasi, maka rakyat biasa juga memiliki hak konstitusianal dengan berpartisipasi memberikan suara untuk menentukan siapa wakil rakyat yang mewakilinya.
Artinya bahwa system proposional terbuka masih menjadi pilihan terbaik untuk minimal “aware” terhadap suara tuhan itu. DPR cermin perwakilan rakyat bukan dewan perwaklan partai. System prpsional tertutup atau terbuka terbatas lebih cocok jika pemilu kita menggunakan system distrik.
Oleh karena itu, kita berharap parpol dan elit politik tidak perlu mengutak-atik-otaknya terhadap system yang telah baik, yang dapat menampung segala “partisipasi poitik” secara proposional dan lebih memfokuskan pada kinerja kelembagaan politiknya yang selama ini di anggap absen. Partai politik absen memainkan perannya ikhwal pedidikan politik kepada masyarakat, memainkan peran penguatan lembaga pemilu, bukan membuka “lahan” busuk baru di musim pemilu. []
HASULLAH MASUDIN
Pemerhati pemilu