Presiden Joko Widodo sudah melakukan tes infeksi Coronavirus Disease 19 (Covid-19) pada 15 Maret 2020. Tentu saja kita doakan semoga Presiden yang dipilih melalui Pemilu 2014 dan 2019 ini tetap sehat dan tetap bisa digantikan melalui Pemilu 2024.
Tapi, bagaimana jika Presiden Jokowi positif Covid-19? Apa konsekuensi dari keadaan ini terkait jabatannya sebagai Kepala Pemerintahan sekaligus Kepala Negara Republik Indonesia?
Pasal 8 Undang-undang Dasar 1945 ayat (1) hasil amandemen ketiga bertuliskan: Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya.
Lalu, pemerhati politik, Ruth C. Silva punya pendapat yang terkait dengan Pasal 8 ayat (1) UUD 1945 itu. Menurutnya, pergantian presiden memungkinkan pada kondisi yang menyebabkan Presiden tidak dapat menjalankan tugas dan kewenangannya.
Jika kita fokuskan pasal UUD 1945 dengan pendapat itu, maka istilah konstitusional yang relevan jika Presiden Jokowi positif Covid-19 adalah “tidak dapat melakukan kewajibannya (dalam masa jabatannya)”. Seberapa jauh pasal ini berlaku berkaitan dengan perkembangan kesehatan presiden.
Makna “Tidak Dapat Melakukan Kewajibannya”
Akademisi Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Fajri Nursyamsi berpendapat, sebab yang bisa menggantikan jabatan presiden pada Pasal 8 ayat (1) UUD 1945 harus diklarifikasi. Dibanding istilah “mangkat”, “berhenti”, dan “diberhentikan”, kalimat “tidak dapat melakukan kewajibannya” amat berbeda pemaknaannya. Kalimat “tidak dapat melakukan kewajibannya” merupakan dasar yang tidak memberikan suatu kepastian hukum karena hanya menggambarkan suatu kondisi dari seorang Presiden dan bersifat relatif.
Selain itu, kondisi “tidak dapat melakukan kewajibannya”, seperti sakit atau disabilitas, bukanlah sesuatu yang tetap. Kondisi sakit merupakan kondisi yang dapat disembuhkan atau dihilangkan halangannya.
Sehingga, dasar keadaan relatif dan sementara dari kalimat “tidak dapat melakukan kewajibannya” tidak bisa diartikan langsung seperti tiga sebab pemberhentian lainnya. Kalimat “tidak dapat melakukan kewajibannya” merupakan sebab pergantian yang tidak mutlak dan bersifat sementara.
Menghindari kekosongan jabatan
Tapi, jabatan presiden dalam sistem pemerintahan presidensial merupakan jabatan yang harus dijaga untuk tidak terjadi kekosongan orang yang menjabat. Haramnya kekosongan jabatan presiden dalam sistem presidensial karena presiden dalam sistem pemerintahan ini merupakan kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Keberlangsungan kepemimpinan negara bisa berhenti sehingga rentan intervensi/ancaman dari luar negara. Keberlangsungan pemerintahan bisa berhenti sehingga kerja penyelenggaraan peraturan perundang-undangan oleh pemerintah dalam melayani hak warga bisa terabaikan.
Keadaan Presiden Jokowi jika positif Covid-19 harus terus diperhatikan perkembangannya. Apakah cenderung membaik. Atau sebaliknya, cenderung memburuk sehingga perlu dipikirkan proses pergantiannya merujuk pada konstitusi.
Maka berlakulah Pasal 8 ayat (1) dan (2) UUD 1945 yang bertuliskan:
- Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya.
- Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden.
Kewaspadaan keterhubungan jabatan presiden ini penting untuk merujuk data orang yang positif Covid-19 di Indonesia dan negara-negara lain. Hampir semua orang yang meninggal karena positif Covid-19 adalah orang yang berusia di atas 50 tahun. Presiden Jokowi yang lahir pada 21 Juni 1961 ini, pada 2020 berusia hampir 60 tahun.
Semoga yang terbaik untuk Indonesia bisa berlangsung. Tentu saja, semoga untuk yang terburuk dari negara yang terlalu besar ini bisa terhindari. []
USEP HASAN SADIKIN