Kengototan pemerintah mempertahankan syarat pengajuan calon presiden sebesar 20 persen kursi atau 25 persen suara sah nasional dapat dibaca sebagai sikap politik presiden Joko Widodo dala pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilu. Ia dapat dianggap mengamankan posisinya dan membatasi kesempatan munculnya calon presiden lain.
“Presiden Jokowi akan dianggap membatasi kesempatan partai atau warga negara lain bisa maju menjadi pasangan calon presiden,” kata Almas Sjafrina, peneliti pada Indonesia Corruption Watch (ICW), saat diskusi media “Menuju Sidang Paripurna RUU Pemilu: Pertaruhan Jangka Pendek Pembentuk UU?” di Jakarta (19/7).
Gelagat Jokowi ini bahkan dapat dilihat sejak pembahasan panjang isu ambang batas pencalonan presiden di rapat-rapat panitia khusus. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo bergeming pada pilihan 20-25 persen. Pilihan itu tak bisa diganggu gugat, berbeda dengan isu-isu krusial lain yang diserahkan pada kesepakatan partai-partai. Ancaman politik bahkan dilakukan oleh pemerintah.
“Ini skenario untuk mementingkan pencalonan presiden saja, bukan berjalannya demokrasi ke depan,” tandas Sunanto, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR).
Pilihan politik Jokowi soal syarat pencalonan presiden 20-25 persen ini justru berpotensi menjebaknya di kemudian hari. Presiden Jokowi harus berusaha untuk mengumpulkan dukungan politik sebesar 20 persen kursi atau 25 persen suara sah nasional. Tidak ada yang bisa menjamin, bahwa Presiden Jokowi akan dengan mudah mengumpulkan syarat dukungan pencalonan presiden senilai 20 persen kursi parlemen atau 25 persen suara sah pemilu nasional.