November 15, 2024

Karpet Merah bagi Terpidana

Terpidana hukuman percobaan diusulkan bisa maju di Pilkada. Upaya membangun Pilkada yang bersih dan berintegritas tercederai.

Rapat dengar pendapat (RDP) memanas saat Komisi Pemilihan Umum (KPU) meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengoreksi redaksi kesimpulan tertulis hasil RDP sebelumnya (26—27/8). KPU tak sepakat jika redaksi keputusan RDP tersebut menggunakan frase sepakat memutuskan untuk mengubah Peraturan KPU.

KPU meminta kesimpulan tersebut diubah dengan frase: Komisi II DPR merekomendasikan untuk mengubah PKPU.

“Kami punya pandangan berbeda, tapi kami hormati keputusan,” kata Juri Ardiantoro, Ketua KPU, saat RDP lanjutan dengan Komisi II DPR, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) di Ruang Rapat Komisi II, Kompleks Parlemen, Jakarta (29/8).

Mandek

Perbedaan pandangan KPU, salah satunya, adalah soal dilegalkannya terpidana yang menjalani hukuman percobaan sesuai putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap untuk maju di pemilihan kepala daerah (Pilkada). KPU tak bisa sepakat dengan kesimpulan RDP yang mengharuskan Pasal 4 ayat (1) huruf f PKPU No. 5/2016 tentang pencalonan.

Mendengar KPU menyatakan perbedaan pandangannya, beberapa fraksi juga kemudian saling interupsi untuk menyatakan ketidaksetujuannya pada ketentuan soal legalnya terpidana percobaan maju di Pilkada.

“Di publik disebutkan DPR melegalkan terpidana percobaan maju Pilkada. DPR yang mana? Terus terang kami fraksi PDIP tak setuju, tapi kami tetap menghormati keputusan forum ini,” kata Arteria Dahlan, anggota Komisi II dari Fraksi PDIP.

Peraturan tersebut kembali diperdebatkan. Setidaknya dua fraksi lain menyatakan ketidaksetujuan: Fraksi PAN dan Fraksi Partai Gerindra.

Bukannya menemui kesepakatan, rapat justru kian memanas. Akhirnya pimpinan Komisi II terpaksa mengendapkan perdebatan di ketentuan ini dan beralih pada pembahasan ketentuan lain. DPR tetap menghendaki terpidana hukuman percobaan boleh mencalonkan diri di Pilkada. PKPU harus diubah dan, mengacu pada Undang-undang Pilkada, keputusan rapat itu mengikat KPU.

Merusak

Komisi II menilai putusan hukuman percobaan belum berkekuatan hukum tetap atau inkracht. Putusan itu baru berkekuatan hukum tetap setelah hukuman percobaan dilalui. Terpidana hukuman percobaan juga biasanya tak mendapat hukuman penahanan karena biasanya hanya melakukan tindak pidana ringan.

Oleh karena itu, dengan mengacu pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), status terpidana hukuman percobaan tidak boleh menghilangkan hak untuk dipilih. Pasal 14c ayat 3 menekankan, terpidana hukuman percobaan tidak boleh dikurangi kemerdekaan beragama atau kemerdekaan berpolitiknya.

Koalisi Pilkada Bersih tak bisa sepakat. Seseorang yang dijatuhi hukuman masa percobaan tak bisa dianggap sebagai orang bebas dari persoalan hukum. Ia masih terikat atas tindak pidana yang dilakukannya dan dapat seketika menjadi narapidana yang menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan. “Yang membedakan hanyalah para terpidana percobaan menjalani hukumannya di luar LP,” kata Donal Fariz, Koordinator Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) yang tergabung dalam koalisi tersebut (29/8).

Menurutnya, niat DPR yang membolehkan terpidana calon kepala daerah maju di Pilkada mencederai upaya publik untuk memilih pemimpin yang bersih dan berintegritas.

Hal serupa juga jadi landasan KPU dalam bersikap. Semangat Undang-undang Pilkada adalah menghadirkan calon berintegritas ke publik. Masuknya ketentuan soal legalitas bagi terpidana hukuman percobaan justru berpotensi bertentangan dengan undang-undang.

Tersandera

Penolakan resmi KPU tak berarti apa-apa. Kesimpulan rapat memaksa PKPU diubah. Dan, mengacu pada pasal 9 huruf a UU Pilkada, KPU mesti mengikuti kesimpulan rapat yang bersifat mengikat tersebut.

“KPU memang harus menolak desakan DPR untuk mengubah ketentuan dalam PKPU. Tapi, ada pasal 9 huruf a di UU Pilkada yang merusak karena ada celah DPR untuk masuk dan mengintervensi KPU,” kata Fadli Ramadhanil, peneliti hukum pada Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), saat dihubungi (29/8).

KPU, di rapat tersebut, melancarkan dua jurus untuk melepaskan diri dari sandera kesimpulan rapat yang bersifat mengikat.

Pertama, KPU mendudukkan diri sebagai pihak yang bukan pengambil keputusan dan pemberi persetujuan. Posisi KPU adalah pihak yang berkonsultasi. “Frase berkonsultasi kami pahami sebagai kesempatan kami memberikan klarifikasi dan penjelasan norma dalam PKPU. Kedudukan kami bukan pihak bersama-sama mengambil keputusan atau memberikan persetujuan,” tegas Juri.

KPU berkali-kali menyatakan ketidaksetujannya dan meminta Komisi II untuk menghargai perbedaan pandangan tersebut. “KPU punya pandangan, hukuman percobaan itu juga adalah salah satu bentuk terpidana. Tapi KPU menghormati jika Komisi II memandang lain. Silakan jika itu jadi keputusan Komisi II,” ujar Juri.

Kedua, KPU mempertanyakan tindak lanjut hukum dan administrasi dari rapat dengar pendapat tersebut. KPU meragukan sifat yang berlaku “mengikat” jika tindak lanjut hukum dan administrasi dari kesimpulan rapat hanya akan ditandatangani oleh Komisi II dan bukan menjadi keputusan resmi DPR yang diambil melalui mekanisme rapat paripurna.

Rambe Kamarul Zaman—pimpinan Komisi II—menegaskan bahwa, meskipun tak dibawa ke paripurna, kesimpulan RDP tetap mengikat.

“Tidak ada keputusan RDP yang harus disahkan paripurna. RDP di undang-undang mengikat pada hal yang dibahas. Mekanismenya pimpinan dan peseta rapat yang tanda tangan. Sudah sah itu. Ini lembaga resmi,” tegas Rambe.

Hingga RDP kemarin (29/8), kesimpulan tak berubah. Komisi II DPR RI, Kemendagri, dan KPU memutuskan untuk melakukan perubahan pada PKPU 5/2016 tentang pencalonan. Jika tak diubah dalam RDP di hari Jumat (2/9) mendatang, terpidana hukuman percobaan dapat dengan mudah melenggang mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

MAHARDDHIKA