Ada suatu rutinitas fundamental yang kurang baik dalam setiap penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Setiap lima tahun sekali, DPR dan pemerintah selalu membentuk undang-undang baru untuk pelaksanaan pemilu. Baik untuk pemilu legislatif, maupun UU pemilu presiden dan wakil presiden. Hanya pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014 yang lalu terdapat pengecualian. DPR dan pemerintah tak membentuk undang-undang baru. Undang-Undang 42/2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2009, tetap dipakai untuk pelaksanaan Pilpres 2014.
Tabiat ini tentu bukanlah suatu hal yang baik untuk pelaksanaan pemilu di Indonesia. Dari segi peraturan perundang-undangan yang baik pun, kebiasaan DPR dan pemerintah ini jauh dari prinsip pembentukan UU ideal. Salah satu ciri dari peraturan perundang-undangan yang baik adalah, mampu bertahan lama dan materi yang ada di dalamnya sudah sangat ideal untuk dipakai dalam jangka waktu yang panjang.
Di samping itu, bertebarannya banyak UU pemilu juga menyumbang banyak masalah di dalam pelaksanaan pemilu. Pertama, tidak satunya undang-undang pemilu telah menyebabkan pengaturan yang tidak standar, saling bertabrakan, dan tidak harmonis. Setidaknya ini terlihat nyata dalam Pemilu 2014 yang lalu.
Jarak pemilu legislatif dan pemilu presiden yang hanya 2 bulan, justru melahirkan peraturan yang berbeda, padahal berada di atas prinsip dan asas yang sama. Untuk batasan waktu penanganan pelanggaran pemilu misalnya, terdapat perbedaan antara ketentuan di pemilu legislatif dan pemilu presiden. Di dalam UU 8/2012 untuk pemilu legislatif, memberi waktu 7 hari sejak terjadinya/atau diketahui suatu pelanggaran pemilu. Sementara UU 42/2008 untuk pemilu presiden, hanya memberi waktu 3 hari untuk melaporkan pelanggaran pemilu.
Tidak ada alasan yang jelas kenapa terdapat perbedaan untuk mengatur suatu hal yang sama persis seperti ini. Hal lain, terkait dengan kewenangan Bawaslu dalam menyelesaikan sengketa tahapan pemilu. Di dalam UU 8/2012 yang sudah terbarukan, Bawaslu diberi kewenangan untuk menyelesaikan sengketa tahapan pemilu.
Namun, UU 42/2008 yang dipakai untuk “kali kedua†dalam penyelenggaraan pemilihan presiden, sama sekali belum mengatur hal ini. Artinya, ada kekosongan hukum untuk untuk penyelesaian sengketa tahapan dalam pelaksanaan pemilu presiden dan wakil presiden yang lalu.
Kedua, fakta bahwa UU pemilu legislatif dan UU pemilu presiden diatur berbeda, serta pelaksanaannya terpisah, juga telah menyebabkan skema pemilu di dalam desaian sistem presidensil Indonesia kacau balau. Di dalam kajian Kodifikasi UU Pemilu yang diterbitkan oleh Perludem, skema pemilu yang berbeda antara pemilu presiden, pemilu legislatif, dan pemilihan kepala daerah, bukan hanya jauh dari kelembagaan demokrasi yang substansial yang terkonsolidasi. Melainkan juga telah melahirkan pemerintahan yang tidak sinergis, antara legislatif, presiden, dan pemerintah daerah.
Ketiga, adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, telah memandatkan pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu presiden secara serentak. Artinya, untuk Pemilu 2019, pemilihan anggota dewan, akan dilaksanakan bersamaan dengan pemilihan presiden dan wakil presiden. Kalau membaca dan melaksanakan putusan MK an sich, maka akan dilaksanakan pemilu lima kotak untuk Pemilu 2019. Yakni, pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan pemilihan presiden dan wakil presiden secara bersamaan.
Meskipun sebenarnya, pelaksanaan pemilu lima kotak ini masih terus diperdebatkan. Gagasan pemilu serentak, secara ideal lebih baik dilaksanakan dalam bingkai pemilu nasional dan pemilu lokal. Pemilu nasional (pemilu 2019) akan memilih anggota DPR, DPD, dan pemilihan presiden dalam waktu yang bersamaan.
Kemudian, baru dua tahun, atau dua setengah tahun setelah itu, dilaksanakan pemilihan lokal serentak. Pemilu lokal ini akan memilih DPRD Provinsi, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota, dan pemilihan Bupati/Walikota. Gagasan ini dimaksudkan untuk membangun sinergitas antara legislatif dan eksekutif, serta menciptakan iklim pemerintahan yang sehat antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Dibutuhkan Segera
Pelaksanaan Pemilu 2019 memaksa perubahan desaian pelaksanaan menyeluruh yang jauh berbeda dari pemilu sebelumnya. Pemilihan anggota dewan yang akan bersamaan dengan pemilihan presiden tentu membutuhkan limitasi dan pembagian jadwal yang sangat rapi dan ketat. Di samping itu, konsekuensi logis dari pemilu serentak adalah, setiap partai politik yang menjadi peserta pemilu “diperbolehkan†untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Hal ini tentu akan di dahului oleh proses verifikasi partai politik calon peserta pemilu yang detail dan teliti.
Belajar dari proses pembahasan UU pemilu sebelumnya, DPR dan pemerintah selalu membahas dan membentuk UU pemilu di rentang waktu yang sangat sempit dan mendekati jadwal pelaksanaan pemilu. Hal ini menyebabkan banyak materi yang tertinggal dan tidak dibahas secara detail dan mendalam. Alhasil, ketika tahapan pemilu sudah berjalan, muncul banyak tafsir terhadap beberapa ketentuan yang belum jelas, namun dipaksakan selesai oleh para pembentuk undang-undang.
Oleh sebab itu, regulasi Pemilu 2019 yang dilaksanakan secara serentak, perlu segera dibahas. Pembahasan dan pembentukan kodifikasi UU pemilu harus menjadi prioritas oleh DPR dan pemerintah. Percepatan pembahasan pembentukan kodifikasi UU pemilu akan memberikan ruang dan kesempatan lebih luas, untuk melihat detail materi yang akan mengatur pelaksanaan pemilu serentak di 2019. Jika belajar dari pelaksanaan pemilu sebelumnya, tahapan pemilu sudah dimulai setidaknya 2 tahun sebelum tahun pemilu.
Berarti, jika Pemilu 2019 dilaksanakan pertengahan tahun, setidaknya kodifikasi UU pemilu ini sudah selesai di awal tahun 2017. Namun idealnya, kodifikasi UU pemilu ini harus selesai di tahun 2016. Ini bertujuan agar ada ruang untuk melihat lebih jauh dan membedah kemungkinan kelemahan di dalam kodifikasi UU pemilu.
Selain itu, pembentuk UU, khususnya DPR harus berani menjaga independensi dalam membentuk UU penyelenggaraan pemilu. Bagaimanapun, akan sangat sulit bagi DPR untuk bisa secara jernih dan rasional dalam membentuk UU pemilu, karena ini berkaitan langusung dengan kepentingan mereka.
Akan lebih baik, DPR dan pemerintah memberikan dan menciptakan ruang yang lebih besar kepada pihak yang lebih independen untuk merumuskan dan membentuk kodifikasi UU pemilu. Sudah saatnya DPR mengakhiri kekisruhan di parleman yang tidak menghasilkan apa-apa, dan mulai fokus untuk meletakkan fondasi dasar pembaharuan hukum pemilu dengan membentuk kodifikasi UU pemilu. []
FADLI RAMADHANIL
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)