November 15, 2024

Konsekuensi Manajemen Pemilu Jika Lima Pasal Ini Dinyatakan Inkonstitusional

Pada sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara No.20/2018 (14/3) yang diajukan oleh salah satunya Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), hakim Mahkamah Konstitusi (MK) meminta agar pemohon menjelaskan konsekuensi terhadap manajemen penyelenggaraan pemilu jika lima pasal yang diuji dinyatakan inkonstitusional. Konsekuensi patut diperhitungkan, sebab lima pasal dalam Undang-Undang (UU) No.7/2017 tentang Pemilihan Umum yang diuji memiliki dampak terhadap teknis penyelenggaraan Pemilu 2019.

“Pemohon harus menjelaskan perhitungan konsekuensinya jika pasal-pasal itu dinyatakan inkonstitusional. Jadi, jaminan hak warga negara untuk memilih penting, tapi kepastian penyelenggaran juga harus diperhitungkan. Jadi, jangan diminta ini tidak konstitusional, tapi praktiknya bisa membuat kacau penyelenggaraan pemilu. Itu kan nanti muaranya di MK,” kata hakim MK, Saldi Isra pada sidang pemeriksaan pendahuluan di gedung MK, Gambir, Jakarta Pusat.

Masukan tersebut diapresiasi oleh para pemohon. Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini misalnya, mengatakan bahwa pihaknya akan mengakomodir masukan tersebut dalam permohonan perbaikan. Titi beserta pemohon lainnya menginginkan perlindungan hak pilih warga negara sejalan dengan terlaksananya penyelenggaran pemilu yang berkualitas.

“Pesan dari Majelis Hakim sangat baik. Jangan karena keputusannya membawa konsekuensi teknis, lalu konsekuensi itu tidak bisa dilaksanakan dengan berkualitas. Kita tentu tidak ingin ada kontroversi bahwa ada kegamangan dan kebingungan baru di lapangan. Jadi, hal-hal yang lebih teknis, terkait dengan berbagai konsekuensi dari permohonan ini, ini yang akan kami lengkapi,” kata Titi.

Konsekuensi jika Pasal 210 ayat (1) dinyatakan inkonstitusional dan diberlakukan bahwa pemilih boleh mengurus surat pindah memilih hingga H-3 hari pemungutan suara adalah bertambahnya jumlah pemilih pindahan. Hal ini mesti disikapi dengan memastikan ketersediaan surat suara dan sosialisasi masif kepada penyelenggara di tingkat bawah tentang adanya aturan baru.

“Kan aturana ini sudah disosialisasikan bahwa limit pindah memilih adalah 17 Maret. Kalau ada perubahan dikabulkan menjadi H-3,berarti jajaran di lapangan harus tahu,” ujar Titi.

Selanjutnya, jika Pasal 348 ayat (4) yang dinyatakan tidak lagi berkekuatan hukum tetap, maka pemilih pindahan memperoleh semua jenis surat suara. Jajaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus memastikan aturan baru diketahui oleh semua anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) agar tak ada pemilih yang mendapatkan satu atau dua atau tiga surat suara karena KPPS tak mengetahui aturan terbaru.

Sosialisasi masif juga harus dilakukan jika aturan mengenai Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik sebagai alat untuk mengakses hak pilih dibatalkan. Pasalnya, sejak aturan berlaku dengan dibacakannya putusan MK, pemilih yang mendaftarkan diri dalam Daftar Pemilih Khusus (DPK) boleh memberikan kartu identitas lain selain KTP elektronik. Pun, Pengawas Tempat Pemungutan Suara (TPS) mesti memastikan pemilih yang masuk DPK merupakan warga negara Indonesia berhak pilih.

“Kalau dikabulkan, maka pemilih bisa pakai akta lahir, paspor, kartu nikah, surat keterangan atau kartu pemilih yang dikeluarkan oleh KPU. Konsekuensi perubahan norma juga berdampak pada penagwasan yang harus dilakukan jajaran Bawaslu. Harus dipastikan orang yang masuk ke DPK adalah orang yang sebenarnya, bukan dimanipulasi atau disalah gunakan,” jelas Titi.

Konsekuensi terbesar akan dirasakan oleh KPU jika Pasal 350 ayat (2) ditafsirkan oleh MK sebagai boleh dibentuknya Tempat Pemungutan Suara (TPS) khusus berdasarkan Daftar Pemilih Tambahan ((DPTb) yang terkonsentrasi di suatu wilayah. KPU mesti bergerak cepat untuk mencetak surat suara, membentuk KPPS, dan memberikan bimbingan teknis (bimtek). Pun, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) mesti mengangkat seorang Pengawas TPS dan memberikan pelatihan.

“Norma yang ini harus cepat diputus, karena KPU harus menyiapkan banyak hal. Hari ini H-34, sementara pencetakan surat suara butuh waktu untuk lipat, sortir dan sebagainya. Contoh, lapas (lembaga pemasyarakatan) dan rutan (rumah tahanan) di DKI Jakarta saja, pemilihnya ada 12 ribu. Mereka ini masih belum jelas surat suaranya mau dari mana. Maka, semakin lambat, akan semakin sulit KPU bergerak,” tandas Titi.

Sementara itu, tak ada konsekuensi berat jika Pasal 383 ayat (2) diberikan tafsir baru bahwa penghitungan suara boleh selesai lewat dari jam 12 malam pada hari pemungutan suara. Aturan ini diuji hanya untuk memberikan kepastian hukum bagi penghitungan suara yang melewati jam 12 malam.

“Ini tradisi yang sebetulnya dari pemily dulu juga sudah berjalan. Tapi kompleksitas kompetisi 2019, aturan main harus pasti dan mengikat. Jadim kalau yang Pasal 383 agak lebih mudah impikasinya di lapangan dan justru sangat menguntungkan,” tutup Titi.