September 13, 2024
Sumber: Akun Youtube Mahkamah Konstitusi RI

KPU Beri Keterangan di Sidang Uji Materi Desain Pemilu Serentak

Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI memberikan keterangan pada sidang uji materi Perkara No.16/PUU-XIX/2021, Selasa (7/9). Perkara tersebut menguji desain pemilu serentak lima kotak suara terhadap konstitusi. Dalam keterangannya, KPU membahas implikasi kerumitan teknis penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019, beban KPPS, desain pemilu serentak yang ideal menurut KPU, dan rekomendasi untuk putusan MK.

Implikasi Pemilu Serentak 2019 lima kotak suara

Ada lima implikasi pemilu serentak lima kotak terhadap teknis penyelenggaraan pemilu. Pertama, jumlah TPS yang bertambah hampir dua kali lipat dari Pemilu 2014. Hal ini disebabkan oleh adanya pengurangan jumlah pemilih per Tempat Pemungutan Suara (TPS)  menjadi 250 pemilih per TPS agar pemungutan suara di TPS tidak terlalu lama. Akibatnya, beban produksi dan distribusi logistik pemungutan suara bertambah, hingga menyebabkan distribusi logistik pemungutan suara terlambat. Ada 2.249 TPS dari total 810.329 TPS dalam negeri di Pemilu Serentak 2019 yang melaksanakan pemungutan suara susulan.

Kedua, kerumitan dalam memproduksi surat suara. Dengan adanya lima pemilihan dalam waktu yang sama, KPU harus mendesain 2.593 jenis surat suara untuk Pemilihan Presiden-Wakil Presiden, Pemilu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Pemilu DPR Daerah (DPRD) Provinsi, dan Pemilu DPRD Kabupaten/Kota. Banyaknya surat suara yang harus diproduksi menyebabkan banyak terjadi kesalahan dalam proses pencetakan dan distribusi surat suara ke beda daerah pemilihan (dapil).

“Sehingga sekiranya pemilu lokal dipisah dari pemilu nasional, maka yang akan dikelola untuk pemilu nasional hanya 104 dapil, atau 104 desain surat suara. Dikaitkan dengan beban kerja penyelenggara pemilu, maka akan berkurang signifikan terhadap beban kerja penyelenggara,” jelas anggota KPU RI, Hasyim Asyarie pada sidang uji materi secara daring.

Ketiga, tingginya angka surat suara tidak sah. Pada Pemilihan Presiden (Pilpres), jumlah suara tidak sah mencapai 3.754.905 suara atau 2,37 persen. Padahal, hanya ada dua pasangan calon (paslon). Kemudian di Pemilu DPR RI, jumlah surat suara tidak sah sebanyak 17.503.953 atau 11,12 persen. Persentase ini hampir 3 kali lipat dari ambang batas parlemen yang ditetapkan oleh pembuat undang-undang. Bahkan di Pemilu DPD, persentase suara tidak sah menyentuh angka 19,02 persen atau 29.710.175.

“Sekiranya pemilu lokal dipisah dari pemilu serentak, maka akan memberikan kemudahan bagi pemilih. Sedangkan untuk partai politik, akan lebih mudah dalam melakukan rekrutmen dan seleksi bakal calon,” tukas Hasyim.

Keempat, kampanye pemilu didominasi oleh isu Pilpres. Tak banyak isu Pemilu DPR, DPD, bahkan lokal yang disorot oleh media.

Beban kerja penyelenggara pemilu ad hoc terlampau berat

Di Pemilu Serentak 2019, terdapat 36.005 Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), 14.402 sekretariat PPK,  250.200 Panitia Pemungutan Suara (PPS), 166.800 sekretariat PPS, 5.066.717 Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), 1.619.062 petugas ketertiban TPS, dan 250.202 Panitia Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih). Total badan ad hoc yakni, 8.018.297 petugas.

Dengan diselenggarakannya pemilu serentak lima kotak, menurut KPU, menyebabkan beban kerja bagi KPU dan badan ad hoc terlampau berat. Di hari pemungutan suara, KPPS harus bekerja hingga lebih dari 16 jam 30 menit untuk menyelesaikan proses pemungutan, penghitungan, dan keperluan administrasi di TPS. Di TPS 15 Cempaka Permai, Gading Permai, Bengkulu, penghitungan suara baru dapat diselesaikan pada pukul 1 siang pada hari berikutnya setelah hari pemungutan suara. Terdapat lebih dari 800 petugas ad hoc yang meninggal akibat kelelahan dalam bekerja.

Mengacu pada tesis Santi Haryanti berjudul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Beban Kerja KPPS di Pemilu 2019, Studi Kasus di Kecamatan Binjai Utara” yang dipublikasi oleh Universitas Sumatera Utara, salah satu faktor yang menambah beban kerja KPPS ialah kuatnya tekanan dari saksi peserta pemilu, terutama saksi calon anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Pada faktanya, kerap terjadi sanggahan dari saksi peserta pemilu di setiap jenis pemilihan. Hal tersebut menyebabkan proses pemungutan dan penghitungan suara menjadi semakin panjang, melelahkan, dan menguras emosi KPPS.

“Kasus yang sering terjadi adalah, pemilih yang dikenal atau tim pendukung yang tidak berhak memilih, berupaya menggunakan hak pilihnya. Hal ini menyebabkan meskipun KPPS sudah melakukan tugasnya, tapi karena tekanan yang begitu kuat, KPPS tidak bisa berbuat apa-apa. Belum lagi keberatan pada setiap jenis pemilihan yang diajukan saksi pada proses penghitungan, menambah tekanan kepada para KPPS. Membuat kerumitan tidak dapat terhindarkan,” urai Hasyim.

Selain itu, KPPS juga dibebani oleh beragam watak pemilih. Pemilih yang terdaftar di Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) sering memberikan tekanan kepada KPPS sehubungan dengan hak pilih yang ingin ditunaikan di Pemilu, sehingga kerap terjadi perselisihan antara KPPS dengan pemilih. Hal tersebut tak jarang berujung pada tindakan kekerasan terhadap KPPS.

Beban kerja tersebut dinilai KPU tak sepadan dengan honorarium yang didapat oleh para petugas ad hoc. Untuk dalam negeri, honor Ketua PPK ialah Rp.1.850.000 per bulan. Anggota PPK, Rp.1.600.000. Sekretaris PPK, Rp1.300.000.

Di jajaran PPS, Ketua PPS, Rp.900.000 per bulan. Anggota PPS, Rp.850.000. Sekretaris PPS, Rp.800.000. Kemudian Pantarlih, Rp.800.000 per bulan.

Untuk petugas di TPS, Ketua KPPS, Rp.550.000 per kegiatan pemungutan suara. Anggota KPPS, Rp.500.000. Pengamanan TPS, Rp.400.000.

Sementara itu, untuk petugas yang melayani di luar negeri, honor untuk Ketua Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN)Rp.8.000.000 per bulan, anggota PPLN Rp.7.500.000. Pantarlih LN, Rp.6.500.000. Ketua KPPS LN, Rp.6.500.000. Anggota KPPS LN, Rp.6.000.000.

“Ada ketimpangan antara besaran honor dengan beban kerja sebagai implikasi dari tanggung jawab KPPS. Beban kerja dan tekanan tinggi, serta durasi waktu kerja yang cukup panjang tampak tidak sebanding dengan honor yang diterima KPPS,” tandas Hasyim.

Pemilu serentak yang ideal menurut KPU

Menurut KPU, berbagai permasalahan yang ditemui pada Pemilu Serentak 2019, sekilas dapat diselesaikan dengan tawaran manajemen pemilu. Namun, faktanya di Pemilu 2019, hal tersebut justru menambah beban kerja KPPS. Sebagai contoh, opsi menambah waktu penghitungan suara memperpanjang waktu kerja KPPS. Oleh karena itu, KPU mengusulkan agar pemilu nasional dipisah (pemilihan presiden, pemilu DPR RI, dan DPD) dengan pemilu lokal (pemilu DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota). Jarak antara pemilu nasional dengan lokal ialah 30 bulan. Ada banyak keuntungan yang bisa didapat dengan penerapan desain tersebut, yakni sebagai berikut.

  1. Menjanjikan terbentuknya pemerintahan hasil pemilu yang efektif karena presiden terpilih dan kekuatan mayoritas di DPR berasal dari partai yang sama;
  2. Kepentingan politik jangka pendek dapat diminimalkan karena partai dipaksa berkoalisi sebelum ada hasil pemilu legislatif sehingga bisa mengurangi kecenderungan politik transaksional;
  3. Isu politik lokal yang hilang di Pemilu Serentak 2019 bisa terangkat melalui pemilu serentak lokal;
  4. Pejabat eksekutif dan wakil rakyat lebih akuntabel terhadap kinerjanya karena akan dievaluasi dalam waktu 30 bulan;
  5. Skema pemilu serentak nasional dan lokal bisa menyederhanakan jumlah partai sehingga terwujud multipartai moderat di parlemen;
  6. Menjanjikan peluang besar bagi elit politik lokal dengan kepemimpinan yang baik untuk maju menjadi elit politik di tingkat nasional;
  7. Mengurangi praktik oportunisme politik. Tidak ada lagi peluang bagi anggota DPRD untuk ikut serta dalam kompetisi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) karena Pemilu DPRD berlangsung bersamaan dengan Pilkada;
  8. Pilihan pemilih lebih rasional karena perhatian pemilih tidak harus terpecah pada banyaknya pilihan;
  9. Sumber daya manusia penyelenggara pemilu dapat didayagunakan dalam masa jabatannya untuk meningkatkan kualitas tahapan pemilu, pembuatan PKPU, distribusi logistik, dan sebagainya;
  10. Pemberitaan media massa berimbang dalam memberitakan pemilu nasional dan pemilu lokal;
  11. Proses pemungutan dan penghitungan suara akan lebih ringan dan cepat dilaksanakan oleh KPPS;
  12. Mahkamah Konstitusi dan lembaga yang diberikan wewenang dalam menyelesaikan penyelenggaraan pemilu nasional dan lokal dapat menyelesaikan dalam kurun waktu yang manusiawi.

“Berbagai masalah yang muncul di Pemilu 2019 tidak semata-mata terkait keserentakan pemilu, melainkan pengaturan durasi pemungutan dan penghitungan suara yang tidak manusiawi,” tegas Hasyim.

Rekomendasi KPU kepada Mahkamah Konstitusi

KPU merekomendasikan setidaknya empat hal. Satu, agar Mahkamah menyatakan bahwa penggabungan pemilu nasional (presiden, DPR, dan DPD) dan pemilu lokal (Pemilu DPRD Provinsi dan Pemilu DPRD Kabupaten/Kota) dinyatakan tidak sesuai dengan susunan NKRI dan otonomi daerah seluas-luasnya kepada provinsi dan kab kota.

Dua, agar dilaksanakan pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR dan DPD secara kongruen dengan Pemilihan Presiden, terpisah 30 bulan dengan pemilu serentak lokal untuk memilih anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota yang dijalankan secara kongruen dengan pemilihan kepala daerah.

Tiga, agar Pilkada ditegaskan sebagai bagian dari pemilu sehingga perlu dilakukan kodifikasi hukum penyatuan hukum Pilkada dengan UU Pemilu.

Empat, agar berkenaan dengan kompleksitas tahapan, direkomendasikan menggunakan teknologi informasi, yakni rekapitulasi elektronik dan sebagainya.

Keterangan pihak Pemerintah diminta untuk diperbaiki

Selain KPU, pihak Pemerintah juga memberikan keterangan pada sidang Selasa (7/9). Dalam keterangannya, Pemerintah hanya menegaskan bahwa MK tidak berwenang menentukan model pemilu serentak di antara varian model pemilu serentak yang telah dipertimbangkan di dalam Putusan MK No.55/2019. Oleh karena itu, hakim MK, Saldi Isra, meminta Pemerintah untuk memperbaiki keterangannya.

Adapun tambahan keterangan yang diminta oleh hakim MK Saldi Isra yakni, pertama, keterangan mengenai apa yang sudah dilakukan Pemerintah untuk menindaklanjuti Putusan MK No.55/2019. Kedua, argumentasi mengapa Pemerintah dan DPR tidak merevisi UU Pemilu. Ketiga, persiapan Pemerintah jika Mahkamah memutuskan pemisahan antara pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal. Keempat, penjabaran mengenai risiko menumpuk Pilkada di tahun 2024.

“Kami juga belum membaca argumentasi sesungguhnya kenapa Pemerintah dan DPR tidak mau merevisi UU Pemilu. Padahal di Putusan MK sebelumnya, sudah ada alternatif yang ditawarkan, dan alternatif itu tidak akan muncul jika tidak ada problem di Pemilu 2019 kemarin,” tutup Saldi.

Sidang uji materi akan dilanjutkan pada Senin, 27 September dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan keterangan ahli pemohon. Saldi meminta pemohon untuk menghadirkan ahli yang dapat menjabarkan rancang bangun pemilu dan memahami desain-desain pemilu serentak. Kuasa hukum para pemohon, Fadli Ramadhanil, menjanjikan untuk menghadirkan tiga orang ahli dalam sidang tersebut.