Dalam sejarah Myanmar, penguasaan militer telah terjadi sejak 1962. Saat itu, faksi U Nu digulingkan dalam kudeta militer yang dipimpin oleh Jenderal Ne Win yang menghapus sistem federal dan menjadikan Burma (diganti menjadi Myanmar pada 2010) menjadi negara sosialis dengan menasionalisasi ekonomi, membentuk negara dengan partai tunggal (Socialist Programme Party) dan melarang surat kabar independen.
Pada 1974, konstitusi baru diberlakukan dan mengalihkan kekuasaan dari militer ke Majelis Rakyat yang dipimpin oleh Ne Win dan mantan pemimpin militer lainnya. Pada tahun 1988 rakyat Myanmar memprotes pemerintahan militer sehingga pemerintah mengumumkan darurat militer. Ribuan orang ditangkapi termasuk pendukung demokrasi dan hak asasi manusia. Pemimpin National League for Democracy (NLD) Aung San Suu Ki dijadikan tahanan rumah.
Pada 27 Mei 1990, diadakan pemilu majelis rendah yang pertama kalinya di bawah pemerintahan militer yang baru. Sekalipun NLD menang telak dalam pemilu ini, hasilnya diabaikan oleh militer.
Pada 2007, protes publik kembali terjadi. Sikap ini dipicu kenaikan harga bahan bakar minyak. Puluhan aktivis ditangkap dan para biksu Buddha mengadakan serangkaian protes antipemerintah (Revolusi Saffron).
Pada 2008, Pemerintah mengusulkan alokasi kursi militer dalam parlemen Myanmar. Melalui amandemen konstitusi, Pemerintah ingin militer punya seperempat kursi di parlemen. Usulan ini seiring dengan larangan pimpinan oposisi Aung San Suu Ki memegang jabatan di pemerintahan Myanmar.
Pada 2010, pemilu diadakan namun NLD dibatalkan menjadi peserta pemilu oleh UEC sesuai UU Pemilu. Partai USDP yang didukung militer mengklaim kemenangan yang gemilang dalam pemilu pertama setelah 20 tahun sekalipun partai-partai oposisi menuduh terjadinya kecurangan dan pemilu tersebut dianggap sebagai tipuan belaka. Setelah pemilu, Aung San Suu Kyi dibebaskan dari tahanan rumah.
Pada Pemilu Sela 2012, lembaga pemantau pemilu regional Asian for Free Election (ANFREL) melaporkan dinamika pemilu Myanmar. Dalam “International Election Observation Mission Republic of the Union of Myanmar By-Elections of November 3” (2018, 36-40), untuk mengisi kekosongan 48 kursi parlemen, NLD berhasil memenangkan 43 kursi dan Aung San Suu Kyi terpilih.
Lalu pada 2015, Myanmar menyelenggarakan pemilu. Kemenangan NLD diikuti pengangkatan Aung San Suu Kyi menjadi State Counsellor of Myanmar.
Pada 2017 dan 2018, Myanmar menyelenggarakan pemilu sela. Dari penyelenggaraan transisi pemerintahan ini, kursi parlemen diisi setelah kosong karena anggota parlemen yang mengundurkan diri, meninggal dunia, atau diberhentikan.
Sekalipun Pemilu 2015 menghasilkan pemerintahan sipil di Myanmar, pengaruh militer masih sangat kuat. Pasalnya, berdasarkan Konstitusi 2008, terdapat 25% kursi di parlemen diisi oleh militer.
Terdapat dua kamar dalam parlemen nasional Myanmar yaitu Majelis Tinggi (Amoytha Hluttaw) yang terdiri atas 224 kursi (168 dipilih melalui pemilu, 56 diisi oleh militer) dan Majelis Rendah (Pyithu Hluttaw) terdiri atas 440 kursi (330 dipilih melalui pemilu, 110 diisi oleh militer). Demikian pula untuk parlemen Negara Bagian dan Region, 1/3 kursi akan diisi oleh militer. Selain itu, anggota militer Myanmar juga masih memiliki hak pilih.
Kudeta Militer 2021
Berdasar tren demokrasi tersebut, kudeta militer di Myanmar tetap menjadi kejutan di awal 2021. Militer Myanmar (Tatmadaw) menangkap pemimpin de facto Aung San Suu Ki, presiden U Win Myint, Ketua Union Election Commission (UEC) U Hla Thein, para politisi, anggota parlemen dan aktivis prodemokrasi di Naypiydaw dan Yangon. Kudeta terhadap pemerintahan sipil tersebut diikuti dengan pengumuman: pengambilalihan pemerintahan oleh militer selama satu tahun dan penunjukan presiden sementara dengan kekuasaan penuh diberikan kepada Jenderal Min Aung Hlaing (Panglima Tertinggi Tatmadaw). Selain itu, Tatmadaw juga mengangkat Jenderal U Myint Swe sebagai penjabat presiden.
Tatmadaw melakukan kudeta karena menilai Pemilu Myanmar 8 November 2020 banyak terjadi kecurangan dan mengumumkan pemilihan umum baru akan diadakan di bawah komisi pemilihan umum yang baru. Pada Pemilu Parlemen tersebut NLD menang secara meyakinkan menurut Komisi Pemilihan Umum (UEC)—tetapi militer dan mitra politiknya dengan keras menuduh bahwa pemungutan suara itu dicurangi.
Myanmar Times melaporkan (28/1), dua partai promiliter Union Solidarity and Development Party (USDP) dan Democratic Party for National Politics (DPNP) telah membawa kasusnya ke Mahkamah Agung untuk mendapatkan ganti rugi atas pengaduan mereka. USDP mengajukan 174 kasus ke Mahkamah Agung terkait malpraktik elektoral yang dilakukan oleh UEC berdasarkan bukti kecurangan pemilu mereka.
Berdasar laporan Pace Myanmar (29/1), Mahkamah Agung menunda putusan selama dua minggu setelah mendengarkan argumen pembukaan. Tetapi, sebelum ada putusan dari Mahkamah Agung, militer telah melakukan kudeta. Sekalipun militer menuduh adanya kecurangan dalam Pemilu 2020 ini, dua belas kelompok pemantau pemilu dalam negeri Myanmar yang mengerahkan pemantaunya untuk mengamati berbagai proses seperti pengumuman daftar pemilih, kegiatan kampanye, pencoblosan lanjutan pada masa prapemilu, proses pemungutan suara pada hari pencoblosan, dan proses tabulasi, menilai hasil pemilu kredibel dan mencerminkan kemauan mayoritas pemilih, meskipun terjadi kekurangan dalam kerangka hukum pemilu dan beberapa inkonsistensi penyelenggaraan pemilu serta kelemahan implementasi saat situasi pandemi COVID-19.
Merujuk pemberitaan The Irrawaddy (3/2), rezim militer Myanmar telah menunjuk versi baru UEC negara itu untuk mengawasi pemungutan suara pasca kudeta. Badan pemilihan Tatmadaw yang baru diangkat terdiri dari enam anggota yang dipimpin oleh ketua U Thein Soe, mantan hakim militer yang mengawasi pemilihan umum 2010, yang secara luas dianggap curang.
Situasi yang terjadi di Myanmar segera menarik perhatian dunia internasional. Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand di Komisi Hak Asasi Manusia ASEAN (AICHR) mendesak Myanmar untuk menghormati prinsip-prinsip dalam Piagam ASEAN dan Deklarasi HAM ASEAN. Piagam ASEAN antara lain menyebut “kepatuhan terhadap aturan hukum, tata kelola pemerintahan yang baik, prinsip-prinsip demokrasi, perlindungan HAM, dan menghormati kebebasan mendasar”.
Keempat negara tersebut mendukung berlanjutnya proses demokratisasi dan perdamaian di Myanmar dan mendesak semua pihak untuk menyelesaikan perseteruan melalui mekanisme hukum yang ada. Selain itu, dialog yang damai dan mengharapkan hasil yang demokratis dan damai sesuai dengan keinginan dan kepentingan rakyat Myanmar harus diutamakan (BBC 5/2).
Kementerian Luar Negeri Indonesia dalam siaran persnya (1/2) menyatakan, keprihatian atas perkembangan politik terakhir di Myanmar, mengimbau penggunaan prinsip-prinsip demokrasi dan pemerintahan yang konstitusional. Indonesia juga menggarisbawahi bahwa perselisihan-perselisihan terkait hasil pemilihan umum kiranya dapat diselesaikan dengan mekanisme hukum yang tersedia serta mendesak semua pihak di Myanmar untuk menahan diri dan mengedepankan pendekatan dialog dalam mencari jalan keluar dari berbagai tantangan dan permasalahan yang ada sehingga situasi tidak semakin memburuk.
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengeluarkan pernyataan pers (4/2) yang mengungkapkan, keprihatinan mendalam atas pernyataan keadaan darurat yang diberlakukan di Myanmar. Dewan Keamanan pun menyerukan pembebasan segera semua yang ditahan, termasuk pemimpin de facto Aung San Suu Kyi. Anggota Dewan Keamanan menekankan perlunya menegakkan lembaga dan proses demokrasi, menahan diri dari kekerasan, dan sepenuhnya menghormati hak asasi manusia, kebebasan fundamental dan supremasi hukum.
Pada 5 Februari 2021, Presiden Amerika Serikat yang baru terpilih, Joe Biden ikut bersikap. Ia mengatakan militer Myanmar harus melepaskan kekuasaan yang telah mereka rebut, membebaskan para aktivis dan pendukung serta pejabat yang telah mereka tangkap, mencabut pembatasan telekomunikasi, dan menahan diri dari kekerasan. Dalam sambutannya tentang kebijakan luar negerinya, Biden mengatakan pemerintahannya akan bekerja dengan mitra kami untuk mendukung pemulihan demokrasi dan supremasi hukum dan memberikan konsekuensi pada mereka yang bertanggung jawab.
Lembaga pemantau pemilu regional, Asian for Free Election (ANFREL) pun mendesak Tatmadaw untuk membebaskan para tahanan dan agar segala kecurangan pemilu diselesaikan melalui peradilan pemilu. Desakan ini merupakan kepedulian berbagai organisasi masyarakat sipil internasional. Melalui pengorganisasian ANFREL, setidaknya ada 46 organisasi masyarakat sipil lintas negara yang bergabung per 3 Februari 2021, di antaranya Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Menyusul, International IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance) juga menyerukan agar militer Myanmar menghormati sepenuhnya hasil pemilu nasional baru-baru ini, membebaskan semua pemimpin politik dan masyarakat sipil yang ditahan, menahan diri dari melakukan kekerasan, dan mengizinkan negara untuk melembagakan reformasi demokrasi yang nyata. Melalui pernyataan “Defend Democracy in Myanmar” organisasi antarpemerintahan yang bermarkas di Swedia ini menggalang dukungan bersama organisasi-organisasi demokrasi lintas negara. Total ada 34 organisasi dan 136 perseorangan bergabung, Perludem dari Indonesia salah satunya.
Pembangkangan Sipil
Kudeta militer juga mendapat tantangan dari rakyat Myanmar sendiri melalui Gerakan Pembangkangan Sipil (Civil Disobedience Movement) yang pertama kali diluncurkan pada 2 Februari 2021 oleh para staf medis dari lebih 110 rumah sakit pemerintah dan departemen kesehatan di sekitar 50 kota di seluruh Myanmar sebagai protes terhadap pengambilalihan kekuasaan oleh militer dan pemberlakuan keadaan darurat oleh militer.
The Straits Times melaporkan (4/2), pita merah disematkan ke pakaian dan isyarat tiga jari diangkat untuk menunjukkan dukungan terhadap pemerintahan sipil dan perlawanan terhadap pemerintahan kudeta militer. Isyarat tiga jari mengarah ke atas dengan telapak tangan menjauhi tubuh ini berasal dari film “Hunger Games” berdasarkan novel dystopian Suzanne Collins. Gerakan ini menjadi simbol revolusi dan pemberontakan melawan pemerintahan totaliter di negara fiksi Panem.
Dalam beberapa tahun terakhir, simbol tiga jari itu telah diadopsi oleh pengunjuk rasa menentang pemerintahan otoriter di Asia. Sebelum di Myanmar, simbol itu digunakan pengunjuk rasa di Thailand sebagai taktik untuk menentang larangan pertemuan publik yang diberlakukan setelah kudeta pada Mei 2014. Kemudian, juru kampanye pro-demokrasi muda di Hong Kong juga menggunakan simbol tiga jari itu dalam kampanye pemilu demokratis seutuhnya.
Dalam laporan The Irrawaddy (3/2), seorang ahli bedah bernama Lynn Latyar dari Rumah Sakit Umum Pemerintah Lashio dengan 500 tempat tidur di Negara Bagian Shan utara, menyatakan bahwa 38 dari 40 dokter dan 50 dari 70 perawat telah bergabung dengan gerakan tersebut dan tidak akan pergi ke rumah sakit. Dokter pemerintah berencana memberikan pengobatan gratis kepada pasien dengan catatan medis yang dikeluarkan oleh rumah sakit pemerintah di klinik swasta. Gerakan ini segera mendapatkan dukungan publik dan telah diikuti oleh banyak lembaga lainnya.
Protes pun dilakukan awak pesawat Myanmar National Airlines. Berdasarkan pemberitaan Myanmar Times (5/2), keberatan mereka terhadap pengambilalihan kekuasaan oleh militer ditunjukkan dengan mengenakan pita merah ketika bekerja. Sekitar 50 awak pesawat melakukan kampanye ini dengan tidak bekerja.
Gerakan pembangkangan sipil juga diikuti oleh para akademisi, guru dan pelajar/mahasiswa. Berdasar pemberitaan (5/2), Sekitar 200 dosen dan mahasiswa dari Universitas Dagon menggelar demo dengan menunjukkan isyarat tiga jari sebagaimana digunakan oleh pengunjuk rasa Thailand pada tahun lalu. Para dosen dari Universitas Yangon juga turun ke jalan di Yangon dengan mengenakan warna Partai Liga Nasional untuk Demokrasi Aung San Suu Kyi.
Time memberitakan (3/2), aksi protes warga sipil secara lebih luas. di Kota Yangon dilakukan aksi membunyikan perkakas dapur dan klakson dari rumah-rumah warga secara terus menerus sepanjang hari hingga malam. Hal ini merupakan tradisi di Myanmar untuk mengusir kejahatan atau karma buruk dengan memukul ember timah atau logam.
Terhadap aksi pembangkangan sipil warga Myanmar yang cepat tersebar melalui media sosial, pemerintah militer Myanmar melalui Kementerian Transportasi dan Komunikasi telah melarang sosial media Facebook pada tanggal 4 Februari 2021 hingga 7 Februari 2021, Twitter dan Instagram juga menyusul diblok sejak 5 Februari 2021, warga juga kesulitan menggunakan WhatsApp.
Pada 6 Februari 2021 demonstrasi antikudeta militer di Myanmar semakin membesar. Kompas memberitakan, puluhan ribu pengunjuk rasa, yang mayoritas kaum muda, turun ke jalan-jalan di kota Yangon dan Mandalay yang diikuti sekitar 2.000 orang. Kedua aksi ini menjadi aksi unjuk rasa terbesar sejak kudeta militer awal Februari 2021. Militer berupaya meredam gerakan protes rakyat itu dengan memblokir internet secara nasional.
Gerakan pembangkangan sipil Myanmar menunjukkan bahwa kudeta militer tidak diinginkan oleh mayoritas rakyat Myanmar. Pemerintahan sipil berdasarkan hasil Pemilu 2020 adalah keinginan mutlak rakya dalam negara demokrasi. []
CATHERINE NATALIA
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)