August 8, 2024

Lagi, Permasalahan Tetap DPT

Hak memilih dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan pemilihan umum merupakan hak dasar setiap warga negara yang dijamin konstitusi. Hak dasar itu mestinya tidak bisa dikurangi apalagi dihilangkan karena persoalan administrasi kependudukan semata. Bahkan, salah satu issu hak asasi mausia berdasarkan instrument hukum Hak Asasi Manusia,yang menganggap partisipasi pemilih merupakan hak asasi manusia yaitu melalui Pasal 21 Ayat (1)-(3) Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusi (DUHAM) Tahun 1948 melalui resolusi 217 A (III).

Tidak hanya instrument internasional, pengakuan hak pilih oleh warga Negara merupakan hak asasi manusia berupa hak sipil dan hak politik. Berdasarkan Pasal 25 pada Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik) menjadi bukti bahwa Negara mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk melindungi, memajukan, menegakan dan memenuhi, serta menghormati juga mengakui hak pilih sebagai Hak Asasi Manusia.

A fortiori, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi melalui perkara Nomor 011-017/PUU-I/2003, bahwa hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih merupakan hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang, maupun konvensi internasional. Maka, pembatasan penyimpangan, peniadaan, dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak warga negara.

Pemenuhan dan penegakan terhadap pelanggaran hak pemilih tersebut, merupakan indikator keadilan pemilu menurut institusi international  yang didirikan pada tahun 1995, yang bernama International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA), dalam paper-nya yang berjudul “Keadilan Pemilu: Ringkasan Buku Acuan Internasional IDEA” (2010) menjelaskan salah satu dari beberapa kriterian perihal keadilan pemilu, yakni melindungi atau pemulihan hak pilih, memungkinkan warga yang meyakini bahwa hak pilih mereka telah dilanggar untuk mengajukan pengaduan, mengikuti persidangan, dan mendapatkan putusan.

Dengan demikian, Hal tersebut sebagai dalil argumentasi rasional yang mendudukkan hak pilih yang tidak boleh dikurang-kurangi atau dilanggar dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan rezim pemilu, karena hak pilih merupakan sumber legitimasi negara demokrasi konstitusional.

Permasalahan DPT berujung di MK

Isu krusial yang selama ini muncul pada pemilukada ialah permasalahan hak pemilih. Berdasarkan kilas pelaksanaan kedaulatan rakyat di paggung pemilihan kepalah daerah serentak Pada tahun 2017 yang diikuti oleh 7 provinsi, 76 kabupaten dan 18 kota. Jumlah ini cukup sedikit bila dibandingkan dengan pilkada serentak pada tahun 2015 yang diikuti oleh 8 provinsi, 170 Kabupaten dan 26 kota.

Pelaksanaan pesta demokrasi pada pemilihan serentak digelombang ke II tersebut,  membuktikan bahwa permasalahan klasik yang merupakan permasalahan lagu lama yakni. Hak pemilih masih menyisakan persoalan yang endemic dan widesprite pada ajang Pemilihan-Kada serentak di rezim pemilihan pada gelombang ke II tersebut.

Bukti persoalan “lagu lama” DPT pada perhelatan pemilihan kepala daerah, dibuktikan dengan berdasarkan hasil kajian dan penelitian yang dilakukan oleh penulis, bahwa dalil manipulasi Daftar Pemilih Tetap (DPT), salah satu dalil mengajukan permohonan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah di Mahkamah Konstitusi sepanjang pilkada serentak 2017, yakni sebanyak 22 perkara.

Salah satu dari 22 pekara di atas, sebagai contoh betapa endemiknya persoalan partisipasi pemilih in casu, daftar pemilih tetap (DPT), yakni sebagaimana pada realitasnya yang terjadi di Pilkada Takalar (36/PHP.BUP-XV/2017). Terungkap pada fakta persidangan, KPU Takalar melakukan perbuatan tidak baik, dengan memasukkan dan memberikan Nomor Induk Kependudukan kepada sejumlah warga yang tidak terdaftar dalam pusat data kependudukan Kementerian Dalam Negeri.“Termasuk memasukan NIK penduduk di luar Kabupaten Takalar, bahkan ada satu orang yang memiliki 18 NIK terdaftar dalam DPT.

Selain itu, juga terdapat pada perkara Pilkada Tolikara. Berdasarkan pada fakta dalam persidangan Mahkamah Konstisi, bahwa Perkara pilkada Tolikara Nomor 14/PHP.BUP-XV/2017 (vide, pada halaman 135), terdapat fakta 15 Distrik yang mengalami pengurangan Pemilih dari 500 hingga 2.000 Pemilih. Sebaliknya terdapat beberapa Distrik yang juga menjadi Daerah basis Paslon Nomor Urut 1 yang mengalami penambahan hingga 20% sampai dengan 100% jika mengacu pada DPT Pilpres 2014).

Terlebih lagi yang terjadi di Pilkada Bombana. Persoalan sisi gelap DPT merupakan penyebab diadakan pemungutan suara ulang. Amar putusan sela MK, memerintahkan KPU Bombana untuk melaksanakan pemungutan suara ulang Pilkada Bombana 2017 di 7 TPS.

Supervisi KPU RI pada pra persiapan pemungutan suara ulang, memberikan petunjuk kepada KPU Bombana harus memastikan semua pemilih (di DPT, DPTb dan DPPh) yang akan menggunakan hak pilihnya dalam PSU merupakan pemilih yang memenuhi syarat. Dengan demikian, harus dilakukan pencermatan dan validasi terhadap data pemilih (Putusan MK No 34/PHP.BUP/XV/2017, Hlm. 10).

Fakta tersebut menunjukkan, persoalan daftar pemilih tetap masih menggurita dan mendominasi perselisihan hasil pilkada. Tentu semua ini harus mendapatkan solusi atas persoalan serius dari stakeholders, khususnya penyelenggara pemilu. Pemilu yang berintegritas, diawali dengan profesionalisme penyelenggara. Potensi kecurangan terkait dengan persoalan lagu lama yang berjudul DPT jangan sampai akan terulang. []

ISMAIL ARIS

Praktisi Hukum/Advokat