Afirmasi perempuan dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Penyelenggaraan Pemilu mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Padahal, putusan MK Â menyiratkan afirmasi keterwakilan perempuan dalam pemilu legislatif.
“Penjelasan Pasal 56 ayat (2) di UU. No.8 Tahun 2012 telah dibatalkan oleh MK (Mahkamah Konstitusi). Jadi, frase atau di pasal tersebut harus diubah menjadi dan/atau. Sebab, kalau hanya atau, maknanya adalah hanya satu perempuan caleg yang berhak menempati nomor urutan kecil,â€Â kata peneliti pada Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif, Adeline Syahda, pada diskusi “22 Pasal Inkonstitusional dalam RUU Penyelenggaraan Pemiluâ€, di Menteng, Jakarta Pusat (3/11).
Dalam putusannya terhadap permohonan pengujian Penjelasan Pasal 56 ayat (2) dan Pasal 215 huruf b UU No. 8/2012 tentang Pemilu Legislatif, MK menyatakan kata “atau” harus dimaknai menjadi “dan/atau.” Dengan putusan ini, maka penjelasan Pasal 56 ayat (2) UU Pemilu Legislatif menjadi berbunyi, “Dalam setiap 3 (tiga) bakal calon, bakal calon perempuan dapat ditempatkan pada urutan 1, dan/atau, dan/atau 3 dan demikian seterusnya.”
Putusan ini diabaikan oleh pemerintah dalam menyusun RUU Penyelenggaraan Pemilu. Pasal 214 ayat (2) menyatakan bahwa setiap tiga orang di dalam daftar calon, terdapat sekurang-kurangnya satu orang perempuan balon. Namun, penjelasan Pasal 214 ayat (2) pada RUU Penyelenggaraan pemilu masih memakai frase “atau.”
Menanggapi hal tersebut, Koordinator Aliansi Politik Perempuan, Yuda Irlang, meminta agar Panitia Khusus (Pansus) mencermati ulang dan memperbaiki ketentuan afirmasi ini. Menurutnya, perbaikan, sesuai dengan putusan MK, akan lebih berkontribusi pada pemenuhan keterwakilan perempuan jika dipindahkan dari bagian penjelasan ke dalam batang tubuh RUU Penyelenggaraan Pemilu.
“Regulasi seharusnya tidak hanya memastikan keterwakilan perempuan, tetapi juga mendorong keterpilihan perempuan,†tegas Yuda.