Pilkada Serentak 2018 sebagai pilkada serentak gelombang terakhir sudah dimulai tahapannya. Anggaran merupakan salah satu yang patut kita cermati pada masa transisi penyelenggaraan Pilkada serentak ini. Kesimpulan mahal/murah anggaran pilkada selalu muncul dalam penyelenggaraan Pilkada, baik di 2015 dan 2017. Tetapi ada satu yang belum sempat terungkap, yaitu politik anggaran penyelenggaraan Pilkada oleh Pemerintah Daerah.
Padahal di sisi lain, keluhan atas besarnya anggaran yang diperlukan selalu menjadi topik yang mengemuka dalam penyelenggaraan Pilkada. Bahkan salah satunya dari Menteri Dalam Negeri. “Dengan segala mohon maaf, bayangan saya waktu saya menjadi menteri pertama, Pilkada Serentak 2015 itu akan hemat. Mohon maaf ternyata lebih membengkak hampir 200 persen.”
Keluhan Tjahjo Kumolo itu disampaikan dalam lakunya sebagai keynote speaker dalam Seminar Nasional XXVII Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) di Universitas Gajah Mada (UGM). Walau pernyataannya pun kemudian dilanjutkan dengan mengaku bahwa ukuran suksesnya kegiatan politik tidak bisa dinilai hanya dengan uang.
Dalam mengukur politik anggaran penyelenggaraan pilkada, setidak kita perlu melihat daya tahan anggaran daerah dalam membiayai penyelenggaraan Pilkada. Berikut perbandingan realisasi pendapatan daerah dengan anggaran pilkada yang disetujui di tujuh provinsi penyelenggara Pilkada 2015:
Nama Provinsi
|
Realisasi Pendapatan Daerah | Anggaran Pilkada yang Disetujui | Perbandingan Anggaran Pilkada yang Disetujui dengan Realisasi Pendapatan Daerah |
(miliar) | (miliar) | (%) | |
KEPULAUAN RIAU | 8.410,02 | 62,50 | 0,74% |
SUMATERA BARAT | 4.058,10 | 78,00 | 1,92% |
KALIMANTAN SELATAN | 4.838,95 | 110,00 | 2,27% |
BENGKULU | 2.186,62 | 62,24 | 2,85% |
SULAWESI TENGAH | 2.884,56 | 85,07 | 2,95% |
KALIMANTAN TENGAH | 3.255,69 | 102,20 | 3,14% |
JAMBI | 3.207,13 | 101,00 | 3,15% |
KALIMANTAN UTARA | 1.444,52 | 92,00 | 6,37% |
Berdasarkan Kajian Ekonomi Regional Bank Indonesia Triwulan IV 2015, realisasi pendapatan terkecil dimiliki Provinsi Kalimantan Utara. Jumlahnya hanya 1,4 triliun rupiah. Jumlah lebih banyak diikuti Provinsi Bengkulu, Sulawesi Tengah, Jambi, Kalimantan Tengah, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan hingga yang paling besar adalah Kepulauan Riau dengan 8,4 triliun rupiah.
Besaran anggaran di atas tidak berbading lurus dengan besaran anggaran yang disediakan Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan Pilkada. Menilik anggaran penyelenggaraan Pilkada di delapan provinsi, kecuali Sulawesi Utara maka anggaran yang disetujui pihak Pemerintah Daerah berada di besaran 62,24–110 miliar rupiah. Anggaran terkecil dimiliki Provinsi Bengkulu. Kemudian, berturut-turut provinsi yang anggaran pilkadanya lebih besar adalah Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Sulawesi Tengah, Kalimantan Utara, Jambi, Kalimantan Tengah, sampai yang paling besar dimiliki Kalimantan Selatan.
Fasilitasi Pemilih
Nama Wilayah | DPT | Anggaran yang Disetujui | Anggaran per Pemilih |
(Milyar) | (Rp) | ||
SUMATERA BARAT | 3.489.743 | 78,00 | 22.351,22 |
KALIMANTAN SELATAN | 2.848.478 | 110,00 | 38.617,11 |
JAMBI | 2.445.305 | 101,00 | 41.303,64 |
SULAWESI TENGAH | 1.954.123 | 85,07 | 43.534,22 |
BENGKULU | 1.423.974 | 62,24 | 43.709,08 |
KEPULAUAN RIAU | 1.198.925 | 62,50 | 52.130,03 |
KALIMANTAN TENGAH | 1.955.961 | 102,20 | 52.250,53 |
KALIMANTAN UTARA | 431.782 | 92,00 | 213.070,48 |
Membicarakan tentang politik anggaran Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan Pilkada, tentu saja tidak dapat dilepaskan dari jumlah Pemilih, atau setidak–tidaknya Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang difasilitasi dalam Pilkada tersebut. Berdasarkan informasi yang disediakan oleh KPU RI, melalui situs data.kpu.go.id, kita dapat melihat Pemilih paling sedikit dimiliki Provinsi Kalimantan Utara dengan hampir 500 ribu Pemilih. Jumlah ini kemudian diikuti oleh Kepulauan Riau, Bengkulu, Sulawesi Tengah, Kalimantan Tengah, Jambi, Kalimantan Selatan, sampai dengan Provinsi Sumatera Barat dengan hampir 3,5 juta pemilih.
Jumlah Pemilih di atas, yang kalau kita jadikan sebagai variabel pembagi terhadap jumlah anggaran yang disetujui Pemerintah Daerah, maka kita dapat melihat perbedaan yang cukup tinggi, jika dibandingkan antara Provinsi Kalimantan Utara, dengan tujuh provinsi lainnya. Di Provinsi Kalimantan Utara biaya fasilitasi per-Pemilih mencapai 213.070,48 rupiah. Namun biaya fasilitasi terbesar kedua adalah Provinsi Kalimantan Tengah dengan biaya per-Pemilih hanya 52.250,53 rupiah. Bahkan Provinsi Sumatera Barat hanya mengalokasikan 22.351,22 rupiah per Pemilih, sampai yang merupakan biaya fasilitasi terkecil jika dibandingkan dengan ketujuh daerah yang lain.
Berdasarkan paparan di atas, kita akan dapat melihat bahwa biaya kalkulasi antara realisasi pendapatan, yang kemudian disandingkan dengan anggaran penyelenggaraan Pilkada yang disetujui maka angka–angka di atas masih di bawah 10% dari total penerimaan pendapatan di daerah tersebut. Dari kedelapan daerah di atas, hanya Provinsi Kalimantan Utara yang menyediakan biaya penyelenggaraan Pilkadanya mencapai 6,37% dari realisasi pendapatan yang dimilikinya. Bukan hanya itu, tujuh dari delapan provinsi menganggarkannya di bawah 5%. Bahkan, Provinsi Kepulauan Riau hanya menyetujui anggaran penyelenggaraan Pilkada sebesar 0,74% jika dibandingkan dengan total pendapatan daerah tersebut.
Kemudian untuk fasilitasi Pemilih sendiri, selain fakta disparitas antara Provinsi Kalimantan Utara, dengan provinsi–provinsi lainnya maka kita akan dapat meihat bahwa besaran biaya yang diperlukan untuk penyelenggaraan Pilkada berada di angka 22–52 ribu rupiah per Pemilih.
Masihkah angka-angka tersebut dinilai masih terlalu besar? Bandingkan dengan kewenangan yang dimiliki Kepala Daerah yang nantinya akan berdampak pada kehidupan warganya selama 5 (Lima) tahun ke depan? []
PURNOMO S. PRINGGODIGDO
Komisioner KPU Kota Surabaya, Jawa Timur