Sesuai jadwal yang dirilis Komisi II DPR, 3-4 April 2017 dilangsungkan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) calon anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) periode 2017-2022. Uji kelayakan dan kepatutan ini mengakhiri polemik soal apakah DPR akan melakukan proses pemilihan calon anggota KPU dan Bawaslu atau tidak.
Kepastian pelaksanakan fit and proper test diambil setelah Komisi II mengelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Tim Seleksi Calon Anggota KPU dan Bawaslu pada 30 Maret 2017. RDP bersama Timsel bukan mulus-mulus saja. Banyak kritik tajam dan pernyataan kritis disuarakan. Berbaga istilah keras bermunculan. Misal, Timsel menjadi “predator” Bawaslu karena tidak meloloskan satu pun dari empat anggota Bawaslu yang mendaftar. Isu kebocoran soal, keberpihakan pada calon berlatar anggota KPU, juga dugaan Timsel bekerja tidak profesional.
Rapat didominasi pertanyaan mengapa Ketua Bawaslu, Muhammad, yang mendaftar sebagai calon anggota KPU tidak diloloskan, sementara 5 orang anggota KPU yang mendaftar semuanya lolos. Dalam pandangan Komisi II, Bawaslu dianggap berprestasi dalam mengawasi pemilu. Sedangkan KPU sebagai “anak nakal” yang “melawan DPR” karena mengajukan uji materi atas undang-undang pilkada yang mewajibkan KPU melakukan konsultasi mengikat dalam membentuk peraturan KPU.
KPU juga dituding kerap melakukan pelanggaran dengan membuat peraturan yang melahirkan norma hukum baru dan bertentangan dengan undang-undang. Contohnya ketika KPU mewajibkan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% sampai tingkat kecamatan saat verfikasi partai politik peserta pemilu 2014.
Maka tak heran saat RDP, Komisi II ramai-ramai menggugat kinerja Timsel. Sempat pula muncul lontaran bahwa DPR bisa jadi tak akan memilih sesuai dengan jumlah yang ditentukan, yaitu 7 orang untuk KPU dan 5 orang untuk Bawaslu. Mereka beralasan undang-undang memberi ruang bagi DPR untuk mengembalikan nama-nama calon kepada Presiden jika tidak ada yang memenuhi syarat atau jumlah calon yang memenuhi syarat kurang dari yang dibutuhkan.
Kesetimbangan Politik
Sejatinya Timsel adalah entitas yang dibentuk Presiden untuk menyaring yang terbaik sebagai calon anggota KPU dan Bawaslu. Dengan komposisi keanggotaan meliputi unsur pemerintah dan masyarakat, mengharuskan Timsel bekerja secara mandiri dan wajib melibatkan masyarakat. Hasilnya, tim yang beranggotakan 11 orang, diketuai Saldi Isra ini sudah menyerahkan 14 nama calon anggota KPU dan 10 orang calon anggota Bawaslu kepada Presiden Joko Widodo pada 1 Februari 2017.
Presiden telah pula mengirimkan semua nama yang dihasilkan Timsel ke DPR untuk mengikuti tahapan akhir. Tidak ada koreksi presiden terhadap hasil kerja Timsel. Ini mengindikasikan Jokowi percaya penuh pada kinerja Timsel yang dibentuknya. Presiden tidak memiliki keraguan atas performa dan integritas anggota Timsel.
Kini sesuai undang-undang, bola seleksi ada di DPR sebagai bagian dari mekanisme check and balances. DPR harus memilih anggota KPU dan Bawaslu demi kelanjutan roda organisasi lembaga penyelenggara pemilu. Sebagai bagian dari skema check and balance atau kesetimbangan politik, DPR harus menyaring nama-nama terbaik dari daftar kandidat yang diajukan Presiden.
Sayangnya, banyak stigma yang berkembang soal seleksi di DPR. Seleksi oleh DPR sering dianggap hanya formalitas. Semata proses politik berdasar selera yang bersahabat dengan kepentingan partai-partai yang ada di parlemen. Beberapa pihak bahkan beranggapan tak ada parameter terukur yang digunakan DPR dalam melakukan penilaian ketika menyeleksi para calon. “Ini bukan lagi soal profesionalisme, tapi soal sentimen politik, bagaimana kutub kepentingan saling bertemu”, demikian ungkap seorang kawan.
Dan, stigma negatif itu lah yang harus dilawan DPR ketika menyeleksi calon anggota KPU dan Bawaslu. Sebab KPU dan Bawaslu adalah penyelenggara pemilu yang di tangan mereka kualitas pemilu dipertaruhkan. Memang mereka bukan satu-satunya penentu. Ada sistem, manajemen, penegakan hukum, dan aktor-aktor lain yang terlibat. Namun, penyelenggara pemilu merupakan ujung tombak. Ibarat berlayar, merekalah nakhoda kapal besar pemilu Indonesia.
DPR harus melawan stigma dan keraguan publik dengan menyajikan proses pemilihan yang berkualitas dan menjadi rujukan soal selayaknya merit system dijalankan. Bahwa uji kelayakan dan kepatutan oleh DPR bukan ajang untuk mempermalukan seseorang. Ini bukan forum balas dendam dan cari-cari kesalahan. Uji kelayakan dan kepatutan adalah forum untuk mencari yang patut dan layak sesuai kritera perundang-undangan. Mekanisme di DPR adalah bagian dari proses menjalankan tata kelola bernegara yang baik sehingga cara-cara beradab lah yang dikedepankan.
Muruah Pemilu
Konstitusi bukan tanpa alasan ketika menyebut pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Kata mandiri dilekatkan karena penyelenggara pemilu harus mampu menjaga muruah pemilu dan bebas dari kendali politik pihak manapun. Penyelenggara pemilu berkhidmat untuk pemilu yang jujur, adil, dan demokratis. Sekali ia terkooptasi politik partisan, maka harapan terwujudnya kompetisi yang kompetitif akan semakin menjauh.
Pemilu yang jurdil dan demokratis hanya bisa diwujudkan jika penyelenggara pemilu mampu menjaga independensi, imparsialitas, integritas, dan kredibilitasnya. Penyelenggara pemilu yang berorientasi pada pelayanan kepada segenap pemangku kepentingan secara setara dan proporsional akan meninggikan mutu demokrasi Indonesia. Untuk mewujudkan itu, proses di DPR mestinya menggali secara mendalam konsep, visi, dan misi calon terkait penyelenggaraan pemilu yang profesional dan berkualitas.
Pemilu adalah sarana perebutan kekuasaan secara konstitusional, maka harus dipastikan wasit pertandingannya berlaku adil dan taat aturan main. Wasit yang adil dan taat aturan hanya akan diperoleh kalau proses pemilihannya juga dilakukan secara adil dan taat aturan. Orang baik hanya akan dihasilkan oleh proses yang baik pula. Kita tidak akan pernah mendapatkan orang baik dari sebuah proses kotor yang penuh akal-akalan politik.
Terlalu besar pertaruhan jika proses seleksi penyelenggara pemilu hanya jadi ajang adu kuat antar faksi politik dan tawar-menawar kepentingan untuk mengokohkan pengaruh. Selain itu, jangan sampai DPR meloloskan calon-calon yang gencar melakukan lobi-lobi politik. Sebab, perilaku itu lebih cocok dimainkan politisi peserta pemilu ketimbang calon penyelenggara. Perilaku seperti ini orientasinya bukan lagi bergiat dan mengabdi, tapi sudah bergeser demi mengejar jabatan dan saluran menuju kuasa. Penyelenggara pemilu yang baik, akan mengedepankan kepakaran dan rekam jejak sebagai “pengaruh” untuk memastikan keterpilihannya.
Kalau DPR sampai memilih para lobbyst (pelobi) maka saat yang sama kita bersiap mempertaruhkan penyelenggaraan pemilu pada para penyelenggara bermental petualang politik. Mereka akan menyemarakan pemilu dan demokrasi sebagai arena yang kental politik transaksional. Terlalu mahal harga yang harus kita bayar untuk itu. []
TITI ANGGRAINI
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
Artikel opini ini dimuat di Koran Sindo, 3 April 2017