Setelah lama ditunggu, akhirnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 2 Tahun 2020 (selanjutnya disebut Perpu Pilkada 2020) diterbitkan Pemerintah. Banyak pihak, khususnya para pegiat Pemilu, yang kemudian merespon Perpu ini dengan nada minor. Perpu dinilai tidak menjawab kebutuhan pelaksanaan Pilkada Serentak 2020.
Setidaknya ada tiga isu yang dipersoalkan: soal kepastian hukum, soal luputnya perbaikan sejumlah tahapan, dan soal ancaman kemandirian Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Pertama, soal kepastian hukum. Alih-alih memberi kepastian, Perpu Pilkada 2020 justru makin memberi ruang ketidakpastian terhadap kelanjutan Pilkada Serentak 2020.
Kedua, soal luputnya perbaikan sejumlah tahapan. Perpu Pilkada 2020 justru tidak memuat revisi perbaikan aspek politis sejumlah tahapan Pilkada. Perpu juga tidak memuat norma atau pengaturan baru tentang Covid-19. Padahal kebutuhan ini penting menjadi payung hukum KPU untuk menerbitkan peraturan KPU yang lebih ramah dan responsif dalam menjalankan tahapan Pilkada Serentak 2020 sesuai protokol Covid-19.
Ketiga, soal ancaman kemandirian KPU. Pasal 122A ayat (2) Perpu Pilkada 2020 mengatur bahwa penetapan penundaan tahapan pelaksanaan pemilihan serentak serta pelaksanaan pemilihan serentak lanjutan dilakukan (oleh KPU) atas persetujuan bersama antara KPU, Pemerintah, dan DPR. Ketentuan ini dianggap bertentangan dengan pasal 22E UUD RI 1945 yang menegaskan komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
Benarkah tiga nada minor tersebut?
Kepastian: Kondisi Normal
Pertama, sepintas keberadaan pasal 201A Perpu Pilkada 2020 memang memberi ruang ketidakpastian pelaksanaan pemungutan suara Pilkada Serentak 2020 pada satu waktu yang defenitif. Namun bila dicermati lebih seksama, ketidakpastian tersebut adalah konsekuensi logis dari sikap dan posisi pemerintah yang menghendaki pelaksanaan Pilkada serentak 2020 tersebut dilaksanakan dalam sebuah kepastian: kondisi normal.
Bila dibaca secara keseluruhan Pasal 201A dan Penjelasan Pasal 201A Perpu Pilkada 2020, jadwal Pemungutan suara Pilkada Serentak 2020, Desember 2020 atau setelah Desember 2020, dilaksanakan setelah ada kepastian bencana non alam pandemi Covid-19 berakhir, alias kondisi normal telah pulih kembali. Itu berarti, secara eksplisit pemerintah menghendaki kondisi normal untuk melaksanakan Pilkada Serentak 2020.
Pilihan itu tentunya patut diapresiasi. Sebab salah satu tradisi atau praktik universal dalam penyelenggaraan pemilu adalah bahwa pemilu memang harus diselenggarakan dalam sebuah kepastian bernama kondisi normal. Kondisi normal yang dimaksud adalah tersedianya iklim, sarana dan pra sarana yang kondusif dan cukup memadai bagi terselenggaranya Pemilu atau Pemilihan.
Dalam bahasa hukum, kondisi normal adalah ketiadaan perang, bencana, dan gangguan lain seperti kerusuhan, ketiadaan anggaran, dan adanya putusan pengadilan, yang dapat menggangu terselenggaranya tahapan pemilu di suatu wilayah. Itu mengapa dalam regulasi kepemiluan selalu ada pengaturan pengecualian; dalam terjadi perang, bencana, atau gangguan lain, tahapan Pemilu atau pemilihan ditunda sementara waktu .
Mengapa Pemilu atau pemilihan penting diselenggarakan dalam kondisi normal? Ya karena hanya dalam kondisi normal lah azas dan prinsip pemilu bisa terwujud. Pemilu bukan sekadar prosedur demokrasi, tetapi bagaimana memastikan prosedur demokrasi tersebut diselenggarakan memenuhi azas dan prinsip Pemilu universal yakni, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Dalam kondisi perang, bencana, dan gangguan lainnya, azas dan prinsip Pemilu universal tersebut tentunya rentan terciderai atau dimanipulasi.
Jangankan dalam kondisi perang atau bencana, bahkan dalam kondisi “normal” rezim politik ororitarian sekalipun adalah kondisi tidak normal bagi penyelenggaraan Pemilu atau pemilihan. Masih ingat dengan Pemilu di masa Orde Baru? Pemilu memang terselenggara secara reguler namun nyaris semua azas dan prinsip Pemilu di masa itu dilanggar. Kebebasan politik tidak ada, kerahasiaan menjadi rahasia umum, dan keadilan pemilu sekedar pepesan kosong. Pemilu memang terselenggara namun menjadi sekedar proforma. Hasil sudah diketahui sebelum pemilunya selesai, bahkan sebelum Pemilu dimulai.
Jika Pemilu dalam kondisi rezim otoritarian saja kualitas Pemilu demikian buruk, bisa dibayangkan bila Pemilu diselenggarakan dalam masa bencana. Saat di mana rasa tidak aman atau ketakutan melingkupi sebagian besar pemilih, saat infrastruktur dan fasilitas layanan umum belum berfungsi normal, atau saat bencana dan penanganan bencana rentan dipolitisasi, maka azas dan prinsip pemilu universal tentunya juga sangat mungkin tercederai.
Loh, bukankah tradisi universal tersebut telah digugurkan oleh Korea Selatan yang menyelenggarakan Pemilu Legislatif April 2020 di masa pandemi Covid-19?
Benar, berdasarkan laporan sejumlah media mainstream, Korea Selatan baru saja menyelenggarakan Pemilu nasional saat pandemi Covid-19. Mereka menyelenggarakan Pemilu di tengah pandemi dengan menerapkan protokol pencegahan dan penanganan Covid-19 di TPS secara ketat. Dengan sistem pemilu yang sedemikian, kecukupan anggaran, ketersediaan sarana dan pra sarana, kondisi geografis yang aksesibel, geopolitik lokal yang mendukung, dan tingkat disiplin masyarakat yang tinggi, Korea Selatan melaksanakan Pemilu Legislatif 2020.
Patut dicatat, sebelum dan selama tahapan Pemilu, pemerintah Korea Selatan berhasil menerapkan penanganan wabah Covid-19 yang cepat, agresif, dan tegas. Semua penyikapan ini bisa menekan laju penyebaran Covid-19 ke titik terendah.
Pemilu di Korea Selatan di masa bencana Covid-19 memang adalah pengecualian dalam tradisi pemilu universal. Namun tentu saja pengecualian ini tidak bisa begitu saja serta merta kita tiru secara sembrono. Ada banyak perbedaan konteks sosial politik antara Korea Selatan dengan Indonesia.
Perlu kajian secara menyeluruh dan hati-hati untuk menilai apakah Pemilu Korea Selatan sepenuhnya telah memenuhi azas dan prinsip pemilu universal atau belum. Apalagi kemudian menyelenggarakan Pemilu di masa bencana pandemi Covid-19 tidak selalu berakhir dengan cerita sukses. Apa yang baru saja terjadi dengan kegagalan Pemilu Presiden Polandia 10 Mei 2020 di masa pandemi Covid-19, menjadi warning bahwa menyelenggarakan Pilkada di masa pandemi sunguh sangat penuh resiko.
Kalau demikian, mengapa Perpu Pilkada 2020 tidak mengambil pilihan yang lebih realistis saja yakni mengundurkan jadwal Pemungutan Suara Pilkada Serentak 2020 pada tahun 2021?
Tentu ada sejumlah pertimbangan politis yang diambil pemerintah. Namun yang pasti, secara psikologis siapapun, apalagi pemerintah, tentu tidak menginginkan kondisi kedaruratan atau bencana dalam bentuk apapun itu terus berkepanjangan dalam waktu yang lama. Membiarkan kedaruratan dan penundaan Pilkada berlarut-larut tentu akan lebih berdampak buruk bukan hanya secara psikologis tetapi juga dari sisi teknis, politis, dan anggaran.
Pada titik itu penyebutan jadwal palaksanaan pemungutan suara Pilkada Serentak Desember 2020 menjadi logis, dengan prasyarat kondisi bencana non alam pandemi Covid-19 telah berakhir. Ketentuan tersebut akan mendorong semua pihak menciptakan iklim kondusif bagi kembalinya kondisi normal sehingga Pilkada Serentak 2020 bisa dilanjutkan. Namun bila tidak, Perpu Pilkada 2020 tersebut juga tidak memaksa kita mengambil resiko melanjutkan Pilkada Serentak 2020 di masa pandemi Covid-19.
Kedua, mengingat terbitnya Perpu dilatarbelakangi oleh kedaruratan kekosongan hukum mekanisme penetapan penundaan dan penetapan Pilkada Serentak lanjutan serta adanya kondisi bencana non alam Covid-19, menjadi logis bila kemudian Perpu Pilkada 2020 hanya mengatur tentang kedaruratan kekosongan hukum tersebut. Mengandaikan Perpu Pilkada 2020 harus juga memuat revisi aspek politis perbaikan tahapan dalam UU Pilkada sebelumnya justru akan mendistorsi eksistensi Perpu Pilkada 2020 tersebut. Maknanya menjadi bukan sebagai Perpu tetapi menjadi revisi UU Pilkada.
Di sisi lain, persis karena sikap dan posisi pemerintah dalam melaksanakan Pilkada Serentak 2020 adalah adanya kepastian kondisi normal, masuk akal jika Perpu Pilkada 2020 tidak memuat norma atau pengaturan baru tahapan Pilkada Serentak 2020 (mengakomodasi isu protokol Covid-19). Justru jika Perpu Pilkada 2020 memuat norma baru tentang protokol Covid-19, itu seolah akan memberi ruang melaksanakan Pilkada Serentak 2020 dalam kondisi status bencana covid-19. Sesuatu yang kontradiktif dengan posisi pasal 201A yang menghendaki Pilkada serentak 2020 dilaksanakan dalam kepastian: kondisi normal.
Kemandirian KPU
Ketiga, merujuk pada pasal 22E ayat (5) UUD RI 1945 sifat nasional, tetap dan mandiri adalah sifat yang melekat pada KPU. Sifat tersebut adalah amanat konstitusi. Itu artinya ketiga sifat tersebut merupakan sifat “istimewa” yang utuh dimiliki KPU, tidak tergantung kepada suasana sosial dan politik di luar KPU.
Hal itu juga bermakna bahwa sifat kemandirian KPU tidak boleh ditawar-tawar atau dinegosiasikan sesuai kondisi sosial politik yang berkembang, seolah sifat itu hanya berlaku dalam penyelenggaraan Pemilu, namun tidak berlaku dalam penyelenggaraan Pemilihan (Pilkada). Atau seolah-olah sifat itu hanya berlaku dalam kondisi normal, tetapi tidak berlaku dalam kondisi bencana.
Keberadaan pasal 122A ayat (2) Perpu Pilkada 2020 berpotensi mengganggu kemandirian KPU. Adanya (mekanisme dan prasyarat) persetujuan bersama antar KPU, Pemerintah, dan DPR sebagai dasar KPU menetapkan penundaan Pilkada Serentak serta menetapkan Pilkada Serentak lanjutan tidak bisa dibaca sebagai sebuah mekanisme normatif semata. Ketentuan tersebut dikhawatirkan membuat KPU menjadi tidak lagi mandiri dalam mengelola teknis penyelenggaraan Pilkada karena “terikat” dengan persetujuan Pemerintah dan DPR. Pasal tersebut secara implisit telah “mengikat” KPU dalam spektrum kepentingan politik pemerintah dan DPR.
Benar bahwa secara filosofis, Pemerintah dan DPR adalah lembaga negara yang bekerja untuk kepentingan bangsa dan negara. Namun tak bisa dipungkiri, bahwa pemerintah dan DPR juga merepresentasikan kepentingan politik pragmatis partai politik.
Bila dicermati lebih seksama, dengan redaksional yang digubah keberadaan pasal 122A tersebut malah seolah ‘menghidupkan’ kembali pasal 9A Undang-Undang No.10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua UU No.1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-undang. Pasal 9A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tersebut menyatakan bahwa KPU dalam menyusun dan menetapkan Peraturan KPU (PKPU) dan pedoman teknis seluruh tahapan pilkada harus berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah dalam rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat “mengikat”.
Padahal pasal 9A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tersebut telah digugurkan oleh MK lewat Putusan Nomor 92/PUU-XIV/2016 yang memutuskan bahwa Pasal 9A UU No.10 Tahun 2016 sepanjang frasa “yang keputusannya bersifat mengikat” bertentangan dengan UUD RI tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dalam salah satu pertimbangan hukum Putusan tersebut MK menilai bahwa kewajiban konsultasi tak menyalahi undang-undang tetapi frasa “yang keputusannya bersifat mengikat” menyandera kemandirian KPU.
Memastikan kualitas
Lalu apa yang bisa dilakukan para pihak pascaterbitnya Perpu Pilkada 2020 guna memastikan kualitas Pilkada Serentak 2020?
Prioritas pertama dan utama tentunya adalah semua pihak harus berpadu segera mencapai target utama adanya kepastian: kondisi normal. Bagaimanapun kondisi normal adalah conditio sine qua nun bagi terpenuhinya azas dan prinsip Pemilu universal. Ini saatnya semua pihak terkait gotong royong bekerja strategis dan optimal mengembalikan kondisi normal.
Di saat bersamaan masing-masing pemilik otoritas tentu harus melakukan langkah strategis dan terukur menuju pelaksanaan Pilkada Serentak 2020. Pertama, Pemerintah tentu harus segera memastikan dan mengumumkan kondisi terkini status hukum bencana covid-19 sehingga menjadi dasar dan pedoman bagi KPU untuk melanjutkan Pilkada Serentak Tahun 2020. Kedua, DPR sebagai pihak yang memiliki fungsi legislasi, bersama pemerintah, harus segera mengundangkan Perpu Pilkada 2020.
Pascadiundangkan, DPR bersama pemerintah memiliki waktu dan kesempatan merevisi atau menyempurnakan Undang-Undang penetapan Perpu Pilkada 2020 tersebut terkait pasal-pasal kontroversial. Di antaranya, menegaskan kembali kemandirian KPU dengan meninjau ulang pasal 122A ayat (2). Bila perlu menjadwal ulang pelaksanaan pemungutan suara Pilkada Serentak 2020 yang lebih rasional dan realistis, dan merevisi aspek politis perbaikan kualitas tahapan pilkada serentak lainnya.
Praktik menetapkan Perpu menjadi UU dan kemudian segera cepat merevisinya bukanlah sesuatu yang haram. Praktik sedemikian sudah pernah terjadi pada proses terbitnya Undang-Undang No.8 Tahun 2015 tentang perubahan Undang-Undang No.1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu No.1 tahun 2014 menjadi Undang-Undang, yang juga berlangsung kilat. Langkah DPR tentunya akan menjadi solusi bagi suara-suara minor yang mengkritik Perpu Pilkada 2020 sehingga tidak perlu menghabiskan energi menggugat Perpu Pilkada 2020 ke MK. Hal ini tentunya sangat ditentukan oleh political will DPR periode sekarang.
Jangan jadi bumerang
Sementara KPU bisa lebih konsentrasi menyiapkan tahapan Pilkada Serentak 2020 lanjutan, tentunya setelah adanya penetapan status terkini bencana Covid-19 dari pemerintah. Ini penting supaya tahapan yang akan dikerjakan KPU adalah tahapan Pilkada dalam kepastian: kondisi normal.
Walau pandemi Covid-19 mungkin saja belum sepenuhnya berakhir sehingga sejumlah kegiatan tahapan Pilkada kemungkinan membutuhkan modifikasi sesuai protokol Covid-19, sebaiknya KPU tetap lebih fokus mempersiapkan perbaikan kualitas kegiatan tahapan Pilkada. Jangan sampai mekanisme dan kegiatan tahapan Pilkada lebih dominan dengan ekperimen untuk mengakomodasi protokol Covid-19 dibandingkan perbaikan kualitas teknis dan politis tahapan Pilkadanya.
Kegiatan tahapan pemungutan suara di TPS misalnya. Mungkin saja kegiatan tahaman ini masih akan memerlukan penerapan protokol Covid-19, mulai dari mengatur jumlah orang yang bisa hadir di TPS dalam satu waktu, prosedur cuci tangan, pemeriksaan suhu tubuh, dan memastikan kelengkapan APD pemilih sebelum masuk ke TPS.
Namun jangan sampai TPS justru lebih dilengkapi dengan thermogun dan atau hand sanitizer namun kualitas tata kelola pemungutan dan penghitungan suara di TPS luput diperbaiki. Jikalaupun protokol penanganan Covid-19 hendak diakomodasi dalam kegiatan tahapan Pilkada, sebaiknya hal dipertimbangkan secara cermat apakah akan diatur dalam PKPU atau dikoordinasikan dengan Pemerintah, dalam hal ini Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.
Bila hal itu diatur dalam PKPU tentu akan berimplikasi secara hukum, politik, dan etik. Bagaimanapun kondisi geografis TPS Pilkada Serentak 2020 sebagian besar masih terbatas dari akses transportasi, teknologi, dan kualitas SDM. Mengandaikan seluruh TPS dan petugas TPS Pilkada Serentak 2020 memiliki kelengkapan sarana dan keterampilan protokol Covid 19 tentulah tidak realistis dan karenanya akan berpotensi menjadi pelanggaran pemilihan (administrasi dan etik). Itu tentu bisa jadi ironi. Sebab aspek penegakan protokol Covid-19 sejatinya bukanlah kewenangan KPU dan tidak terkait langsung dengan aspek politis dan teknis kualitas penyelenggaraan Pemilihan.
Bila tidak hati-hati dipersiapan dan diimplementasikan, bukan tidak mungkin niat mulia KPU mengintrodusir protokol penanganan Covid-19 dalam kegiatan tahapan Pilkada Serentak demi keselamatan bersama, justru kemudian bisa menjadi bumerang bagi KPU. Jajaran KPU menjadi korban dan Pilkada Serentak menjadi sorotan dan gugatan para pihak dan peserta yang kalah bukan karena aspek teknis politis Pilkadanya, tetapi karena isu protokol Covid-19-nya. Pemungutan suara di TPS dipersoalkan bukan karena mekanisme pemungutan dan rekapitulasi suaranya, tetapi karena di TPS tidak tersedia thermogun dan atau hand sanitizer! Tentu hal ini harus menjadi perhatian KPU dan para pihak terkait. []
BENGET MANAHAN SILITONGA
Anggota Komisi Pemilihan Umum Provinsi Sumatera Utara