November 15, 2024

Membaca Kembali Putusan MK 80/2022 tentang Dapil

Komisi II DPR bersama Kemendagri, KPU, Bawaslu, dan DKPP menyepakati bahwa daerah pemilihan untuk DPR dan DPRD Provinsi tidak berubah. Artinya dapil Pemilu 2024 tetap sesuai Lampiran III dan IV UU 7/2017 tentang Pemilu. Kesepakatan ini dituangkan dalam kesimpulan rapat kerja dan rapat dengar pendapat yang dilakukan pada 11 Januari 2023.

Kesepakatan tersebut tidak sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi 80/PUU-XX/2022. Jika kita baca kembali putusan ini, ketidaksesuaian kesepakatan DPR dan Penyelenggara Pemilu berkaitan dengan sejumlah poin putusan. Pertama, MK menyatakan bahwa Pasal 187 ayat (5) UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki keuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “dapil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam PKPU”. Kedua, MK menyatakan Pasal 189 ayat (5) UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekutan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “dapil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam PKPU. Ketiga, MK menyatakan bahwa lampiran III dan lampiran IV UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Putusan MK 80/2022 merupakan jawaban para hakim konstitusi terhadap permohonan uji materi Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Perludem mengajukan sejumlah argumentasi dalam permohonan ini. Pertama, urgensi penyusunan dapil yang memenuhi prinsip daulat rakyat dan pemilu yang jujur, adil, langsung, umum, bebas, dan rahasia.

Dapil merupakan salah satu dari tiga komponen utama dari sistem pemilu selain dari elektoral formula dan metode pemberian suara (Douglas W Rae, 1967). Untuk itulah terdapat prinsip-prinsip yang harus dipenuhi dalam membentuk dapil. Thomas L Brunell (2008) menyebutkan prinsip tersebut yaitu; (1) dapil haruslah daerah yang saling berdampingan (contiguous); (2) kesetaraan nilai penduduk atau populasi sehingga harga kursi untuk setiap dapil setara dengan dapil lainnya; (3) memperhatikan kepentingan komunitas, dalam hal ini dapil harus memperhatikan kesamaan kondisi sosial warga di dapil; (4) memperhatikan pembagian-pembagian administrasi dan politik; (5) dapil haruslah padat (compact).

Kedua, adanya inkonsistensi dan ketidakpastian hukum pengaturan penyusunan dapil. Pasal 185 UU 7/2017 mengatur terkait 7 prinsip penyusunan dapil. Ketujuh prinsip ini menjadi hal yang kumulatif yang mesti dipenuhi dalam menyusun dapil dan alokasi kursi. Ketujuh prinsip tersebut adalah; (1) kesetaraan nilai suara; (2) ketaatan pada sistem peimlu yang proporsional; (3) proporsionalitas; (4) integralitas wilayah; (5) berada dalam cakupan wilayah yang sama; (6) kohesivitas; dan (7) kesinambungan.

Namun faktanya, di dalam lampiran dapil tidak mampu memastikan bahwa penyusunan dapil dan alokasi kursi untuk Pemilu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota telah memenuhi prinsip-prinsip yang telah diatur tersebut. UU 7/2017 mengatur bahwa dapil untuk Pemilu DPR dan DPRD Provinsi menjadi lampiran yang tidak terpisahkan dalam undang-undang. Artinya KPU hanya memiliki kewenangan untuk menyusun dapil untuk pemilu DPRD Kabupaten/Kota saja.

Ketiga, terdapat penyusunan dapil yang bertentangan dengan prinsip penyusunan dapil. Pertentangan antara prinsip penyusunan dapil dengan lampiran dapil yang ada di dalam UU 7/2017 sangat terlihat pada lima prinsip utama yakni; kesetaraan nilai suara, ketataatan pada sistem pemilu yang proporsional, proporsionalitas, integralitas wilayah, dan berada dalam cakupan wilayah yang sama. Pertentangan dalam prinsip kesetaraan nilai suara terlihat dari terdapat kesenjangan harga kursi dari 80 dapil.

Pertentangan prinsip yang kedua adalah pada prinsip proporsionalitas. Praktik di sejumlah negara menunjukkan untuk menjaga proporsionalitas alokasi kursi menggunakan standard deviasi atau batas toleransi sebagai indikator untuk meminimalisir adanya jumlah alokasi kursi yang berlebih atau kursi yang kurang dengan tujuan untuk menjaga proporsionalitas atau keberimbangan antara alokasi kursi dengan jumlah penduduk. UU 7/2017 tidak memberlakukan standard deviasi dalam penyusunan dapil.

Keempat, membatasi ruang realokasi kursi dan pembentukan dapil baru untuk pemilu DPR dan DPRD Provinsi di daerah otonom baru. UU 7/2017 sudah menetapkan alokasi kursi dan batas dapil dalam lampiran III dan lampiran IV. Sehingga KPU hanya memiliki kewenangan untuk menyusun dapil untuk Pemilu DPRD Kabupaten/Kota. Sementara terdapat kondisi adanya pemekaran provinsi baru untuk Papua dan Papua Barat. Terdapat tiga provinsi baru di Provinsi Papua yaitu Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pengunungan. Sementara terdapat satu provinsi baru di Papua Barat yaitu Provinsi Papua Barat Daya.

Adanya keempat daerah otonom baru ini tentu akan sangat berpengaruh pada alokasi kursi dan dapil. Keempat daerah otonom baru ini wajib untuk dihitung ulang secara proporsional sesuai dengan jumlah penduduk di keempat provinsi baru ini. Namun, karena di dalam UU 7/2017 sudah menetapkan alokasi kursi dan dapil dalam lampiran undang-undang, maka penghitungan ulang ini tidak dapat dilakukan.

Dari argumentasi-argumentasi yang disampaikan oleh Perludem tersebut, MK menimbang sejumlah pertimbangan hukum dalam memutus permohonan ini. Pertama, MK menegaskan kembali terkait dengan “prinsip” pembentukan dapil seperti yang tercantum dalam Pasal 185 UU 7/2017. Bahwa adanya tujuh prinsip penyusunan dapil dimaksudkan untuk memperkuat asas-asas pemilu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Sehingga prinsip ini harus diterapkan dalam menyusun dapil mulai dari dapil DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

Kedua, MK menegaskan kembali bahwa rangkaian kontestasi pemilu harus tunduk pada tahapan pemilu seperti yang tercantum dalam Pasal 164 ayat (4). Penetapan kursi dan penyusunan dapil harus lah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam tahapan pemilu. Sehingga seharusnya tidak dibedakan antara penyusunan dapil untuk DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Kesemua tahapan penyusunan dapil ini seharusnya menjadi bagian tahapan pemilu yang merupakan kewenangan dari KPU. Sehingga jika dapil untuk DPR dan DRPD provinsi menjadi lampiran undang-undang, artinya adanya pengambilalihan kewenangan KPU secara signifikan.

Ketiga, MK menegaskan mengenai kepastian hukum dalam penyusunan dapil. Pasal 28 ayat (1) UUD 1945 mencakup kejelasan pengaturan yang tidak multitafsir, tidak bertentangan, dan juga mampu menjamin tidak adanya konflik kepentingan. Penyusunan dapil DPR dan DPRD Provinsi yang sudah menjadi bagian dari lampiran undang-undang pemilu menunjukan adanya potensi konflik kepentingan karena dapil yang merupakan arena kompetisi dalam pemilu disusun oleh pihak yang akan berkompetisi, yaitu partai politik.

Keempat, perkembangan penetapan kursi dan dapil. Sejak Pemilu 1999-2004 penetapan alokasi kursi dan penyusunan dapil dilakukan sepenuhnya oleh KPU. Sejak Pemilu 2009-2014, kewenangan KPU dalam menyusun alokasi kursi dan dapil berkurang menjadi hanya untuk Pemilu DPRD Provinsi dan Pemilu DPRD Kabupaten/Kota saja. Bahkan, di Pemilu 2019 KPU hanya diberikan kewenangan untuk menata kursi dan dapil untuk Pemilu DPRD Kabupaten/Kota saja. Sejak Pemilu 2009 ketika alokasi kursi dan dapil menjadi lampiran undang-undang pemilu, belum pernah dilakukan evaluasi kecuali jika ada pemekaran yang diiringi dengan penambahan jumlah kursi dan dapil.

Kelima, lampiran dapil dalam UU 7/2017 tidak sejalan dengan prinsip pembentukan dapil yang dicantumkan dalam Pasal 185. Hal ini karena telah terjadi ketimpangan harga suara yang signifikan antardapil, disproporsionalitas, dan terdapat dapil yang tidak integral.

Keenam, jumlah penduduk dan eksistensi daerah otonom menjadi faktor yang menentukan dapil. Beasaran alokasi kursi dan dapil sangat ditentukan oleh jumlah penduduk dan wilayah. Jumlah penduduk bersifat dinamis, sehingga pencantuman dapil dalam lampiran undang-undang pemilu akan menimbulkan ketidakpastian, karena bisa jadi suatu daerah mengalami pertambahan atau pengurangan jumlah penduduk yang dapat mempengaruhi peta dapil.

Ketujuh, penetapan dapil merupakan kewenangan KPU. Penyusunan dapil merupakan salah satu dari tahapan pemilu. Oleh sebab itu, sama halnya dengan tahapan pemilu yang lain, penetapan dapil juga harus menjadi kewenangan KPU dan penetapannya tertuang dalam Peraturan KPU (PKPU).

Kedelapan, putusan dalam perkara 80/PUU-XX/2022 ini mulai dilaksanakan untuk Pemilu 2024 dan selanjutnya. Tahapan penyusunan dapil dimulai sejak 14 Oktober 2022 sampai dengan 9 Februari 2023. Artinya ketika putusan ini dibacakan, tahapan pembentukan dapil belum berakhir dan masih ada waktu untuk menata dapil.

Jika kita membaca kembali putusan MK ini, maka sebetulnya sudah cukup jelas bahwa perlu dilakukan penataan dapil. Berdasarkan Putusan MK ini, maka sudah seharusnya KPU menata kembali alokasi kursi dan dapil karena MK sudah mengembalikan kewenangan KPU yang sebelumnya diambil oleh pembentuk undang-undang. Putusan MK ini juga menjadi momentum evaluasi atas berbagai permasalahan dalam alokasi kursi dan penyusunan dapil yang terus berulang. Putusan MK ini juga membuka ruang partisipasi publik untuk dapat memberikan masukan atas alokasi kursi dan dapil yang selama ini tidak dilakukan karena dapil untuk DPR dan DPRD Provinsi sudah menjadi lampiran UU Pemilu.

KPU memang memiliki kewajiban untuk berkonsultasi dengan Pemerintah dan DPR dalam membuat PKPU. Namun hal ini bukan berarti KPU memutuskan substansi dalam PKPU ini bersama-sama dengan Pemerintah dan DPR karena KPU adalah lembaga yang mandiri. Sangat disayangkan jika terdapat kesepakatan antara KPU, Pemerintah, dan DPR untuk tidak mengubah atau menata kembali dapil. Sudah selayaknya KPU secara mandiri mengambil momentum ini untuk melakukan penataan kembali dapil. []

KHOIRUNNISA NUR AGUSTYATI 

Direktur Eksekutif Yayasan Perludem