Pengalaman di Indonesia selama ini menunjukkan setidaknya terdapat lima model pengisian jabatan kepala daerah. Kelimanya terkait dengan strata regulasi beserta konteks aspirasi daerah dan sejarah.
Model pertama, kepala daerah dipilih secara tidak langsung. Di sini kepala daerah hanya ditunjuk/diangkat oleh pejabat di atasnya. Pengalaman ini terdapat pada daerah-daerah administratif bukan daerah otonom. Walikota di Jakarta menduduki jabatannya karena diangkat oleh Gubernur DKI Jakarta (vide Pasal 19 UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta).
Model kedua, kepala daerah dipilih secara tidak langsung bertingkat (vide Pasal 15 UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah). Pada model ini DPRD memilih beberapa calon kepala daerah, selanjutnya diajukan kepada pejabat pemerintah di atasnya untuk dipilih salah satunya sebagai kepala daerah (Mendagri untuk memilih Bupati/Walikota, dan Presiden untuk memilih Gubernur).
Model ketiga, kepala daerah dipilih secara tidak langsung (vide Pasal 34 UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah). Pada model ini kepala daerah dipilih oleh DPRD.
Model keempat, kepala daerah ditetapkan oleh DPRD. Dalam model ini adalah pilkada Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yaitu dengan cara “penetapan†oleh DPRD dan “pengesahan†oleh Presiden (vide Pasal 17 ayat (2) huruf a dan Pasal 24 ayat (3, 4, 5) UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta).
Model kelima, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat-pemilih melalui pemilu (vide Pasal 24 ayat (5) dan Pasal 56 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah jo UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan UU No. 32 Tahun 2004 jo Pasal 1 angka 4 UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu). Pada model ini pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi persyaratan, dan pasangan calon perseorangan. Selanjutnya pasangan calon yang memenuhi persyaratan mengikuti kompetisi melalui pemilu untuk dipilih secara langsung oleh rakyat-pemilih.
Argumentasi mempertahankan pilkada langsung
Berdasarkan beberapa model tersebut, pengisian kepala daerah ke depan sebaiknya tetap mempertahankan model kelima, yaitu kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat-pemilih melalui pemilu. Pilihan model ini didasarkan pada argumentasi sejarah pembentukan konstitusi (amandemen UUD 1945), argumentasi konstitusional, dan argumentasi politik. Argumentasi ini didasarkan kepada metode penafsiran dalam Hukum Tata Negara (HTN).
UUD setelah dilakukan amandemen di dalamnya telah dilembagakan pemilu bagi anggota lembaga perwakilan maupun pemimpin pemerintahan, penyelesaian sengketa hasil pemilu, dan lembaga penyelenggara pemilu. Namun pengaturannya meninggalkan persoalan baru di bidang ketatanegaraan, yaitu berkenaan dengan pengaturan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta DPRD yang dipilih melalui pemilu (Pasal 22E ayat 2), sedangkan untuk Gubernur, Bupati, dan Walikota (Kepala Daerah) dipilih secara demokratis (Pasal 18 ayat 4).
Mengapa ada dua istilah “dipilih melalui pemilu†dan “dipilih secara demokratisâ€. Apakah pemilihan kepala daerah (pilkada) secara demokratis merupakan bagian pemilu?
Dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah secara materiil, pilkada adalah kegiatan pemilu karena mekanisme dan tata cara mengadopsi pemilu seperti yang diatur dalam undang-undang pemilu (waktu itu UU No. 12/2003 tentang Pemilu dan UU No. 23/2003 tentang Pilpres). Tetapi secara formil pilkada berdasarkan UU No. 32/2004 bukan pemilu sebagaimana dimaksud pelembagaan pemilu dalam UUD 1945 karena menempatkan pilkada bagian dari kegiatan pemerintah dengan menugaskan pelaksanaannya kepada Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) tanpa keterlibatan atau peranserta KPU.
Padahal KPUD adalah jajaran vertikal KPU. Dengan pengaturan seperti itu pilkada bukan termasuk kategori pemilu karena tidak diselenggarakan oleh KPU yang memiliki sifat nasional seperti dimaksud UUD 1945, namun tata cara dan mekanismenya mengadopsi pemilu legislatif dan pilpres.
Akibat dari tumpang tindihnya pengaturan seperti ini, pengaturan Pilkada dalam UU No. 32/2004 menjadikan Indonesia tidak memiliki standar pemilu yang bersifat nasional dan selanjutnya gagal melembagakan sistem pemilu sebagaimana dimaksud UUD 1945. Kerumitan ini diselesaikan dengan keputusan MK yang tidak lagi menempatkan KPUD bertanggung jawab kepada DPRD, dan UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu (kini diubah menjadi UU No. 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu) yang menempatkan pilkada sebagai bagian dari Pemilu.
Penggunaan istilah “dipilih secara demokratis†menimbulkan multi tafsir. Di dalam ilmu perundang-undangan dan ilmu HTN ada yang dinamakan tafsir hukum apabila teks sebuah peraturan menimbulkan multi tafsir, maka dapat dilakukan penafsiran hukum, antara lain gramatikal, sistemik, dan historis.
Kalau dilihat dari sisi gramatikal, istilah demokratis membingungkan mekanisme apa yang diterapkan. Demokratis hanya sebuah proses, tetapi siapa yang memilih ini menjadi persoalan. Sistemik adalah menafsir dengan logika konstruksi misalnya asas-asasnya dan konsistensi dengan pengaturan yang lain. Dari sisi sistemik ini, dalam pasal yang sama dan amandemen tahun yang sama mengapa dirumuskan DPRD dipilih melalui Pemilu sedangkan kepala daerah dipilih secara demokratis.
Sedangkan pada amandemen berikutnya Presiden dipilih secara langsung. Dalam sistem pelembagaan pemilu seharusnya ada konsistensi pemilihan. Oleh sebab itu dari sisi sistemik kepala daerah mestinya ditafsir dipilih melalui pemilu langsung. Saat itu tidak langsung dirumuskan dipilih melalui pemilu langsung karena belum tahu apakah nantinya presiden akan dipilih langsung, dan juga memberi keluwesan karena ada kepala daerah yang tidak dipilih berdasarkan undang-undang keistimewaan, yaitu Yogyakarta.
Dari segi historis, yaitu melihat dari sejarah perumusan atau pembentukan ketentuan itu. Dari risalah sidang dapat diketahui maksud perumusan demokratis.
Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP). Pertama kali istilah Kepala Daerah dipilih secara demokratis disampaikan oleh FPDIP pada sidang PAH I BP MPR yang membahas rumusan Bab VI pada tangal 29 Mei 2000. Pada initinya FPDIP mengemukakan bahwa selama ini pemerintah belum melaksanakan Pasal 18 UUD 1945 sebagaimana mestinya.
Pemerintahan dijalankan secara sentralistik dengan tekanan dan paksaan. Pemilihan Kepala Daerah pada semua tingkatan dilakukan dengan penuh rekayasa dan hanya mengedepankan tokoh-tokoh formal dan mengabaikan tokoh informal. Untuk mencegah agar tidak terulang praktek-praktek tekanan dan paksaan, FPDIP mengusulkan agar dicantumkan secara eksplisit dengan rumusan: “Daerah Otonomi mempunyai Kepala Pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis yang pelaksanaannya diatur dengan undang-undangâ€.
Jelas sekali yang dimaksud dipilih secara demokratis menurut FPDIP pada sidang PAH I BP MPR di atas adalah untuk mengakiri praktek pemilihan kepala daerah yang selama itu banyak dilakukan dengan cara rekayasa dan praktek tekanan serta paksaan pemerintah terhadap mekanisme demokrasi untuk memilih kepala daerah yang sedang berjalan. Rumusan dipilih secara demokratis usulan PDIP bukan substansi yang mengarah kepada kepala daerah dipilih secara langsung atau tetap dipilih oleh DPRD. Namun ditekankan pada perbaikan praktek yang harus dilaksanakan dengan cara demokratis.
Fraksi Partai Golkar (FPG). Otonomi sebagai ruang bagi kedaulatan rakyat daerah dalam pengertian komunitas politik memiliki makna mendalam, yaitu bahwa demokrasi lokal dibutuhkan dalam rangka membangun otonomi daerah yang kokoh. FPG mengemukakan bahwa konsep otonomi daerah yang memberikan kekuatan kepada desentralisasi, tidak akan memenuhi sasarannya tanpa didukung pelibatan rakyat dalam pengambilan keputusan, diantaranya adalah melalui pemilihan kepada daerah secara langsung.
Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP). Pengalaman praktek yang semuanya diatur oleh pemerintah pusat sehingga terdapat ketimpangan-ketimpangan yang dirasakan oleh daerah. Berdasarkan pokok pikiran itu, FPPP mengusulkan tujuh item perubahan Pasal 18, yang salah satunya pada item ketujuh yaitu mengusulkan agar “Gubernur, Bupati, dan Walikota dipilih secara langsung oleh rakyat, yang secara langsung oleh rakyat yang selanjutnya diatur dalam undang-undang, hal ini sejalan dengan keinginan kita untuk Presiden juga dipilih secara langsungâ€.
Kemudian dalam tanggapan akhir antar fraksi sebelum memasuki tahap lobi-lobi, FPPP kembali mengemukakan dengan tegas pada item keempatnya bahwa “karena Presiden itu dipilih secara langsung maka pada pemerintahan daerahpun gubernur, bupati, dan walikota itu dipilih langsung oleh rakyat. Undang-undang dan tata caranya nanti diatur dalam undang-undang yang terkait dengan otonomi daerahâ€. Dengan demikian menurut pikiran FPPP yang dimaksud “dipilih secara demokratis†dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 adalah dipilih secara langsung sebagaimana tata cara yang dilakukan untuk memilih Presiden.
Fraksi Reformasi (terdiri dari Partai Amanat Nasional dan Partai Keadilan). Pembicara lain dari Fraksi Reformasi menggaris bawahi keberatan dengan pencantuman pemilihan Kepala Daerah dilakukan secara demokratis. Secara tegas ia mengusulkan agar “Pasal 18 Gubernur dan seterusnya dipilih secara langsungâ€. Selanjutnya juga disampaikan: “karena itu kata demokratis memang seharusnya dihapus karena kita sudah muak dengan penuangan seperti itu. Karena itu pemilihan langsung lebih jelas, karena demokratis itu seringkali tidak jelasâ€.
Dari penafsiran historis pilkada secara demokratis tidak lain adalah dipilih secara langsung. Dalam amandemen ketiga yang merumuskan Pasal 22E ternyata secara eksplisit pemilu adalah untuk memilih Presiden, DPR, DPD, dan DPRD. Ketentuan Pasal 18 (4) yang merumuskan dipilih secara demokratis kenyataannya dibiarkan sampai berakhirnya amandemen keempat.
Dengan demikian maka menurut UUD hasil amandemen dipilih secara demokratis yang tepat adalah ditafsir dipilih secara langsung. Namun berdasarkan pertimbangan sosiologis yaitu bersandar kepada kondisi masyarakat, perkembangan politik, pertimbangan kepentingan yang lebih besar sosiologis juga bisa dijadikan tafsir hukum. Tetapi penggunaan ini sudah terlepas dari sistemik dan historis perumusan ketentuan (pasal) yang bersangkutan, karena hanya melihat perkembangan sosiologis masyarakat.
Karena itu ide-ide kepala daerah dikembalikan dipilih DPRD merupakan tafsir sosiologis, bukan logika konsistensi hukum dan bukan berdasar sejarah maksud dirumuskannya ketentuan itu. Bila memang mau taat konstitusi, kepala daerah dipilih langsung seharusnya menjadi pilihan. Sistem ini adalah konstitusional dalam arti memiliki landasan dan argumen konstitusi yang kuat. []
HASYIM ASY’ARI
Dosen Bagian Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro