Enam dari sembilan daerah berpaslon tunggal memenangkan Pilkada 2017. Pasangan calon di Pilkada Kota Tebing Tinggi, Kabupaten Tulang Bawang Barat, Buton, Landak, Pati, dan Maluku Tengah mengalahkan pilihan “Kolom Kosong”. Tiga daerah berpaslon tunggal lainnya, Kota Sorong, Kota Jayapura, dan Kabupaten Tambrauw yang masih proses rekapitulasi suara pun kemungkinan akan mendapat hasil serupa.
Pada laman pilkada2017.kpu.go.id/hasil, paslon di Tulang Bawang Barat, Umar Ahmad-Fauzi Hasan merupakan paslon tunggal peraih suara sah tertinggi, yakni 96,75 persen. Angka ini disusul oleh:
Paslon Karolin Margret Natasa-Herculanus Heriadi di Landak: 96,72 persen; Haryanto-Saiful Arifin di Pati: 74,51 persen; Umar Zunaidi Hasibuan-Oki Doni Siregar di Tebing Tinggi: 71,39 persen; Tuasikal Abua-Martlalu Leleury di Maluku Tengah: 70,78 persen; dan Samsu Umar Abdul Samin-LA Bakry di Buton: 55,08 persen.
UU No.10/2016 pasal 107 ayat (3) dan pasal 109 ayat (3) menyebutkan, dalam hal hanya terdapat satu paslon bupati-wakil bupati, satu paslon wali kota-wakil wali kota, dan satu paslon gubernur-wakil gubernur, kemenangan ditentukan pada perolehan suara lebih dari 50 persen. Dan memang, enam daerah berpaslon tunggal di Pilkada 2017, semua paslon memperoleh suara lebih dari 50 persen.
Namun, ada satu pertanyaan yang patut diajukan dalam memandang isu paslon tunggal. Apakah paslon yang memenangkan pilkada tunggal memiliki legitimasi yang kuat atas kekuasan yang diperolehnya dari rakyat?
Mempertanyakan legitimasi
Analisis berikut menggunakan data hasil perolehan suara dan Daftar Pemilih Tetap (DPT) di pilkada2017.kpu.go.id. Namun, persentase kemenangan paslon dan persentase tak memilih yang akan disebutkan di bagian ini diproses oleh penulis dengan merujuk pada DPT, bukan seperti yang tercantum di laman tersebut. Penghitungan manual dilakukan karena jumlah perolehan suara dengan total suara sah yang dicantumkan di laman tak sesuai.
Penulis memberikan dua indikator untuk menilai legitimasi kemenangan paslon di daerah pilkada tunggal. Satu, paslon mendapatkan perolehan suara lebih dari 50 persen. Dua, persentase tak memilih tidak lebih besar dari persentase perolehan suara yang didapatkan paslon. Kedua indikator bersifat akumulatif, dan persentase dalam indikator ini mengacu pada DPT bukan total suara sah dan tidak sah.
Sebagai contoh, untuk kasus Tebing Tinggi. DPT tercatat 106.940. Jumlah suara untuk paslon 41.937, untuk kolom kosong 16.807, dan suara tidak sah 1.378. Total partisipasi berarti 60.122 atau 56,2 persen dari jumlah DPT. Dengan demikian, persentase tak memilih 43,8 persen.
Apabila persentase suara paslon, suara kolom kosong, dan tak memilih dibandingkan, maka akan muncul angka 39,2 persen, 15,7 persen, dan 43,8 persen. 39,2 persen pendukung paslon melawan 15,7 persen suara tak mendukung dan 43,8 persen yang tak menggunakan hak suaranya.
Apabila mengacu pada dua indikator tersebut, paslon tunggal di Tebing Tinggi tak memiliki legitimasi kuat atas kemenangannya. Berbeda dengan lima daerah berpaslon tunggal lain.
Di Tulang Bawang Barat, legitimasi paslon tunggal kuat karena didukung 85 persen pemilih. Persentase tak memilih pun hanya 11,2 persen, dan yang memilih kolom kosong hanya 2,8 persen.
Di Landak, legitimasi paslon juga kuat. Paslon mendapat dukungan 87,5 persen. Hanya ada 3 persen pemilih kolom kosong, dan 8,1 persen tak menggunakan hak suaranya.
Di Pati, legitimasi paslon tunggal tak cukup kuat tetapi cukup diperhitungkan. Paslon mengantongi 50,24 persen dukungan. 17,2 persen tak mendukung, dan 31 persen tak menggunakan hak suaranya.
Di Maluku Tengah, legitimasi paslon juga tak cukup kuat. Paslon didukung 47,4 persen, tak didukung oleh 19,6 persen, dan ada 32 persen yang tak menggunakan hak suaranya.
Di Buton, legitimasi paslon tunggal memprihatinkan. Ia hanya memperoleh dukungan sebesar 38,4 persen. Di pilihan lain, ada 31,4 persen memilih tak mendukung dan 29,2 persen tak menggunakan hak suaranya.
Persentase tak memilih memang tak diperhitungkan sebagai dasar kemenangan tetapi di pilkada bercalon tunggal, tingginya persentase tak memilih harus diperhatikan. Sebab, kemungkinan besar masyarakat tak menyukai paslon dan menganggap tak memilih sama dengan tak setuju pada paslon.
Tingginya persentase tak memilih juga memunculkan pertanyaan, apakah paslon tak cukup baik mengenalkan diri kepada masyarakat untuk mengajak mereka memilih pada hari pemungutan suara? Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Masykurudin Hafidz mengatakan, satu paslon tak cukup memadai untuk mengakomodasi semua aspirasi masyarakat.
Substansi dari memilih pemimpin melalui pemilu adalah legitimasi dari rakyat. Dapatkah kita katakan bahwa paslon tunggal yang memenangkan pemilu memiliki legitimasi, padahal jumlah pemilih yang tak menggunakan hak suaranya lebih besar dari pada suara yang memilihnya? []
AMALIA SALABI
Bolehkah tulisan ini kami liput di Buletin Bawaslu Jateng?
Silakan, Mas/Mbak, dengan mencantumkan tautan ke artikel aslinya tentunya. 🙂