Senin (5/6), Pansus Pemilu DPR RI dan Kemendagri telah menyepakati penambahan anggota KPU dan Bawaslu menjadi berjumlah 11 dan 9 orang. Argumen utama dalam penambahan ini menyangkut kompleksitas penyelenggaraan Pemilu 2019 yang dilakukan secara bersamaan, yaitu pemilu legislatif dan eksekutif.
Namun, tulisan ini tidak ingin membahas lebih dalam persoalan penambahan anggota tersebut. Hal yang penting diangkat ialah persoalan integritas penyelenggara pemilu di banyak tingkatan perlu diperhatikan secara serius.
Penyelenggara pemilu
Sebagai ujung tombak penyelenggaraan pemilu, memperkuat peran KPU dan Bawaslu adalah penting. Kita telah bersepakat dalam menghasilkan pemilu yang bersih dan dapat dipertanggungjawabkan, diperlukan penyelenggara yang berintegritas. Karena sifatnya yang berskala nasional, KPU dan Bawaslu tentu bertanggung jawab penuh dalam manajemen Pemilu 2019 yang lebih kompleks dan rumit akibat penggabungan dua pemilu (legislatif dan eksekutif).
Masalah yang timbul terkait dengan jumlah anggota penyelenggara pemilu bukanlah semata terletak di tingkat nasional. Para penyelenggara di provinsi dan kabupaten/kota dengan jangkauan wilayah dan jumlah pemilih yang besar memiliki masalah yang lebih serius. Sebagai contoh, provinsi berwilayah luas dan memiliki penduduk padat seperti Jabar, Jateng, dan Jatim seyogianya dapat dipertimbangkan memiliki jumlah komisioner yang lebih banyak ketimbang provinsi lain. Artinya gagasan redistribusi jumlah anggota KPU dan Bawaslu di daerah adalah ide yang paling krusial ketimbang di tingkat pusat.
Masalah lain ialah perilaku peyimpangan kewenangan yang dilakukan para penyelenggara pemilu di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Berdasarkan riset Puskapol FISIP UI pada 2017 terungkap bahwa sebagian besar teradu pelanggaran etika penyelenggara pemilu adalah para komisioner KPUD di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Para teradu yang telah disidangkan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) tersebut sebagian besar yang melakukan pelanggaran asas kemandirian sebagai penyelenggara. Mereka dinyatakan terbukti melakukan tindakan tidak netral dan berpihak kepada calon/kandidat dan partai politik tertentu dalam pilkada ataupun pemilu legislatif dan eksekutif. Para penyelenggara masih memiliki indikasi yang kuat dengan sikap tidak netral dan cenderung berpihak kepada para kontestan pemilu.
Persoalan penambahan anggota KPU dan Bawaslu bukanlah dapat dilihat karena semata-mata kebutuhan Pemilu 2019. Hal yang luput diperhatikan para anggota Pansus DPR ialah keputusan KPU dan Bawaslu bersifat kolegial manakala mereka dalam posisi sangat rumit memutuskan hal-hal yang terkait dengan penyelenggaraan pemilu.
Di sisi lain, pengembangan kapasitas organisasi penyelenggara yang bersifat netral itu harus juga diperkuat. Hal ini menjadi krusial karena para penyelenggara pemilu tentu bukanlah malaikat yang sulit diintervensi. Sebagai manusia biasa, para penyelenggara ini dapat mudah berinteraksi dan berkomunikasi dengan siapa saja, termasuk para calon dan partai politik yang ingin memuluskan kemenangan politik mereka.
Memperkuat penyelenggara pemilu
Oleh karena Pansus Pemilu DPR sudah memutuskan penambahan anggota KPU dan Bawaslu, ada baiknya untuk menaikkan isu terkait dengan memperkuat penyelenggara pemilu yang berintegritas dalam diskursus kepemiluan hari ini. Artinya, penambahan anggota berkorelasi dengan menambahkan beban tugas dan fungsi dari organisasi KPU dan Bawaslu dalam manajemen pemilu nasional dan lokal.
Untuk itu, perhatian terhadap penguatan para komisioner pun mutlak dilakukan. Paling tidak saya melihat ada dua isu kelembagaan yang perlu diperhatikan para penyelenggara pemilu saat ini: penguatan mekanisme rekrutmen dan seleksi penyelenggara pemilu dan penguatan supervisi kelembagaan di tingkat lokal.
Pertama, mekanisme rekrutmen dan seleksi penyelenggara ini harus benar-benar memperhatikan aspek kemandirian, baik secara individu ataupun pelekatan relasi sosial di pribadi masing-masing. Para komisioner di daerah yang terpilih seharusnya tidak hanya mengerti soal pengetahuan teknis pemilu, tetapi kemampuan yang membuktikan aspek kemandirian tersebut juga dapat diimplementasikan.
Kedua, berdasarkan informasi dari sidang-sidang DKPP, salah satu titik lemah penyelenggara ialah melakukan supervisi hierarki kelembagaan di tingkat lokal secara berkelanjutan. KPU dan Bawaslu harus memperhatikan persoalan manajemen ini secara serius. Paling tidak, kalau ini dapat dilakukan, KPU dan Bawaslu baru dapat bekerja yang efektif untuk mewujudkan pemilu yang berintegritas. []
ADITYA PERDANA
Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP Universitas Indonesia
MEDIA INDONESIA, 07 Juni 2017