August 8, 2024

Menelisik Tantangan Penegakan Hukum Pemilu Serentak 2024

Semua jenis pemilu secara serentak sudah hampir pasti akan digelar pada tahun yang sama yakni tahun 2024. Dilihat dari sisi undang-undang yang menjadi dasar penyelenggaraan pemilu dan pilkada sejauh ini belum ada perubahan. Masih tetap menggunakan UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum dan UU 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

Tentu penyelenggara pemilu baik KPU, Bawaslu, dan DKKP sudah harus menyiapkan langkah-langkah berupa persiapan menyambut tahapan pesta demokrasi tersebut. Bawaslu misalnya, sebagai salah satu lembaga penyelanggara pemilu yang memiliki tiga fungsi secara garis besar yang diamanahkan undang-undang yakni pencegahan, pengawasan, dan penanganan pelanggaran serta penyelesaian sengketa sudah harus melakukan pemetaan awal terhadap potensi yang bisa menjadi hambatan dan tantangan Pemilu Serentak 2024, terutama dalam penegakan hukum pemilu.

Menurut Lawrence M. Friedman, berhasil atau tidaknya penegakan hukum dalam dipengaruhi oleh tiga unsur system hukum yakni struktur hukum (Structure of Law), substansi sukum (Substance of The Law), dan budaya hukum (Legal Culture). Unsur substansi hukum meliputi aturan, norma, dan perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem hukum (Lawrence M. Friedman, 2001). Jika kita berbicara tentang struktur sistem hukum pemilu di Indonesia maka yang termasuk di dalamnya struktur institusi-institusi penegakan hukum antara lain Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan serta Bawaslu.

Dalam kaitannya dengan budaya hukum, Lawrence M. Friedman selanjutnya mengartikan budaya hukum sebagai suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Tanpa budaya hukum maka sistem hukum itu sendiri tidak akan berdaya.

Dalam penyelenggara Pemilu Serentak 2024 setidaknya sudah bisa ditelesik beberapa tantangan penegakan hukum yang berpotensi menghiasi proses penyelenggaraan pemilu serentak tersebut, di antaranya tantangan regulasi, struktur hukum, dan budaya hukum masyarakat.

Tantangan Regulasi

Jika melihat UU 7/2017 yang menjadi dasar penyelenggaraan Pemilu 2019 dan kemungkinan masih tetap digunakan pada Pemilu 2024. Dalam undang-undang tersebut terdapat beberapa norma yang sulit untuk diterapkan dan ditegakkan. Misalnya dalam penegakan hukum politik uang yang diatur dalam beberapa pasal UU 7/2017 yakni pasal 278 ayat (2), pasal 280 (1) huruf j, pasal 284 dan pasal 515 serta ketentuan pidana diatur dalam pasal 532 ayat (1), (2), dan (3).

Pengaturan pasal tersebut di atas terbatas pada subyek pelaksana, peserta, dan tim kampanye. Pembatasan subyek ini dapat dijadikan celah bagi calon yang ingin meraih kekuasaan dengan cara jalan pintas dan  tidak benar dalam pemilu. Misalnya yang melakukan politik uang adalah relawan atau tim calon legislatif dan mereka tidak didaftar di KPU Kabupaten/Kota maka pelaksana penegak hukum (Gakkumdu) akan kesulitan menggunakan atau menerapkan ketentuan pidana di pasal 523 ayat (1) dan (2) karena unsur subyek yang melakukan tidak terdaftar di KPU.

Sementara pengaturan terkait dengan subyek hukum “setiap orang” hanya berlaku pada pada hari pemungutan suara saja. Di mana pada hari proses pemungutan dan penghitungan suara tim sukses, relawan dan masyarakat pemilih serta penyelenggara pemilu sudah sibuk masing-masing memberikan hak suaranya. Penegakkan hukum politik uang ini sebagai salah contoh saja, tentu masih ada yang lain dari sisi regulasi seperti tindak pidana bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) di pemilu yang sangat berbeda dalam UU 10/2016 tentang Pilkada.

Sementara dalam pilkada tantangan penegakan hukum yakni tidak dikenalnya in absensia atau pemeriksaaan perkara tanpa kehadiran tergugat. Hal ini akan menyulitkan dalam pengumpulan alat bukti, belum lagi penanganan dengan waktu sangat terbatas dalam pilkada, maksimal 5 hari dalam proses kajian Bawaslu.

Struktur Hukum

Aparat penegak hukum tindak pidana pemilu dalam konteks penyelenggaraan pemilu terdiri dari tiga unsur yakni Kejaksaan, Kepolisian, dan Bawaslu yang tergabung dalam Sentra Gakkumdu. Peran Gakkumdu sangat vital sebab lanjut tidaknya kasus dugaan tindak pidana pemilu politik uang ditentukan oleh tiga institusi tersebut melalui rapat pembahasan Gakkumdu.

Masalah yang biasa muncul dalam struktur hukum ini adalah kurang fokusnya penyidik kepolisian dan jaksa yang ditugaskan di Gakkumdu sebab pada saat yang sama memiliki tanggungjawab yang harus tunaikan di institusinya masing-masing untuk menangani perkara di luar kasus pemilu. Sementara dalam penangan tindak pidana pemilu sangat dibatasi dengan waktu yakni paling lama 7 (tujuh) hari dan ketika masih membutuhkan keterangan tambahan dan kajian dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah temuan dan laporan diterima dan diregistrasi.

Seharusnya penyidik dan jaksa yang ditugaskan di Gakkumdu agar dibebaskan dari tugas lainnya supaya fokus dalam penanganan tindak pidana pemilu. Apalagi dalam Pemilu Serentak 2024 jelas tahapan pemilu dan pilkada akan beririsan, potensi pelanggaran bisa terjadi keduanya dalam waktu bersamaan. Hal ini tentu perlu diantisipasi dengan kesiapan personil Gakkumdu baik Kepolisian, Kejaksaan, dan Bawaslu ke depan.

Selanjutnya posisi Pengawas Pemilu yang menjadi bagian dari struktur penting dalam penegakan hukum tindak pidana pemilu pada proses kajian tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pemanggilan secara paksa terhadap pihak-pihak terkait dengan kasus yang ditangani seperti saksi-saksi, pelapor, terlapor dan lainnya. Selain itu, perbedaan penafsiran terhadap unsur pasal di antara anggota Sentra Gakkumdu seringkali menjadi tantangan untuk melanjutkan apakah kasus dugaan tindak pidana pemilu tersebut bisa dilanjutkan ke tahap selanjutnya atau tidak.

Sementara sesuai Perbawaslu 31/2018, pasal 23 (3) disebutkan bahwa hasil Pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk menyimpulkan temuan atau laporan merupakan tindak pidana pemilu atau bukan tindak pidana pemilu. Artinya sebuah kasus dugaan tindak pidana pemilu terkait tindak lanjutnya apakah dilanjutkan ketahap penyidikan atau dihentikan harus melalui keputusan bersama tiga institusi dalam Sentra Gakkumdu yakni Kejaksaan, Kepolisian dan Bawaslu.

Budaya Hukum

Faktor budaya hukum merupakan salah satu faktor berpengaruh dalam penegakan hukum sebab jika aspek nilai budaya masyarakat sudah terbangun dengan baik untuk menolak adanya politik uang dalam kontestasi demokrasi maka tentu tidak akan ada pelaksana, peserta, dan tim kampanye dan lainnya yang berani melakukan politik uang pada penyelenggaraan pemilu.

Budaya hukum erat kaitannya dengan keseluruhan jalinan nilai sosial yang berkaitan dengan hukum beserta sikap tindak yang mempengaruhi hukum, seperti adanya rasa malu, rasa bersalah apabila melanggar hukum dan sebagainya. Semakin tinggi rasa malu untuk melanggar hukum maka maka akan tercipta budaya hukum yang baik dan dapat mengubah pola pikir masyarakat mengenai hukum selama ini. Lawrence M. Friedman menyebutkan tanpa budaya hukum maka sistem hukum itu sendiri tidak akan berdaya.

Budaya hukum pada penyelenggaran pemilu berkaitan dengan rasa malu dan rasa bersalah melakukan politik uang masih perlu ditingkatkan. Mengingat masih sering terjadi dugaan politik uang bahkan masih sering kedengaran sebagian masyarakat menyampaikan seperti “ada uang ada suara”.

Jika praktik politik uang oleh masyarakat dinilai sebagai hal yang wajar hingga membudaya dalam pemilu, apatis dan tidak menerima aturan serta membiarkan praktik politik uang itu terjadi maka sebaik apapun aturan yang telah ditetapkan dan sekuat apapun aparat penegak hukum yang tergabung di Gakkumdu maka tetap sulit untuk menerapkan aturan hukum pemilu tersebut. Untuk itu menyambut Pemilu Serentak 2024 sudah seharusnya semua elemen penting dalam pemilu untuk meningkatkan pendidikan politik di masyarakat. []

BAKRI ABUBAKAR

Kordiv Hukum, Penanganan Pelanggaran dan Penyelesaian Sengketa Bawaslu Bulukumba