Adagium Latin yang terkenal, Vox Populi Vox Dei atau suara rakyat adalah suara Tuhan, menunjukkan betapa penting suara rakyat di negara demokrasi konstitusional.
Saat paling tepat bagi rakyat untuk menyampaikan suaranya tak lain dan tak bukan adalah di bilik suara pemilu. Jika pemilu adalah urat nadi demokrasi, suara rakyat pemilu adalah jantung demokrasi. Tanpa perlindungan suara rakyat dalam pemilu, demokrasi akan mati. Selasa (5/3/2019), Integrity (Indrayana Centre for Government, Constitution, and Society) menjadi kuasa hukum permohonan pengujian konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Para pemohonnya Perludem, Hadar Nafis Gumay, Feri Amsari, Muhamad Nurul Huda, Sutrisno, Augus Hendy, dan A Murogi bin Sabar. Dua pemohon terakhir warga binaan Lembaga Pemasyarakatan Tangerang yang tak memiliki KTP elektronik (KTP-el) sehingga tak terdaftar sebagai pemilih.
Permohonan diajukan satu setengah bulan menjelang hari pemungutan suara karena hingga hari-hari terakhir itu potensi hilangnya hak memilih rakyat karena alasan prosedur administratif masih sangat besar. Berbagai upaya yang dilakukan KPU dan Kemendagri untuk menyelesaikan persoalan KTP elektronik, sebagai syarat memilih, masih belum menemukan titik terang.
Kompas (11/3) mengangkat berita berjudul ”Semangat Memilih di Pemilu Kian Besar” yang menunjukkan masih ada 2,1 persen atau 5,38 juta pemilih belum memiliki KTP-el dan berpotensi kehilangan haknya untuk memilih. Padahal, tak selesainya KTP-el—meskipun Ditjen Dukcapil telah berusaha keras melakukan perekaman—bukan semata karena kurang aktifnya masyarakat pemilih. Kita sama-sama mengerti adanya kasus korupsi di pengadaan KTP-el, yang sedikit banyak memengaruhi akselerasi penyelesaian KTP secara nasional.
Ada pula pemilih, yang akan berusia 17 tahun pada hari pemungutan suara, yang tak dapat memiliki KTP-el. Bukan karena mereka pasif, melainkan karena UU Administrasi Kependudukan tak memungkinkan mereka memproses kepemilikan KTP sebelum betul-betul berusia 17 tahun. Kepada mereka, KPU akan memberikan surat keterangan, tetapi tetap problematik secara hukum karena UU Pemilu mensyaratkan KTP-el.
Demikian pula dengan saudara-saudara kita di pedalaman, masyarakat adat, masyarakat miskin kota, kaum difabel, dan berbagai kelompok rentan lain, yang tak memiliki KTP-el bukan karena mereka tak ingin, melainkan karena berbagai alasan sosial dan ekonomi sehingga akses mereka terhadap KTP sangat terbatas atau bahkan tak ada sama sekali.
Mereka semua itu berjuta-juta saudara kita, rakyat Indonesia yang berhak memilih di Pemilu 2019, tetapi karena persoalan teknis kepemilikan KTP-el dapat dipastikan akan kehilangan hak pilih. Padahal, dalam perspektif perlindungan hak konstitusional, jangankan jutaan suara rakyat yang hilang, satu saja hak memilih rakyat dibatasi, dipersulit, apalagi dihilangkan, adalah pelanggaran serius terhadap konstitusi kita bernegara.
Untuk melindungi hak pilih rakyat, permohonan pengujian UU Pemilu diajukan ke MK. MK dalam putusan No 01–017/PUU-I/2003 menegaskan, hak rakyat untuk memilih dan dipilih adalah ”hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang, maupun konvensi internasional, maka pembatasan penyimpangan, peniadaan, dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi dari warga negara”. Lebih jauh, menurut Putusan MK No 102/PUU-VII/2009, ”hak konstitusional di atas tidak boleh dihambat atau dihalangi oleh berbagai ketentuan dan prosedur administratif apa pun yang mempersulit warga negara untuk menggunakan hak pilihnya.”
Pasal yang diuji
Permohonan uji konstitusionalitas diajukan atas Pasal 348 Ayat (9), Pasal 348 Ayat (4), Pasal 210 Ayat (1), Pasal 350 Ayat (2), dan Pasal 383 Ayat (2) UU Pemilu. Pasal-pasal itu dinilai menghambat, membatasi, mempersulit, atau menghilangkan hak pemilih yang seharusnya dilindungi dan difasilitasi.
Pasal 348 Ayat (9) mensyaratkan pemilih yang tak terdaftar di DPT hanya bisa memilih dengan syarat menunjukkan KTP-el. Norma ini hadir sebagai antisipasi tak lengkapnya DPT dan sesuai putusan MK No 102 yang dikeluarkan menjelang Pemilu 2009. Saat itu MK juga jadi juru selamat rakyat yang nyaris kehilangan hak pilih karena persoalan DPT. Persoalannya, syarat KTP-el di Pasal 348 Ayat (9) tetap merupakan prosedur administratif yang tak dimiliki jutaan pemilih kita. Karena itu, dimohonkan selain KTP-el, pemilih dapat menggunakan KTP biasa, surat keterangan, akta lahir, buku nikah, kartu keluarga, atau kartu pemilih.
Belum banyak yang tahu dan sadar, Pasal 348 Ayat (4) menyebabkan pemilih yang pindah lokasi memilih berpotensi kehilangan hak pilih di pileg. Misalnya, kalau memilih pindah provinsi, yang bersangkutan hanya akan dapat kertas suara pilpres dan tak akan dapat memilih calon anggota legislatif pada semua tingkatan. Hal ini tak terjadi pada pemilu-pemilu sebelumnya dan karena itu tak adil. Bagi narapidana di lapas yang pindah karena putusan pengadilan, seharusnya kepada mereka tetap diberikan hak penuh memilih kecuali hak politik itu secara jelas telah dicabut dalam putusan pengadilan.
Pasal 210 Ayat (1) mengatur, pendaftaran ke DPT tambahan (DPTb) hanya dapat dilakukan paling lambat 30 hari sebelum hari pemungutan suara. Padahal, pemilih bisa masuk daftar pemilih tambahan akibat kondisi tak terduga di luar kemauan dan kemampuan yang bersangkutan, seperti sakit, jadi tahanan, dan tertimpa bencana alam. Kondisi tak terduga itu tak sepatutnya diberikan jangka waktu maksimal 30 hari sebelum hari pemungutan suara, tetapi cukup maksimal tiga hari, untuk memungkinkan KPU menyiapkan logistik kertas suara, sebagaimana juga dilakukan pada pemilu sebelumnya.
Pasal 350 Ayat (2) diajukan pengujian konstitusional bersyarat untuk memungkinkan dibuatnya TPS khusus berdasar DPTb, agar para pemilih dengan kondisi dan kebutuhan khusus, tak kehilangan hak pilih. Pemilih yang punya kekhususan, misalnya sedang menjalani rawat inap di RS; penghuni panti sosial atau rehabilitasi; jadi napi atau tahanan; tugas belajar, santri yang mondok di pesantren; tertimpa bencana alam. Kepada pemilih demikian, di samping berpotensi kehilangan hak pilih pileg, juga berpotensi kehilangan seluruh suaranya karena TPS disiapkan berbasis DPT. Permohonan mengusulkan kepada pemilih seperti itu dibuatkan TPS khusus berbasis DPTb.
Terakhir, Pasal 383 Ayat (2) dimohonkan pengujian agar ada solusi hukum jika penghitungan suara tak selesai pada hari yang sama dengan pemungutan suara. Antisipasi hukum perlu dilakukan untuk menjaga keabsahan Pemilu 2019. Dalam situasi kontestasi yang ketat dan hangat, potensi masalah berkaitan dengan keabsahan pemilu harus dicarikan solusi agar tak jadi sumber konflik. Permohonan mengusulkan penghitungan tetap dapat dilanjutkan tanpa putus, sampai paling lama satu hari setelah pemungutan suara.
Putusan MK jadi solusi
Secara ketatanegaraan, solusi atas berbagai norma UU Pemilu yang berpotensi menghilangkan hak pilih ada beberapa opsi, di antaranya perubahan UU, yang cenderung memakan waktu lebih lama. Kedua, dengan perppu, tetapi juga problematik karena mungkin ditolak DPR. Ketiga dan lebih ideal adalah dengan mengubahnya melalui uji materi di MK, kemudian ditindaklanjuti dengan aturan teknis oleh KPU.
MK telah berulang kali menunjukkan peran sebagai penjaga konstitusi, termasuk lewat Putusan 102 yang mencegah hilang sia-sianya suara rakyat jelang Pemilu 2009 karena tak terdaftar di DPT. Setelah 10 tahun, persoalan hak pilih masih perlu didukung solusi konstitusional dari MK. Apalagi secara hukum acara, MK memang dimungkinkan memutus perkara secara cepat. Sebagaimana Putusan 102 yang karena urgensinya diputus cepat oleh MK, permohonan uji materi UU Pemilu ini pun sebaiknya diputus sebelum 17 April 2019. Dalam pertimbangan Putusan 102, MK menggunakan Pasal 54 UU MK untuk mengargumenkan bahwa keterangan pemerintah dan DPR tak wajib diperdengarkan dalam sidang pengujian UU dan karena itu putusan bisa dijatuhkan lebih cepat. Tentu kita berharap MK kembali menunjukkan peran sebagai pengawal konstitusi dan, menjadi juru selamat dari potensi hilang sia-sianya jutaan suara rakyat dalam Pemilu 2019.
Denny Indrayana Advokat Senior Integrity, Visiting Professor di Melbourne University Law School