Sebagai lembaga negara pengawas pemilu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memiliki kewenangan melekat dalam hal pengawasan seluruh tahapan pemilu. Fakta di lapangan, kewenangan pengawasan belum berjalan maksimal seperti yang diharapkan.
Seiring catatan kewenangan tersebut, Bawaslu juga memiliki kewenangan sebagai kuasi peradilan. Putusan Bawaslu yang sebelumnya hanya bersifat rekomendasi, kini memiliki kekuatan eksekutorial layaknya putusan pengadilan. Hal ini secara tidak langsung mentransformasi sifat kelembagaan Bawaslu menjadi kuasi peradilan selayaknya lembaga seperti Komisi Informasi Pusat (KIP) atau Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Namun peran Bawaslu sebagai lembaga kuasi peradilan nyatanya tidak menunjukan efektivitas dalam penyelesaian sengketa pemilu. Tidak efektifnya peran Bawaslu sebagai lembaga kuasi peradilan tampak dalam perkara-perkara berikut.
Perkara OSO
Perkara pertama adalah perkara Oesman Sapta Odang (OSO) pada Pemilu 2019. OSO yang berstatus sebagai Ketua Umum Partai Hanura sekaligus Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPR), mencalonkan dalam Pemilu DPD 2019.
Sejatinya Mahkamah Konstitusi RI melalui Putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 telah menyatakan bahwa calon anggota DPD tidak diperkenankan memiliki pekerjaan lain yang mencakup pula pengurus (fungsionaris) partai politik. Namun oleh karena pada saat dikeluarkannya Putusan tersebut tertanggal 23 Juli 2018, proses pencalonan Anggota DPD telah berjalan, maka kepada calon anggota DPD yang berasal dari Partai Politik tetap diberikan kesempatan untuk menjadi Calon Anggota DPD sepanjang telah menyatakan mengundurkan diri dari keanggotaannya sebagai pengurus partai politik.
Ketentuan itu kemudian tercermin pula dalam pengumuman KPU tertanggal 1 September 2018. Tepatnya melalui Pengumuman KPU Nomor 992/PL.01.4-PU/06/KPU/IX/2018 Tentang Pengumuman Daftar Calon Sementara Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Pemilu Tahun 2019 yang memuat nama OSO di dalamnya.
Pada tanggal yang sama diterbitkan Putusan Bawaslu sebagai hasil dari fungsi kuasi peradilan yang dimiliki Bawaslu. Pada pokoknya memerintahkan KPU untuk tetap memasukan nama OSO dalam Daftar Calon Tetap (DCT) dengan syarat OSO wajib menyampaikan surat pengunduran diri sebagai pengurus Partai Hanura paling lambat satu hari sebelum penetapan calon terpilih anggota DPD oleh KPU.
Yang terjadi, OSO tidak kunjung memberikan surat pengunduran diri dari kepengurusan partai politik. Karena ini, KPU pada akhirnya tidak menetapkan nama OSO dalam Daftar Calon Tetap (DCT).
OSO tidak menyerah begitu saja. Pimpinan Partai Hanura ini melawan dengan mengajukan permohonan judicial review ke Mahkamah Agung RI (MA) untuk menguji Pasal 60A Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2018 Tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah (selanjutnya disebut “PKPU 26 2018”) dan Surat Nomor 1043/PL.01.4-SD/06/KPU/IX/2018 tertanggal 10 September 2018 perihal Syarat Calon Anggota DPD adalah bertentangan atau tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 75 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, serta menegaskan asas non-retroaktif yang tertuang dalam Pasal 47 UU Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, MA menyatakan bahwa Pasal 60A PKPU 26/2018 tetap berlaku sepanjang tidak berlaku surut.
Selain itu, langkah lain yang dilakukan OSO adalah melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk membatalkan Surat Keputusan DCT KPU. PTUN mengabulkan permohonan OSO dengan membatalkan SK KPU yang menyatakan OSO tidak memenuhi syarat sebagai Calon Anggota DPD.
Pascadikeluarkannya putusan PTUN yang membatalkan SK DCT KPU tersebut, Bawaslu mengeluarkan putusan atas sengketa proses pemilu yang memerintahkan KPU untuk memasukan nama OSO dalam DCT. Putusan Bawaslu ini menyertakan catatan OSO wajib mengundurkan diri dari kepengurusannya dalam partai politik. Tentu putusan Bawaslu itu tidak sepenuhnya tunduk pada putusan PTUN yang hanya memerintahkan KPU untuk memasukan OSO dalam DCT.
Di sisi lain, KPU tidak menaati perintah Bawaslu untuk memasukan nama OSO dalam DCT. Idealnya KPU wajib menindaklanjuti putusan Bawaslu dengan perbaikan administrasi berupa penerbitan keputusan baru tentang Penetapan Daftar Calon Tetap (DCT) dengan mencantumkan kembali nama OSO sebagai calon tetap perseorangan dalam Pemilu Anggota DPD dalam waktu selambat-lambatnya tiga hari sejak tanggal putusan dibacakan.
Pada faktanya, OSO sebagai pengadu pernah menerima surat Nomor 60/PL/01-SD/03/KPU/I/2019 Perihal Pelaksanaan Putusan Bawaslu, namun muatan dalam surat tersebut justru meminta OSO untuk menyerahkan surat pengunduran diri sebagai Ketua Umum Partai Hanura paling lambat tanggal 22 Januari 2019. Sehingga muatan surat tersebut tidak sesuai dengan perintah pada Putusan Bawaslu Nomor 008/LP/PL/ADM/RI/00.00/XII/2018. Dalam konteks ini, putusan DKPP menyatakan bahwa KPU tidak terbukti telah melakukan pelanggaran kode etik atas tindakan tidak mencantumkan OSO di dalam DCT meskipun berlainan dengan Amar Putusan Bawaslu Nomor 008/LP/PL/ADM/RI/00.00/XII/2018.
Keadaan ini menjelaskan efektivitas terhadap Putusan Bawaslu atas satu permohonan yang sama namun menghasilkan dua putusan dengan pendekatan yang berbeda satu sama lain. Pertama, putusan pelanggaran administrasi. Kedua, putusan sengketa proses pemilu. Keduanya saling berlainan sehingga menjadi anomali untuk dapat diterapkan. Selain itu, tersedianya mekanisme untuk melakukan upaya hukum di ruang adjudikasi dalam proses peradilan yang panjang membuka potensi menghadirkan putusan yang tumpang tindih dan tidak membuahkan hasil yang memberikan kepastian hukum bagi para pihak.
Perkara PKPI
Pekara kedua adalah perkara Partai Kesatuan dan Peradilan Indonesia (PKPI). Sebelumnya, KPU melalui Surat Keputusan KPU RI Nomor 58/PL.01.1-Kpt/03/KPU/II/2018 Tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota Tahun 2019 yang tidak memasukan PKPI sebagai partai politik peserta Pemilu sebab PKPI dinyatakan tidak memenuhi persyaratan kepengurusan 75% (tujuh puluh lima persen) kabupaten/kota dalam satu provinsi sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 173 Ayat (2) huruf c UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu. PKPI kemudian mengajukan gugatan ke Bawaslu, namun berdasarkan hasil pemeriksaan Bawaslu, PKPI gagal memenuhi syarat sebagaimana termuat dalam pasal 173 Ayat (2) huruf c UU Pemilu tersebut. Dengan demikian Putusan Bawaslu tersebut menguatkan SK KPU RI Nomor 58/PL.01.1-Kpt/03/KPU/II/2018.
Tidak terima dengan Putusan Bawaslu, PKPI mengajukan gugatan ke PTUN. Namun berbeda dengan Putusan Bawaslu, PTUN memenangkan PKPI, sehingga atas perintah PTUN, SK KPU RI Nomor 58/PL.01.1-Kpt/03/KPU/II/2018 harus dicabut dan KPU harus menerbitkan Surat Keputusan baru dengan memasukan PKPI sebagai partai politik peserta pemilu. Dengan demikian, perkara diakhiri dengan kewajiban KPU untuk tunduk pada putusan PTUN.
Berdasarkan gambaran kedua perkara tersebut di atas, maka dapat dilihat bahwa peran Bawaslu sebagai lembaga kuasi peradilan sesungguhnya masih memiliki tantangan. Bawaslu memiliki kewenangan untuk mengeluarkan putusan yang bersifat final dan mengikat terkait pelanggaran administrasi dan putusan sengketa proses pemilu, namun nyatanya tidak ada sifat imperative yang menjamin pelaksanaan putusan tersebut oleh KPU.
Kewenangan penyelesaian sengketa proses juga menuai persoalan, karena model penyelesaian sengketa proses oleh Bawaslu tidak ekuivalen dengan prinsip dan asas hukum dalam sistem peradilan yang mempersyaratkan sang pengadil tidak memiliki konflik kepentingan dengan obyek yang akan diadili.
Kewenangan Bawaslu dalam menyelesaikan sengketa proses, satu sisi dianggap sebagai solusi atas kebuntuan bila terjadi persoalan perihal keputusan KPU yang dianggap merugikan peserta pemilu, atau akibat perselisihan antar peserta pemilu. Tapi, di sisi lain, kewenangan ini pula menuai sejumlah persoalan, beberapa di antaranya karena Bawaslu turut andil dalam proses pemilu yang menjadi pokok sengketa.
Keterlibatan Bawaslu memiliki makna dia hadir sebagai pengawas dalam tahapan pemilu yang sedang berlangsung, dan ketika dalam proses tahapan yang telah diawasi tersebut dipersoalkan oleh peserta pemilu maka tidaklah elok ketika Bawaslu bermetamorfosa menjadi pengadil. Alasannya, pengadil mempersyaratkan orang yang tidak terlibat sama sekali dengan pokok yang akan diadili.
Pada prinsipnya lembaga pengadil membutuhkan kebebasan dari segala bentuk pengaruh. Dalam hal ini menurut penulis termasuk pengaruh dari peran lembaga Bawaslu yang mendua. Rusli Muhammad dalam disertasinya juga memaparkan bahwa independensi lembaga peradilan tidak sekedar pada tingkatan prosesnya, melainkan juga menyentuh pada tataran organisasi, administrasi, keuangan, dan personilnya.
Dari gambaran singkat tersebut maka terjadi ambivalensi kedudukan Bawaslu sebagai pengadil satu sisi namun disisi lain Bawaslu terlibat dalam pengawasan yang dimana pengawasan yang telah dilakukan oleh Bawaslu mempunyai keterkaitan dengan pokok materi yang disengketakan. Dari soal tersebut maka tidak heran ketika dalam praktik wibawa putusan Bawaslu dalam sengketa proses kurang begitu muncul. Hal ini terkonfirmasi di lapangan, di mana ternyata tidak semua putusan Bawaslu atas soal sengketa proses langsung dilaksanakan oleh KPU, padahal secara eksplisit disebut bahwa tiga hari setelah putusan Bawaslu dibacakan KPU wajib melaksanakan.
Berikut, fungsi pengawasan dipahami sebagai fungsi yang memerlukan konsentrasi tinggi karena begitu padat tahapan pemilu yang wajib diawasi. Belum lagi jika kita menelisik tantangan dan kompleksitas persoalan hukum yang mungkin terjadi pada Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024 mendatang. Dalam kerangka penguatan terhadap fungsi pengawasan serta memberikan ruang yang baik untuk penyelesaian sengketa proses pemilu dan pemilihan, penulis memandang perlu dilakukan penelaahan yang lebih dalam terkait gagasan untuk melakukan rekonstruksi kewenangan Bawaslu sebagai upaya menuju penguatan kewenangan pengawasan Bawaslu di masa mendatang.
Sebagai bentuk ius constituendum, penulis menawarkan agar dilakukan rekonstruksi kewenangan Bawaslu dengan memberikan pada peradilan khusus yang secara kelembagaan memang didesain sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Melalui desain ini diharapkan akan memperkuat fungsi utama dari Bawaslu yaitu melakukan pengawasan dalam setiap tahapan pemilu.
Apabila model rekonstruksi yang ditawarkan terwujud, maka minimal ada tiga manfaat yang dapat dipetik. Pertama, kewenangan penyelesaian sengketa proses pemilu akan dilaksanakan secara profesional dalam bingkai kekuasaan kehakiman. Kedua, batasan kewenangan pengawasan dengan kewenangan mengadili agar tidak terdapat lembaga penyelenggara pemilu berkewenangan lebih yang bisa sewenang-wenang. Ketiga, model rekonstruksi sebagaimana ditawarkan akan memberikan jaminan dan perlindungan kepada peserta pemilu agar diperlakukan secara adil sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku.
Jika rekonstruksi itu tidak dipilih, Bawaslu didorong mejadi lembaga peradilan khusus pemilu. Dengan pilihan ini, kewenangan pengawasan yang telah melembaga di Bawaslu dikembalikan kepada masyarakat pemilih. []
FORTUNATUS HAMSAH MANAH
Anggota Bawaslu Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT)