November 15, 2024

Mengevaluasi Sistem Pemilu Proporsional Terbuka

Manifestasi sebuah negara demokrasi terdapatnya pemilu yang merupakan metode dalam menentukan serta memilih pemerintahan secara berdaulat. Memasuki masa rotasi pergantian kekuasaan 2024, Komisi II DPR menginisiasi pembuatan RUU Pemilu untuk menghadirkan perbaikan pemilu. Harapannya, produk regulasi ini bisa meminimalisir politik uang serta mampu menghasilkan pemimpin-pemimpin berkapabilitas dan berintegritas tinggi.

RUU Pemilu memunculkan reaksi di masyarakat tatkala salah satunya terdapat pasal mengenai perubahan sistem pemilu. Pasal 206 ayat (1) sampai (3) bertuliskan seputar pilihan sistem pemilu proporsional tertutup. Pro kontra terjadi baik dalam tataran teknis maupun substantif.

Pemilu 2019 dan pemilu sebelumnya, menunjukan banyak permasalahan yang ditimbulkan oleh sistem proporsional terbuka. Sistem pemilu ini memang butuh evaluasi ulang dalam penerapannya. Merujuk pilihan sistem dalam RUU Pemilu, apa iya kesimpulannya harus mengganti dengan sistem pemilu proporsional tertutup?

Sistem proporsional terbuka merupakan sistem proporsional yang menggunakan suara terbanyak untuk menentukan calon legislator yang duduk parlemen. Masyarakat memilih secara langsung calon-calon yang ingin mewakilinya. Sistem ini berlaku tahun 2009 ketika Mahkamah konstitusi menetapkannya. Sejak saat itu terdapat perubahan-perubahan mengenai kultur dan pola politik yang terjadi di partai politik itu sendiri serta masyarakat. Mari kita ulas dengan seksama.

Pertama, penerapan sistem proporsional terbuka membuat ongkos politik semakin mahal. Para calon anggota legislatif harus berpikir keras untuk membiayai masa kampanyenya. Riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) mencatat, pengeluaran caleg pada Pemilu DPR 2014 berkisar Rp. 1,18 sampai 4,6 miliar. Sedangkan untuk DPRD Rp 481 juta sampai 1,55 miliar. Semua uang digunakan untuk kampanye dan sebagainya. Jika pengeluaran lain yang tidak tercatat atau tidak dilaporkan juga dihitung, nilainya bisa lebih.

Lalu, dari mana calon itu mendapatkan dana sebesar itu? Apakah dana sendiri atau dana sponsorship yang menyumbang? Sponsorship ini apakah perorangan atau perusahaan?

Ternyata, kebanyakan para calon mengeluarkan dana kampanyenya melalui dana pribadi. Dengan tingginya biaya kampanye yang dikeluarkan calon legislator, maka ketika menjabat kelak akan ada potensi terjadi hal-hal yang berujung kepada penyelahgunaan kekuasaan untuk mengembalikan modal semasa kampanye.

Bagi para calon legislator yang dibiayai oleh perusahaan tak jarang lebih banyak mewakili suara perusahaan tersebut ketimbang suara rakyat. Dengan begitu, maka yang terjadi adalah politik oligarki, yaitu kekuasaan yang hanya dikuasai oleh segelintir orang atau kelompok.

Menurut Jeffrey Winters, oligarki merupakan politik pertahanan kekayaan oleh pelaku yang mempunyai materil. Kekuatan materil adalah serbaguna dan dapat mempengaruhi orang secara signifikan. Berkaitan dengan konteks pemilu maka tak heran uang bisa membeli kemerdekaan seseorang untuk mengikuti arahannya.

Kedua, sistem proporsional terbuka mendorong politik uang yang tinggi. Hal ini terjadi dikarenakan tingkat perekonomian yang masih rendah akan membuat masyarakat memikirkan urusan perutnya ketimbang menghasilkan demokrasi yang berkualitas. Tak jarang calon-calon yang hanya mengandalkan popularitas, materi, dan politik kekerabatan menjadi calon yang di prioritaskan oleh partai politik karena melihat kondisi sosiologis masyarakat yang masih rendah secara ekonomi dan pendidikan. Calon-calon yang berkualitas tetapi tidak mempunyai dana dan popularitas tersisihkan dengan sendirinya.

Seperti yang diungkapkan Affan Gaffar, dalam teori perilaku pemilih ada pendekatan rasional. Masih banyaknya masyarakat yang pragmatis dengan memilih calon-calon yang memang memberikan mereka keuntungan secara materil daripada melihat kemampuan calon tersebut. Dengan begitu demokrasi mengarah kepada demokrasi liberal, karena mengikuti kehendak pasar.

Ketiga, sistem porposional terbuka yang diserentakan dengan pemilu presiden membuat perhatian masyarakat hanya tertuju kepada pemilihan presiden. Kita bisa belajar dari Pemilu 2019. Dengan menggunakan 5 surat suara yang amat rumit, membuat pemilihan legislatif menjadi sesuatu hal yang tidak menarik dan cenderung terabaikan begitu saja.

Hal itu pun terjadi di dunia maya. Penyebaran kampanye calon presiden di media sosial membentuk polarisasi. Pemilih hanya terfragmentasi pada Cebong atau Kampret. Seolah pemilu hanya tentang Jokowi dan Prabowo padahal ada calon legislatif yang juga harus kita perhatikan.

Keempat, sistem proporsional terbuka mendorong kanibalisme dalam kompetisi. Sesama kader partai politik saling sikut dan saling hantam. Dampaknya, terjadi kekisruhan di tubuh internal partai politik itu sendiri.

Tujuan diberlakukannya sistem proporsional terbuka adalah membangun instrument-instrumen pemilu menjadi lebih demokratis. Partai politik pun diharapkan lebih demokratis dengan menyusun daftar caleg yang disukai rakyat sebagai pemilih. Tapi, yang terjadi malah sebaliknya. Partai politik dikelola secara oligarki dan personalistik.

Dari semua penjelasan tersebut, perlu adanya evaluasi kembali keefektifan dari sistem pemilu proporsional terbuka. Di samping itu, partai politik memiliki andil yang besar dalam memberikan pendidikan politik terhadap kader dan masyarakatnya. Perlu adanya regulasi yang jelas di partai politik yang berkaitan dengan rekruitmen caleg dengan fit and proper test yang transparan dan terukur. Tujuannya, para caleg yang didelegasikan untuk maju adalah para caleg yang memang berkualitas. []

ALIEF BAYU PRAHASTA

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Brawijaya