August 8, 2024

Menggabungkan Lima Surat Suara Pemilu Serentak

Menata ulang desain surat suara menjadi salah satu isu krusial yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan Pemilu Serentak 2024 mendatang. Surat suara merupakan perangkat utama dalam pemilu yang berfungsi untuk menghubungkan pemilih dengan para wakilnya di partai politik.

The Electoral Knowledge Network atau ACE Project menjelaskan paling tidak terdapat dua dampak utama yang dihasilkan dari desain surat suara. Pertama, desain surat suara berdampak terhadap kemampuan serta kemudahan pemilih dalam memberikan suaranya kepada partai politik atau kandidat dengan cara yang benar atau sah. Kedua, desain surat suara berdampak terhadap akurasi dalam proses penghitungan suara. Untuk itu surat suara perlu di desain sebaik mungkin utamanya untuk memudahkan pemilih dalam memberikan suaranya.

Pertanyaannya, sejauh mana desain surat suara pemilu serentak di Indonesia mampu mempermudah pemilih dalam memberikan suaranya?

Faktor Mengubah Desain Surat Suara

Kemudahan pemilih dalam memberikan surat suara memang menjadi aspek utama yang perlu dipertimbangkan dalam mendesian surat suara. Namun, secara universal paling tidak terdapat dua faktor utama yang menyebabkan perlunya perubahan desain surat suara.

Pertama, perubahan desain sistem pemilu yang diterapkan suatu negara. Perubahan sistem pemilu proporsional daftar tertutup ke daftar terbuka misalnya berdampak pada perubahan desain surat suara. Sistem pemilu proporsional daftar tertutup hanya menyediakan logo/simbol partai politik dalam surat suara karena basis penentuan calon terpilih ditentukan oleh partai politik atau berdasarkan nomor urut. Sedangkan proporsional daftar terbuka dengan mekanisme penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak yang diperoleh calon, mengharuskan surat suara untuk mencantumkan nama kandidat untuk ditandai oleh pemilih.

Perubahan sistem proporsional tertutup ke terbuka pernah terjadi di Indonesia. Sebelumnya sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu 1999, Indonesia menerapkan sistem proporsional tertutup yang hanya mencantumkan logo partai politik dalam surat suara. Namun di Pemilu 2004 undang-undang pemilu yang ada mulai mengatur ketentuan pencantuman daftar nama calon anggota legislatif dan menjelang Pemilu 2009 keluar putusan Mahkamah Konstitusi yang memurnikan penerapan sistem proporsional terbuka yang mengharuskan basis penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak yang diperoleh calon.

Kedua, perubahan desain surat suara disebabkan oleh permasalahan yang ditimbulkan dari desain surat suara sebelumnya. Di Inggris misalnya, merujuk pada laporan penelitian yang dipublikasi oleh Komisi Pemilihan Umum Inggris tahun 2009 yang berjudul “Ballot Paper Usability Testing”. Desain surat suara sebelumnya tidak cukup memberikan informasi yang memadai mengenai tata cara pemilih memberikan suaranya yang berdampak pada kebingungannya pemilih dalam memberikan suara, serta banyak pemilih mengeluhkan desain surat suara yang terlalu panjang di pemilu lokal.

Begitu juga di Pemilu Presiden Amerika Serikat tahun 2000. Desain surat suara di negara bagian Florida menjadi sumber munculnya perselisihan hasil pemilu karena desain surat yang dianggap merugikan pemilih dan salah satu kandidat. Desain surat suara di negara bagian Florida berbentuk kupu-kupu yang kemudian dikenal dengan istilah butterfly ballot karena memiliki dua sisi yang berisikan nama-nama calon presiden dan wakil presiden. Untuk memberikan suara dalam surat suara tersebut, pemilih tanda pada kolom tengah yang memisahkan dua sisi surat suara tersebut.

Desain Surat Suara Pemilu Presiden Amerika Serikat 2000 di Negara Bagian Florida

Sumber: https://www.theguardian.com/us-news/2019/nov/19/bad-ballot-design-2020-democracy-america

Persoalan muncul ketika banyak pendukung dari calon presiden dan wakil presiden yang diusung Partai Demokrat, Al Gore dan Joe Lieberman salah memberikan suaranya. Dalam hal ini simpatisan Al Gore seharusnya memberikan tanda pada kolom lingkaran yang berdekatan dengan nama Al Gore dan terdapat angka 5 (lihat gambar) untuk memilih Al Gore. Akan tetapi sebagian besar pemilih Al Gore memberikan tanda pilihannya pada kolom lingkaran partai Reform untuk memilih Pat Buchanan. Hal ini disebabkan desain kolom lingkat untuk pemilih memberikan pilihannya saling berdekatan antara pasangan calon presiden dan wakil presiden setiap partai politik dan tidak adanya intruksi atau informasi mengenai metode pemberian suara di desain surat suara tersebut.

Bagaimana dengan Indonesia?

Merujuk pada dua faktor tersebut, perubahan desain surat suara di Indonesia nampaknya tidak bisa dihindari. Dari segi perubahan sistem pemilu misalnya, meskipun Indonesia tidak mengubah sistem pemilu legislatif dengan varian proporsional daftar terbuka namun pascakeluarnya putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2013, terjadi perubahan fundamental mengenai waktu penyelenggaraan pemilu presiden dan legislatif yang awalnya terpisah menjadi serentak. Dampaknya pada Pemilu 2019 lalu pemilih mendapatkan lima surat suara sekaligus untuk pemilu presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

Kelima surat suara tersebut memiliki desain dan metode pemberian suara yang berbeda-beda. Untuk pemilu presiden dan pemilu DPD surat suara berisikan foto kandidat, nomor urut kandidat, dan nama kandidat. Adapun metode pemberian suara dilakukan dengan mencoblos kotak yang berisikan informasi kandidat tersebut. Sedangkan surat suara untuk pemilu DPR dan DPRD memuat simbol partai politik, nomor urut partai politik, dan nama-nama calon anggota legislatif yang didaftarkan oleh partai dengan jumlah yang berbeda-beda sesuai dengan jumlah alokasi kursi per-daerah pemilihan. Adapun metode pemberian suara untuk pemilu DPR dan DPRD ini ialah pemilih dapat mencoblos logo partai atau nama-nama calon yang tertera.

Secara umum nampaknya desain surat suara yang ada sudah cukup memberikan informasi yang memadai kepada pemilih dalam memberikan suaranya. Namun, faktanya berdasarkan data yang dipublikasikan KPU pada saat penetapan hasil rekapitulasi perolehan suara nasional Pemilu 2019, tercatat surat suara tidak sah pemilu presiden hanya 2,37% atau 3.754.905 suara. Sedangkan suara tidak sah untuk pemilu DPR empat kali lipat dari surat suara tidak sah pemilu presiden yakni 17.503.953. Begitu juga dengan surat suara tidak sah di pemilu DPD yang mencapai 19,02% atau setara dengan 29.710.175. Tingginya surat suara tidak sah di pemilu legislatif juga terjadi di DPRD Provinsi. Sebagai contoh, surat suara tidak sah di DPRD Provinsi Jawa Barat adalah 15,4% dari total suara yang masuk.

Tingginya surat suara tidak sah di pemilu legislatif sangat boleh jadi disebabkan oleh sulitnya pemilih memberikan suara di lima surat suara dan sebagian besar fokus perhatian pemilih pada surat suara pemilu presiden saja. Survei Pusat Penelitian Politik LIPI di tahun 2019 menyebutkan 74% responden menyatakan pemilu serentak dengan mencoblos lima surat suara (presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota) menyulitkan pemilih. Selain itu survei ini juga menunjukan 96% responden setuju bahwa sebagian besar perhatian publik tertuju pada proses pemilu presiden dibandingkan dengan pemilu legislatif. Artinya sangat besar kemungkinan tingginya surat suara tidak sah di pemilu legislatif disebabkan oleh pemilih tidak mencoblos surat suara pemilu legislatif.

Selain menyulitkan pemilih, desain lima surat suara di Pemilu Serentak berdampak pada tingginya beban kerja penyelenggara pemilu khususnya petugas di TPS yang melakukan penghitungan suara manual dengan membuka surat suara satu per satu. Tidak sedikit anggota KPPS yang harus menyelesaikan proses penghitungan lima surat suara tersebut memakan waktu lebih dari 24 jam yang berujung pada banyaknya petugas KPPS yang sakit dan berujung pada kematian. Hasil kajian lintas displin yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada atas meninggal dan sakitnya petugas Pemilu 2019 menjelaskan, median beban kerja Petugas Pemilu berkisar antara 20-22 jam pada hari pelaksanaan Pemilu.

Menggabungkan Lima Surat Suara Pemilu

Berdasarkan banyaknya persoalan tersebut, menata ulang desain surat suara di pemilu serentak Indonesia tidak bisa dihindari. Menggabungkan surat suara pemilu presiden dengan pemilu legislatif adalah salah satu solusi yang dapat dilakukan untuk merespon permasalahan tersebut. Paling tidak terdapat dua kelebihan utama dari penggabungan lima surat suara menjadi satu surat suara.

Pertama, digabungkanya surat suara pemilu presiden dan legislatif dapat meminimalisir tingginya surat suara tidak sah di pemilu legislatif yang diakibatkan sebagaian besar fokus perhatian pemilih hanya untuk memberikan surat suara di pemilu presiden. Hal ini karena dengan membuka satu surat suara pemilih dapat melihat langsung partai politik dan daftar calon di pemilu DPR, DPD, dan DPRD.

Kedua, penggabungan surat suara pemilu presiden dan pemilu legislatif dapat menyederhanakan administrasi pemilu, utamanya meringankan beban kerja penyelenggara pemilu dalam melakukan proses penghitungan surat suara manual di TPS. Sebelumnya proses penghitungan surat suara dilakukan secara satu per satu dari lima surat suara yang ada dan memakan waktu yang cukup lama. Namun, dengan penggabungan surat suara pemilu legislatif dan pemilu presiden dapat mempercepat proses penghitungan karena dengan membuka satu surat suara dapat menghitung perolehan suara untuk lima pemilu sekaligus yakni pemilu Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. []

HEROIK M PRATAMA

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)