November 15, 2024

Mengoptimalkan Informasi “Koruptor Nyaleg” dalam Pemilu 2024

Seiring berjalannya tahapan Pemilu 2024, masyarakat kembali ramai membicarakan isu “koruptor nyaleg” sebagai anggota DPR, DPD, dan DPRD. Sebelumnya, pada Pemilu 2019, isu ini ramai setelah Komisi Pemilihan Umum mengeluarkan Peraturan KPU 20/2018 yang melarang mantan terpidana koruptor mencalonkan di pemilu. Kini, melalui PKPU 3/2022, KPU tidak melarang mantan terpidana koruptor untuk menjadi peserta Pemilu 2024.

Pada Pemilu 2019, KPU melalui PKPU 20/2018 secara eksplisit mengatur bahwa mantan terpidana korupsi tidak dikehendaki untuk mengajukan diri sebagai bakal calon anggota DPR, DPD, maupun DPRD. Namun, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan uji materil pengaturan tersebut yang diajukan oleh beberapa pihak yakni para mantan koruptor yang hendak mengajukan diri sebagai calon anggota dewan. Melalui Putusan Nomor 46 P/HUM/2018, MA menyatakan bahwa ketentuan larangan koruptor menjadi caleg dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang secara hierarki lebih tinggi dari PKPU.

PKPU 3/2022 merujuk Putusan MA dan Pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-Undang 7/2017. Undang-undang tentang pemilihan umum ini mempunyai ketentuan bahwa Warga Negara Indonesia yang pernah dipidana dijatuhi akibat melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih tetap berhak mengajukan diri sebagai bakal calon anggota DPR, DPD, maupun DPRD Provinsi serta Kabupaten/Kota. Ketentuan ini mempunyai catatan, WNI tersebut secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.

Eksistensi pengaturan tersebut dianggap sebagai wujud supremasi hak asasi manusia (HAM). Berdasar aturan ini, negara menjamin hak untuk berpolitik serta hak untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam hukum dan pemerintahan bagi setiap warga negara sebagaimana yang dikehendaki oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Namun tidak dapat dimungkiri, secara praktik pengaturan tersebut belum sepenuhnya terlaksana secara optimal. Hal tersebut disebabkan oleh pengaturan yang kurang spesifik.

KPU sebaiknya lebih merinci secara konkret pemaknaan Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017. Dalam bagian penjelasannya pun, pasal tersebut tidak menerangkan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan penyebarluasan informasi. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan yang mengatur secara spesifik perihal tata cara atau mekanisme penyeberluasan informasi tersebut ke pada khalayak umum yang lebih luas dan efektif.

Mengevaluasi Pemilu 2019, penyebarluasan informasi mantan koruptor yang menjadi caleg hanya dilakukan oleh KPU. Saat itu lembaga penyelenggara pemilu ini mengumumkan ada 49 mantan terpidana korupsi yang mencalonkan dalam Pemilu 2019. Pengumuman ini tindaklanjut dari 49 orang tersebut yang menyebarkan status hukumnya sebagai kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan.

Penulis setuju dengan aktivis pemilu, Titi Anggraini. Ia mengusulkan agar KPU melakukan penyebarluasan informasi tentang mantan terpidana korupsi di berbagai Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Penulis memiliki pandangan yang berbeda dengan Hasyim Asy’ari yang kala itu merupakan anggota KPU. Menurutnya, penyebarluasan informasi mantan terpidana korupsi di berbagai TPS dikhawatirkan akan menjadi alat kampanye.

Menurut hemat penulis penyebarluasan informasi tersebut di berbagai TPS justru merupakan langkah atau upaya yang dianggap lebih efektif dan masif. Dalam hal ini tidak dapat dimungkiri bahwa terdapat beberapa individu dan/atau kelompok di beberapa daerah yang masih mengalami keterbatasan dalam menjangkau informasi “koruptor nyaleg”, akan memperoleh akses informasi yang jauh lebih mudah. Di samping pentingnya supremasi hak berpolitik dan turut serta dalam pemerintah bagi setiap warga negara perlu dipastikan bahwa kepentingan umum juga merupakan hal yang begitu penting. Hal tersebut selaras dengan kehendak tujuan bangsa sebagaimana yang termaktub dalam Alinea Keempat pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yakni melindungi seluruh bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Kemudian, mengingat bahwa tindak pidana korupsi merupakan suatu kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime), maka diperlukan pula berbagai upaya yang luar biasa. Upaya tersebut juga dianggap sebagai bukti bahwa begitu penting untuk dilakukan, karena menyangkut kepentingan umum yakni dalam rangka memastikan terpilihnya para pemangku kebijakan (stakeholders) yang kompeten, berintegritas, serta bersih dari KKN. Sehingga dapat dipastikan bahwa penyebarluasan informasi tersebut pada berbagai TPS dianggap telah selaras dengan kehendak pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017.

KPU pun bisa lebih mengoptimalkan penyebarluasan informasi “koruptor nyaleg” melalui ragam saluran media dan berbagai pemangku kepentingan. KPU bisa menggunakan ragam media sosial yang dimilikinya untuk kembali membuat informasi ini lebih menarik dan masif. KPU bisa terus memfasilitasi para komunitas jurnalis pemilu dengan media massanya untuk lebih memberitakan nama-nama “koruptor nyaleg”. Di samping itu, KPU bisa melibatkan masyarakat sipil, baik yang sudah terorganisir maupun calon pemilih yang lebih luas melalui segmen partisipasi masyarakatnya.

Berdasarkan berbagai penjelasan di atas dapat dipastikan kembali bahwa dalam rangka memastikan pelaksanaan hukum yang optimal pada tataran praktik perihal penyebarluasan informasi mantan terpidana korupsi yang mengajukan diri sebagai bakal calon anggota DPR, DPD, dan DPRD diperlukan pengaturan yang mengatur spesifik perihal tata cara atau mekanisme penyebarluasannya. Hal ini begitu penting guna mewujudkan kepastian hukum yang sejalan dengan pencegahan korupsi.  []

RAHMAT BIJAK SETIAWAN SAPII 

Alumni Fakultas Hukum UPN Veteran Jakarta