Kualitas pemilu mencerminkan karakter demokrasi dari suatu negara dan dapat menjadi indikator penting akan pemerintahan yang dihasilkan. Pemantauan pemilu non-partisan oleh organisasi masyarakat memegang peran penting untuk menilai apakah pemilu sudah mencerminkan prinsip demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pemantauan pemilu memungkinkan warga negara di seluruh dunia untuk tidak hanya menjaga integritas pemilu yang sedang berlangsung, tapi juga memperkuat dan memperluas upaya mendorong tata pemerintahan demokratis, transparan, dan dapat dipertanggunjawabkan.
Jejak pertama pemantauan pemilu yang dicatat dalam sejarah modern diyakini terjadi pada tahun 1857. Ketika itu, sebuah komisi Eropa dari perwakilan Austria, Inggris, Perancis, Prusia, Rusia, dan Turki mengamati pemilihan umum di wilayah yang disengketakan di Moldavia dan Wallachia.
Pemantauan di masa promosi demokrasi pasca-Perang Dunia II
Organisasi-organisasi internasional dan perwakilan pemerintah mulai marak memantau pemilu sejak Perang Dunia Pertama dan menjadi lebih umum pada periode setelah Perang Dunia II. Masa Pasca-Perang Dunia II adalah masa promosi demokrasi. Di masa ini, pada tahun 1948, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dibentuk dan mempromosikan prinsip-prinsip demokrasi sebagai fondasi sistem baru yang berlaku. Deklarasi itu menyebut, “Kehendak rakyat harus menjadi dasar dari pemerintahan. Kehendak ini dinyatakan dalam pemilihan umum berkala yang bebas, rahasia, dan universal.”
Delapan belas tahun kemudian, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mulai mengkodifikasi aspirasi pemilu yang demokratis dalam perjanjian international yang mengikat dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Dokumen itu menyebut, “Every citizen shall have the right and the opportunity, without any of the distinctions mentioned in article 2 [that is, race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status] and without unreasonable restrictions: … To vote and to be elected at genuine periodic elections which shall be by universal and equal suffrage and shall be held by secret ballot, guaranteeing the free expression of the will of the electors….”
Pada tahun 1950-1960an Prinsip-prinsip pemilu demokratis dalam ICCPR mulai muncul ke permukaan. Misi pemantauan yang digagas PBB untuk mengawasi jalannya referendum kemerdekaan negara di bawah teritori PBB mulai marak. PBB biasanya mengirimkan misinya ke negara yang pertama, menyelenggarakan pemilu sebagai upaya menyelesaikan konflik; kedua, pemilu pertama untuk membentuk pemerintahan perwakilan yang sah pascaperang; ketiga, pemilu pertama setelah kemerdekaan.
Salah satu yang bisa disorot adalah UN Temporary Commission on Korea (1948) dan UN in Togo (1956 dan 1958). Laporan pemantauan misi ini menandai penggunaan terminology “bebas dan adil” untuk melegitimasi integritas pemilu.
Masa mencairnya ketegangan pasca-Perang Dingin
Peluang baru keterlibatan pemantau internasional muncul di Eropa Timur dan Amerika Latin. Motivasi yang menonjol untuk memantau pemilu bergeser dari mendukung penentuan nasib sendiri ke memajukan nilai-nilai demokrasi di negara yang rezim otoriternya runtuh.
Di masa ini, donor asing melimpah untuk pembentukan panduan dan standar pemilu de okratis sebagai buku pegangan bagi pemantau di tahun 1984. Inisiatif ini mulai dilakukan mengingat instrumen deklarasi hak asasi manusia internasional tidak jelas mengulas tentang apa yang dimaksud dengan pemilu yang “bebas,” “genuine,” dan “berkala.” Ini telah menyebabkan sebagian laporan pemantauan yang tidak konsisten.
Pedoman ini membahas masalah-masalah seperti kriteria untuk memutuskan di mana harus dilakukan pemantauan, lama misi, pelaporan (termasuk daftar periksa sampel), dan standar minimum pemilu yang “bebas dan adil”.
Selain itu, tonggak pemantauan pemilu di masa ini bisa dilihat dari dibentuknya National Endowment for Democracy oleh Kongres Amerika Serikat di tahun 1983. Ada empat lembaga yang menerima dana untuk program pemantauan pemilu internasional. Dua di antaranya adalah National Democratic Institute (NDI) dan International Republican Institute (IRI).
Di PBB, misi pemantauan terus dilakukan dan masuk dalam fase baru. Pemantauan dilakukan bukan hanya di negara-negara pascaperang atau yang perdamaiannya terancam tapi lebih kepada konsolidasi demokrasi. Tumbuhnya minat demokrasi ini menginspirasi dibentuknya UN Electoral Assistance Division (UNEAD).
Di Eropa, The Conference for Security and Cooperation (CSCE) sebagai pendahulu Organization for Security and Cooperation in Europe (OSCE) mulai menurunkan pemantau pemilu internasional.
Tidak hanya misi pemantau internasional, pemantau lokal juga berkembang di masa ini. Salah satu yang jadi sejarah adalah National Citizens’ Movement for Free Elections (NAMFREL) di Filipina pada tahun 1980an. Tujuan gerakan ini adalah meningkatkan kesadaran manipulasi oleh rezim militer represif Ferdinand Marcos. NAMFREL menerjunkan 500.000 sukarelawan untuk pemilihan presiden pada tahun 1986. Gerakan ini membantu menghilangkan skeptisisme terhadap pentingnya warga negara dalam mengamati pemilu. Ini membuka praktik pemantauan lokal yang sejajar dengan pengamatan internasional. Hasil pemantauan NAMFREL dengan metodologi parallel voting tabulation atas kecurangan dari pihak pemerintah Marcos berkontribusi signifikan terhadap penggulingan rezim.
Pada 15 Februari, Comelec, penyelenggara pemilu Filipina mengumumkan Ferdinand Marcos memenangkan pemilihan presiden dengan meraih 10.807.197 atau 53.62 persen suara, sedangkan pesaingnya, Corazon Aquino, meraih 9.291.761 atau 46.10 persen suara. Sebaliknya, menurut penghitungan NAMFREL, Aquino lah yang menang dengan 7.835.070 suara. Sedangkan Marcos hanya meraih 7.053.068 suara.
Dua juta orang yang juga sudah muak dengan korupsi rezim Marcos, tumpah ruang di Epfanio de los Santos Avenue (EDSA), di Quezon City, Metopolitan Manila. Peristiwa yang kemudian dikenal sebagai “EDSA People Power” ini berhasil menumbangkan Marcos. Aquino pun dilantik sebagai presiden.
Masa 1990-an
Pemantauan pemilu terus menyebar karena aktor-aktor eksternal meningkatkan persyaratan negara demokrasi. Munculnya stigma-stigma ketika tidak mengundang pemantau telah memotivasi pemerintah yang bahkan masih melakukan kecurangan sekalipun untuk mengundang pemantau untuk menghindari pemberian cap pemilunya tidak legitimate. Karena semakin banyak negara yang terbuka untuk observasi, kelompok pengamat dengan keahlian yang semakin meningkat juga menunjukkan kemauan yang lebih besar untuk mengeluarkan laporan yang lebih kritis.
Selain meningkat, muncul juga tantangan seperti kualitas pengamatan dan kelompok yang banyak ini berbeda-beda dan kadang mencapai kesimpulan yang bertentangan. Keragaman metodologi ini kadang menghasilkan perselisihan.
Standar bebas dan adil kadang kabur menyesuaikan dengan konteks politik di negara masing-masing. beberapa kelompok menerapkan standar yang lebih rendah di tempat-tempat dengan catatan buruk tentang demokrasi atau tingkat perkembangan politik yang lebih rendah.
Pada masa ini muncul istilah “electoral tourism” yang hanya melihat pemungutan suara dengan dorongan rasa ingin tahu saja dan menihilkan ketelitian metodologis
Masa 2000-an
Pada Pemilu Zimbabwe tahun 2000 dan 2002, Pemerintah Presiden Robert Mugabe berusaha untuk memilih kelompok dan kategori pengamat yang dianggapnya akan mencapai kesimpulan yang menguntungkan, membatasi ukuran misi, menolak akreditasi untuk beberapa kelompok, dan mencegah pengamat memantau kegiatan kritis sebelum pemilihan.
Setelah pengalaman di Zimbabwe, kelompok pemantau terkemuka mengakui perlunya memberikan kejelasan tentang tujuan dan metode mereka. Forum-forum untuk membangun konsensus di bidang pemantauan pemilu dilakukan di tahun 2000an diinisasii oleh The Carter Center, NDI, dan UNEAD. Di tahun 2003, The Carter Center menjadi tuan rumah 15 organisasi antar pemerintah dan non-pemerintah untuk berbagi pengalaman kolektif dengan tujuan menentukan parameter dan format Deklarasi Prinsip dan Kode Etik Pemantauan.
Di tahun 2005, 22 organisasi mendukung deklarasi Declaration of Principles on International Election Observation and Code of Conduct of International Election Observers, dalam sesi formal PBB di New York. Dokumen ini tidak mengikat secara hukum, tatapi berfungsi sebagai seperangkat praktik terbaik yang tetap fleksibel dan memungkinkan tetap terus bertumbuh dan berkembang.
Tahun 2012, dokumen ini diperbaharui dari yang semula mengatur pemantauan pemilu (dengan terma observation) bagi pemantau pemilu internasional menjadi pemantauan pemilu (dengan terma observation dan monitoring) bagi organisasi masyarakat nonpartisan. Dokumen ini dinamai Declaration of Global Principles for Non-Partisan Election Observation and Monitoring by Citizen Organizations (DOGP) dan Code of Conduct for Non-Partisan Citizen Election Observers and Monitors.
Deklarasi ini didukung oleh 160 lembaga pemantau pemilu nonpartisan di lebih dari 75 negara. Dari Asia, Asian Network for Free Elections (ANFREL) yang terdiri atas 21 lembaga pemantau pemilu nonpartisan di Asia menjadi perwakilan. Sedangkan perwakilan Indonesia adalah Community for ACEH Resources Development (e-CARD), Forum Himpunan Kelompok Kerja 30 (Pokja 30), dan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).
Dokumen ini menjadi tonggak yang sangat penting bagi peletakan definisi pemantauan pemilu yang lebih jernih dengan penggunaan terminologi pemantauan pemilu nonpartisan oleh organisasi masyarakat. Hal ini didefinisikan sebagai mobilisasi warga negara dengan cara yang netral, tidak memihak, dan tidak diskriminatif secara politik untuk menggunakan hak mereka berpartisipasi dalam urusan publik dengan cara menyaksikan dan melaporkan perkembangan pemilu melalui evaluasi yang independen, sistematis, dan menyeluruh terhadap kerangka hukum, lembaga, dan proses pemilu; analisis temuan-temuan secara tidak memihak, akurat, dan tepat waktu; penjelasan temuan tersebut dengan tetap menjunjung code of conduct ketidakberpihakan dan keakuratan; serta pemberian rekomendasi yang tepat dalam rangka mewujudkan pemilu yang demokratis.
MAHARDDHIKA
Peneliti pada Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi dan Pengelola RumahPemilu.org