April 20, 2024
iden

Menuju Penguatan Sistem Presidensial OLEH WAWAN SOBARI

Undang-Undang Pemilu yang telah disetujui DPR pada 21 Juli lalu menyisakan ambivalensi arah penataan sistem pemerintahan dan sistem kepartaian. Di satu sisi, keputusan ambang batas pencalonan presiden 20-25 persen berupaya memperkuat sistem presidensial. Di sisi lain, ambang batas perolehan suara/kursi partai politik sebesar 4 persen mendorong sistem multipartai.

Studi Scott Mainwaring (1993) di 31 negara mendukung asumsi tersebut. Pertama, sistem presidensial multipartai lebih berpotensi menimbulkan kebuntuan eksekutif-legislatif daripada sistem parlementer atau presidensial dua partai (bipartisme).

Kedua, sistem multipartai tidak sejalan dengan sistem presidensial karena menimbulkan polarisasi ideologi yang terlalu banyak.

Ketiga, kombinasi sistem presidensial dan sistem multipartai menimbulkan kesulitan-kesulitan membangun koalisi antarpartai dalam demokrasi presidensial. Ketimbang sistem parlementer, koalisi sistem multipartai dalam sistem presidensial lebih tidak stabil.

Irelevansi

Asumsi ambivalensi tersebut cukup meyakinkan, tetapi sudah terbantahkan. Amerika Serikat yang menganut bipartisme pernah mengalami kebuntuan eksekutif-legislatif hingga mengakibatkan penutupan pemerintahan (government shutdown) terlama pada masa kepemimpinan Obama. Bukan hanya sekali, situasi itu pernah terjadi pada era pemerintahan Ford, Carter, Reagan, dan Clinton. Ancaman penutupan pemerintahan bahkan muncul menjelang 100 hari pemerintahan Donald Trump.

Sanggahan serupa ditunjukkan pula melalui praktik pemerintahan di Tanah Air. Sistem presidensial yang dipraktikan sejak 2004 secara faktual bisa bersanding dengan sistem multipartai yang dijalankan sejak 1999. Kedua sistem sudah dijalankan bersamaan dan melalui berbagai dinamika politik.

Selain itu, implementasi sistem multipartai di Indonesia sejak 1999 tidak berkonsekuensi pada tajamnya polarisasi ideologi politik antarpartai. Pasalnya, Indonesia secara formal menetapkan Pancasila sebagai asas tunggal yang mampu mereduksi keragaman ideologi politik. Maka, perkembangan sistem multipartai sebenarnya lebih didorong, salah satunya, oleh kemampuan parpol membangun segmentasi pemilih berdasarkan perbedaan identitas sosial dan ekonomi.

Juga, sistem multipartai di Indonesia tidak mengarah pada kebuntuan eksekutif-legislatif. Terdapat sejumlah mekanisme politik yang ditempuh koalisi pemerintah untuk menghindari situasi itu. Misalnya, melalui pembentukan sekretariat gabungan (setgab) partai koalisi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 7 Mei 2010. Setgab dibentuk sebagai wadah konsultasi kebijakan pemerintah. Sementara itu, pengesahan UU Pemilu 21 Juli lalu pun pada akhirnya diputuskan melalui mekanisme voting untuk mengatasi kebuntuan.

Dalam kacamata publik, sistem presidensial tampaknya berdiri sendiri atau tidak terkait sistem multipartai. Asumsi itu terlihat dari ketimpangan tingkat kepercayaan publik terhadap eksekutif, legislatif, dan parpol. Hasil survei Indo Barometer (Maret 2017) menemukan kepercayaan terhadap lembaga kepresidenan (90,3 persen) hampir tiga kali lipat lebih baik daripada DPR (31,5) dan parpol (35,3).

Sebelumnya, survei Poltracking Indonesia (Oktober 2015) menemukan ketimpangan serupa. Kepercayaan terhadap presiden (62 persen) jauh lebih tinggi daripada DPR (29,16 persen) dan parpol (27,79 persen). Tren kesenjangan yang meningkat itu memperlihatkan: publik tidak mempersoalkan pilihan tatanan hubungan kelembagaan antara presiden dan parpol.

Intinya, publik menilai kinerja ketiga lembaga itu secara terpisah. Selain itu, tanpa argumen penguatan pun publik menilai sistem presidensial sudah berjalan baik. Walhasil, sejumlah fakta yang inkonsisten itu menegasi argumen penetapan ambang batas (20-25 persen) demi memperkuat sistem presidensial.

Akuntabilitas sistem presidensial

Koalisi enam parpol pendukung ambang batas pencalonan presiden menguasai mayoritas kursi di parlemen (60,1 persen) atau 61,25 persen suara hasil Pemilu 2014. Apabila koalisi ini solid hingga penyelenggaraan Pemilu 2019, kemungkinan terbentuknya persaingan bipartisme multipartai (dengan dua kontestan) cukup besar. Apalagi pertemuan dua ketua umum parpol, Susilo Bambang Yudhoyono (Partai Demokrat) dan Prabowo (Partai Gerindra), di Cikeas pada 27 Juli lalu memunculkan arah kerja sama antarparpol nonpemerintah. Dengan kata lain, tanpa penentuan ambang batas presidensial pun sebenarnya parpol secara alami akan berkoalisi.

Berdasarkan fakta tersebut bisa dijelaskan: perilaku elite sejatinya lebih menentukan stabilitas sistem presidensial daripada kebijakan ambang batas. Karena itu, argumen penguatan sistem presidensial dalam pengaturan ambang batas menjadi kurang relevan. Lebih tepat jika mengedepankan pendekatan akuntabilitas sistem presidensial.

Akuntabilitas sistem presidensial dalam situasi multipartai lebih tepatnya merupakan bentuk pembagian kekuasaan antarpendukung koalisi dan secara efektif menjalankan pemerintahan (governability). Lebih dari sekadar berbagi jabatan publik, akuntabilitas sistem presidensial merupakan bentuk tanggung jawab pemimpin terpilih terhadap rakyatnya. Untuk mengukurnya bisa diketahui dari perbaikan fundamen akuntabilitas elektoral pemerintahan presidensial sebelumnya.

Akuntabilitas semestinya diukur secara tepat berlandaskan target, prioritas, dan program kepemimpinan saat kampanye. Seberapa mampu presiden terpilih beserta kabinetnya merealisasikan janji kampanye, sekaligus menjawab tantangan perubahan selama kepemimpinan berlangsung. Misalnya, perbaikan capaian indeks pembangunan manusia (IPM) dibandingkan periode pemerintahan presidensial sebelumnya.

Selain efektivitas kekuasaan, mengukur akuntabilitas bisa dilakukan melalui perbaikan etika politik koalisi presidensial. Hubungan antara presiden dan parpol koalisi mesti dilandasi tata perilaku politik yang dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Pemerintah berupaya menghindari manuver politik atau membuat kebijakan yang dapat mencederai rasa keadilan publik.

Berikutnya, transparansi kekuasaan penting untuk membangun akuntabilitas. Pemerintah secara aktif memberikan penjelasan atau justifikasi atas berbagai kebijakan dan programnya. Selain itu, publik diberi keleluasaan untuk mengakses berbagai informasi yang relevan dengan performa pemerintahan. Berdasarkan dua hal tersebut, warga akan memiliki kapasitas menilai dampak kinerja pemerintah terpilih.

Ke depan, akan lebih tepat jika Indonesia mampu mendorong regulasi ambang batas yang mampu memperbaiki akuntabilitas demokratik pemerintahan terpilih.

WAWAN SOBARI

Dosen Program Studi Ilmu Politik FISIP Universitas Brawijaya

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 Agustus 2017, di halaman 6 dengan judul “Menuju Penguatan Sistem Presidensial”.

http://print.kompas.com/baca/opini/artikel/2017/08/14/Menuju-Penguatan-Sistem-Presidensial