November 15, 2024

Menyegerakan Putusan, Menjamin Kepastian Hukum

Demi kepastian hukum, putusan MK dinanti sebelum tahapan verifikasi partai peserta pemilu serta pencalonan presiden dimulai.

Mahkamah Konstitusi (MK) kini tengah memproses setidaknya tiga belas gugatan uji materi Undang-undang Pemilu. MK memulai proses itu dengan meregistrasi perkara. Perkara pertama yang diregistrasi MK adalah perkara 44/PUU-XV/2017. Perkara yang dimohonkan oleh Habiburokhman itu diregistrasi pada 27 Juli 2017. Lima perkara menyusul diregistrasi pada bulan Agustus dan tujuh perkara diregistrasi pada bulan September.

MK memulai sidang gugatan perkara pada 15 Agustus 2017 lalu. Hingga saat ini, MK telah menggelar rata-rata lima kali persidangan terhadap permohonan-permohonan tersebut. Sidang-sidang itu digelar dengan agenda pemeriksaan pendahuluan; perbaikan permohonan; mendengarkan keterangan presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR); serta mendengarkan pihak terkait dan saksi/ahli pemohon.

Berdasarkan pasal yang diuji, tiga belas gugatan itu dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok: kekhususan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, ambang batas syarat pencalonan presiden, serta verifikasi faktual partai peserta pemilu.

Percepat

Fadli Ramadhanil, peneliti pada Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), menilai ada konteks kerugian konstitusional yang terikat waktu pada permohonan soal ambang batas syarat pencalonan presiden dan verifikasi faktual partai peserta pemilu. Pemohon mengajukan gugatan agar bisa diperlakukan setara pada Pemilu 2019. Oleh karena itu, penting bagi MK mempercepat putusan sebelum KPU melaksanakan tahapan verifikasi faktual partai peserta pemilu dan pendaftaran calon presiden.

“Pemohon mengajukan untuk konteks pemilu 2019. MK mesti melakukan percepatan terhadap seluruh permohonan ini,” kata Fadli Ramadhanil (1/10).

Mariyam Fatimah, kuasa hukum Partai Islam Damai Aman (Idaman) yang menjadi pemohon atas perkara 53/PUU-XV/2017, telah mengingatkan hakim MK soal terbatasnya waktu saat pertama kali bersidang di MK. Ia bahkan mendesak MK untuk memutus perkara sebelum tanggal 3 Oktober 2017. Karena di waktu itu, pendaftaran partai dan penyerahan syarat pendaftaran serta penerimaan kelengkapan dokumen persyaratan telah dimulai.

“Mahkamah Konstitusi hanya memiliki waktu 42 hari kalender atau 32 hari kerja untuk melakukan persidangan dan pembacaan putusan ketika KPU menetapkan tahapan pendaftaran partai politik sudah dimulai pada tanggal 3 Oktober 2017,” kata Mariyam Fatimah, saat sidang pemeriksaan pendahuluan perkara 53/PUU-XV/2017, di ruang sidang MK, Jakarta (24/8).

Jika selama 32 hari kerja tersebut tidak ada pembacaan putusan sidang MK, diskriminasi yang nyata terjadi terhadap partai baru. Partai yang baru berbadan hukum diwajibkan untuk ikut verifikasi untuk menjadi peserta Pemilu 2019, sedangkan partai peserta Pemilu 2014 tidak diwajibkan untuk ikut verifikasi.

Meski telah lewat dari waktu yang dimohonkan Partai Idaman, MK dinilai masih punya waktu hingga tahapan verifikasi faktual partai peserta pemilu yang akan dimulai pada 15 Desember 2017. MK didesak untuk memutus perkara yang menggugat soal verifikasi faktual ini sebelum 15 Desember 2017. Sementara untuk perkara soal ambang batas pencalonan presiden, MK masih punya waktu lapang sebelum tahapan itu berjalan di bulan September 2018 nanti.

Meski terhitung lebih lapang, pengucapan putusan soal ambang batas pencalonan presiden ini tak berarti boleh ditunda-tunda. Putusan ini dinanti dan diperlukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menyiapkan regulasi teknis pencalonan presiden dalam peraturan mereka.

Diskresi hakim

Berdasarkan penelitian Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, dalam kiprah 13 tahun MK, rata-rata waktu yang digunakan untuk memutus pengujian undang-undang mulai dari proses registrasi hingga pembacaan putusan adalah 6,5 bulan. Dari tahun ke tahun, waktu pengujian bertambah lama. Dua tahun terakhir, MK menyelesaikan pengujian dalam 7,7 bulan pada 2015 dan 10,5 bulan pada 2016.

Lamanya proses pengujian undang-undang berkaitan dengan hukum acara. Undang-undang maupun peraturan MK tidak mengatur detail durasi proses pengujian undang-undang. Tidak ada batasan waktu antara sidang pemeriksaan terakhir dengan pembacaan putusan.

“Proses sidang pemeriksaan biasanya berjalan cepat. Setelah sidang beres, proses dilanjutkan ke rapat permusyawaratan hakim. Setelah itu baru pembacaan putusan. Ini yang seringkali lama. Ada yang selesai hanya dalam hitungan hari, ada juga yang lebih dari dua tahun. Tidak ada kepastian,” kata Veri Junaidi, Ketua KoDe Inisiatif (1/10).

Karena tidak aturan mengikat, tidak ada jalan lain mendesak proses ini dipercepat selain meminta kebijaksanaan hakim. Uji materi ini penting untuk diputuskan sebelum tahapan Pemilu 2019—khususnya verifikasi partai dan pendaftaran calon presiden—dimulai.

Feri Amsari, pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, menilai percepatan proses gugatan UU Pemilu ini akan membuat nyaman peserta, penyelenggara, dan pemilih dalam melaksanakan Pemilu 2019. Jika MK tak berhasil memutus gugatan sebelum tahapan, perdebatan baru diprediksi akan muncul.

“Jika setelah proses (tahapan pemilu) berjalan, baru dikeluarkan putusan, itu bisa saja menimbulkan perdebatan baru. Bagaimana dengan proses yang sudah dijalankan apakah sah atau tidak? Agar tidak menimbulkan perdebatan baru ketatanegaraan, MK harus lebih bijak dengan segera memutuskan perkara ini sehingga berbagai pihak bisa mempersiapkan diri,” tandas Feri.