Saat demokrasi bermakna asli “dari, oleh, dan untuk rakyat†makin baik diterapkan melalui prosedur pemilu langsung, ternyata ada pihak yang tak setuju jika itu diterapkan di konteks pilkada. Pihak ini ingin pemilihan umum kepala daerah provinsi dan kabupaten/kota dilakukan secara tak langsung. Dengan kata lain, pejabat eksekutif yang menentukan hajat hidup orang banyak di daerahnya, keterpilihannya ditentukan elite, bukan rakyatnya.
Jangan-jangan itu sikap bersebab, kembali mendikotomikan kebebasan diri memilih dengan kesejahteraan. Anggapan, “hak berpolitik warga†dengan “perut kenyang†ibarat minyak dan air. Membenarkan, demokrasi ideal tak cocok diterapkan bagi warga lapar. Mari kita bahas dan kritik habis dengan singkat argumentasi penolakan pilkada langsung yang amnesia pada sejarah kelam Orde Baru yang katanya “kenyang†tapi otak terkubur dan mulut membisu.
Alasan “tak langsung†dan bantahan
Djohermansyah Djohan dalam kesempatan bicara di media, seminar, bahkan ruang kuliah, menuliskan sejumlah alasan kenapa harus memilih pilkada tak langsung. Menariknya, profesor bidang ilmu pemerintahan ini pun merupakan orang dahulu terdepan dalam mengupayakan pilkada langsung. Tulisan ini ingin membantah argumen pilkada tak langsung Djo, begitu dosen pascasarjana ilmu politik universitas Indonesia ini disapa, dengan argumen pilkada langsung Djo di buku “Pilkada Langsung: Pemikiran dan Peraturan (PLPP)†(IIP Press; Jakarta Selatan: 2005). Jadi, alasan Djo vs bantahan Djo.
Pertama, Djo berpendapat, pilkada tak langsung akan mengurangi politik uang. Di halaman 34 buku PLPP Djo justru menjelaskan, pilkada lansung berpotensi mengurangi politik uang. Ini berlaku dalam pemilihan dan penyampaian LPJ kepala daerah. Selain melindungi kepala daerah dari jebakan perilaku kolutif dengan legislatif, pilkada langsung akan menaikan citra legislatif.
Kedua, menurut Djo, pilkada langsung merupakan pemborosan. Padahal, Djo di halaman 36 PLPP menjelaskan, urgensi pilkada langsung adalah pengupayaan pemilihan yang sifatnya praktis dan sederhana. Dibandingkan memilih partai atau caleg, pilkada langsung dengan memilih pasangan jauh lebih praktis dan sederhana. Ini tak lebih mahal dan rumit dibandingkan pemilu legislatif.
Selain itu, pada gilirannya, pilkada langsung akan menghasilkan pemerintah daerah lebih efektif dan efisien. Legitimasi eksekutif menjadi kuat, tak gampang digoyang legislatif. Malah, pilkada tak langsung membuat anggaran daerah membengkak, karena eksekutif berhutang budi terhadap legislatif yang memilihnya sehingga kebijakan serta anggarannya tak diperuntukan rakyat sehingga boros karena tak berdampak bagi publik.
Pemilu tak langsung, korupsi, dan kemiskinan
Setelah 15 tahun pasca-Reformasi, kita bertanggungjawab untuk tak melupakan agenda Reformasi. Di antaranya adalah berantas KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), otonomi daerah, dan demokratisasi. Melawan lupa Reformasi berarti, kesejahteraan yang senjang pusat-daerah harus dikurangi dengan penguatan pemerintahan daerah yang secara transparan-akuntabel berdasar kedaulatan rakyat.
Pilkada langsung akan memberikan kesempatan lebih besar pada setiap orang berpartisipasi secara terbuka dan bertanggunggungjawab untuk mengurangi diskresi dari ketunggalan poros kuasa. Atas dasar membagi kuasa melalui partisipasilah demokrasi diciptakan. Keterlibatan warga dari proses panjang demokratisasi menyertai segenap tahapan pemilu merupakan kesabaran tumbuhnya demokrasi yang bernilai tinggi.
Karena inti demokrasi adalah partisipasi, menjalankannya harus lebih sabar dibandingkan otokrasi atau aristokrasi. Pada konteks panjangnya demokratisasi, kedaulatan rakyat memang belum tentu langsung mendatangkan kesejahteraan. Tapi yang pasti, kesejahteraan rakyat hanya bisa didapat dari rakyat yang berdaulat.
Karena berdampak tak sejahtera, kecenderungan dan potensi korupsi dari pemilu/pilkada tak langsung diubah menjadi pemilu/pilkada langsung. Profesor Ekonomi asal Amerika Serikat Robert Klitgaard merumuskan korupsi sebagai akumulasi diskresi (kewenangan) dan monopoli (ketunggalan kuasa) sekaligus tanpa akuntabilitas (pertanggungjawaban). Diformulakan dengan C=D+M-A. Formula ini kemudian dikembangkan menjadi C=D+M-A-T. Korupsi terjadi jika akumulasi diskresi dan monopoli tak menyertai akuntabilitas dan transparansi (keterbukaan). Sebuah kepastian, korupsi adalah bertumpuknya kuasa pada satu poros (Monopoli) seiring menguatkannya Diskresi tanpa Transparansi dan Akuntabilitas.
Para pihak yang mau kembali ke pemilu/pilkada tak langsung telah lupa, pemilihan eksekutif Orde Baru melalui legislatif menyebabkan demokrasi terperangkap dalam postulat Lord Acton: power tends to corrupt,absolute power corrupt absolutely. Para propaganda “Isek penak jamanku toh?!†kehilangan ingatan bahwa poros kuasa korup itu telah menempatkan Soeharto sebagai pemimpin negara terkorup (versi: Transpararency International, 2004). Katanya, zaman Pak Harto perut kenyang. Tapi justru kesenjangan tergambar gamblang hingga sekarang. []
USEP HASAN SADIKIN