Pembahasan anggaran pilkada serentak 2015 akan menjadi jelas jika kita juga tempatkan pilkada serentak menurut rekayasa kepemiluan. Desain keserentakan lebih tepat jika kita merujuk pada pengertian pemilu serentak (concurrent election).
Pemilu serentak adalah penggabungkan pemilu eksekutif dan pemilu legislatif dalam satu tahapan penyelenggaraan khususnya tahap pemungutan suara. Tujuannya bukan semata efisiensi anggaran, melainkan untuk menciptakan pemerintahan kongruen atau menghindari pemerintahan terbelah (divided government) yang berwujud jumlah kursi mayoritas parlemen bukan dimiliki partai atau koalisi partai yang mengusung presiden terpilih.
Desain pilkada serentak berkaitan tak hanya pada sistem pemilu tapi juga pemerintahan. Sistem pemilu secara ortodoks dipilih berdasarkan sistem pemerintahan. Jika sistem pemerintahan suatu negara adalah presidensial, sistem pemilu yang dinilai cocok adalah sistem mayoritarian dengan sistem kepartaian dwipartai. Jika pemerintahan bersistem parlementer, sistem pemilu yang cocok adalah sistem proporsional dengan sistem kepartaian multipartai.
Indonesia berada pada anomali ortodoksi sistem politik itu. Pemerintahan Indonesia bersistem presidensial tapi sistem pemilunya proporsional dengan sistem kepartaian multipartai. Dampaknya, pemerintahan terbelah. Gambaran nyata, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla secara politik kesulitan merealisasikan kebijakan melalui parlemen karena koalisi yang berseberangan memperoleh kursi lebih dari 50 persen.
Anomali dari ortodoksi sistem pemilu di negara bertransisi demokrasi bisa dibilang wajar. Pergantian sistem pemerintahan dan pemilu Indonesia lebih disebabkan perasaan politik yang sangat kontekstual. Pasca-1955, parlemen yang gaduh disikapi dengan Demokrasi Terpimpin. Pasca-1965, otoritarian Orde Baru meleburkan ragam kekuatan politik menjadi dua partai dan satu partai yang pura-pura menjadi “golonganâ€.
Pasca-Reformasi, parlementer yang secara teori lebih cocok untuk negara majemuk malah diganti ke presidensial karena oligarki partai dinilai merasuk ke parlemen dan mengendalikan presiden. Tak puas memangkas oligarki partai, dibuatlah sistem pemilu proporsosial daftar terbuka. Jelas, kronologis ini membuat sistem politik Indonesia yang presidensial, multipartai, proporsional, daftar terbuka semakin menyimpang untuk menuju kemapanan sistem politik.
23 Januari 2014, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan penyelenggaraan pemilu serentak pada 2019. Putusan MK ini mengarahkan pada kemapanan sistem politik Indonesia. Pemilu serentak menguatkan desain presidensialisme karena jauh lebih mendorong tersusunnya pemerintahan yang lebih memungkinkan bekerja secara efektif.
Agar pemilu serentak tak sekedar menambah kompleksitas semata, format pemilu di provinsi dan kabupaten/kota harus diubah bukan hanya memilih kepala daerah tapi juga memilih anggota dewan daerah. Pemilu lokal tak bisa dipisahkan dengan kepentingan pemillu nasional. Penyelenggaraan pemilu lokal dan nasional harus menjadi bagian dari fungsi check and balance koalisi di legislatif dengan eksekutif.
Jika hasil pemerintahan terpilih di pemilu nasional dinilai baik, pemilih bisa mempertahankannya di pemilu lokal dengan memilih calon kepala daerah dan calon dewan yang diusung partai atau koalisi partai pendukung pemerintahan nasional. Jika pemerintahan nasional dinilai buruk, pemilih bisa menghukum dengan tak memilih calon kepala daerah dan calon dewan pendukung pemerintah nasional.
APBN sebagai konsekuensi keserentakan
Untuk memapankan desain pemilu serentak, pilkada yang hanya berkepentingan memilih eksekutif yang berada di rezim otonomi daerah harus dialihkan pada desain serentak yang sentralistik. Pilkada yang sebelumnya jauh lebih banyak sebagai pemenuhan kepentingan pemerintahan lokal, di konteks desain pemilu serentak akan berubah untuk memperluas kepentingan pemerintahan nasional. Karena kepentingan pemerintahan nasional di daerah diperluas, anggaran pemilu di daerah harus dari APBN.
Kebutuhan anggaran pemilu di daerah dari APBN pun untuk kebutuhan percepatan transisi keserentakan. Periode jabatan pemerintahan daerah yang tak sama membutuhkan fase transisi untuk bisa diserentakan semua pasca-Pemilu 2019. UU No. 32/2004 menyebutkan pilkada diselenggarakan enam bulan sebelum periode menjabat pemerintahan habis dan pilkada tak bisa diselenggarakan di tahun yang sama dengan penyelenggaraan pemilu nasional.
APBN punya peran strategis untuk menyamakan periode menjabat pemerintahan daerah. Sangat sulit meminta kepala daerah menggunakan APBD untuk mengurangi masa jabatannya dengan menyelenggarakan pilkada lebih cepat.
Arah makin membaiknya sistem politik Indonesia melalui pemilu serentak dan pilkada serentak menegaskan kesesuaian kelembagaan pemilu di konstitusi. Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 menuliskan, pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Sifat nasional tepat dimaknai secara struktur dan anggaran.
Secara struktur, KPU menasional berwujud KPU RI, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota. Semuanya menyelenggarakan pemilu DPR, DPD, DPRD, serta pemilu presiden dan wakil presiden. Semuanya pun menyelenggarakan pilkada. Memang seharusnya semuanya dibiayai APBN, baik kelembagaan, orang-orang di dalamnya, dan aktivitasnya.
Sangat sulit untuk tak memaknai pilkada bukan bagian dari pemilihan umum. Jika merujuk Pasal 22E ayat (1), pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali, pilkada memenuhi makna pemilihan umum. Perihal pada ayat (2), (3), dan (4) tak ada kata “pilkada†sebaiknya tak dijadikan dasar penolakan pilkada serentak dibiayai APBN. Kekurangan ini menjadi bijak jika dimaknai sebagai bagian yang perlu dilengkapi untuk menuju sistem pemilu Indonesia yang lebih mapan. []
USEP HASAN SADIKIN