August 8, 2024

Meruwat Pilkada Tanpa Nalar Demokrasi

Martin Heidegger sebagai seorang pemikir pernah berujar. Menurutnya, hidup memanglah dijalani ke depan, tetapi ia mesti dipahami ke belakang. Ungkapan tersebut seolah mengingatkan kita pada momen-moment politik saat ini, di mana hal ikhwal kondisi yang terjadi di negeri kita saat ini bukanlah sesuatu kondisi yang begitu saja datangnya, tanpa didahului oleh fenomena demi fenomena apapun.

Sebagai sebuah arena kehidupan, sudah pasti dialektika yang terjadi di dalamnya tidaklah lahir dari ruang kosong atau hadir dari ruang hampa. Ia adalah suatu akibat dari beragam interaksi dan gesekan ideologis yang itu mewujud dalam konstelasi ekonomi, politik, sosial dan kebudayaan.

Melihat dari fenomena politik pasangan calon tunggal vs Bumbung kosong di Indonesia dan sembari menunggu putusan Mahkamah Konstitutsi dari gugatan hasil Pilkada 2018, sepertinya perlu kembali menyoal manfaat dan hikmah apa yang bisa diperas lalu diambil sarinya oleh masyarakat sipil dari pada perhelatan demokrasi. Setidaknya ada dua hal secara permukaan yang bisa disarikan.

Pertama, fenomena itu adalah murni dari akumulasi kegundahan masyarakat sipil selama ini atas kebuntuan elektoral dan macetnya fungsi penyambung aspirasi rakyat. Kedua, betapa besar kemungkinan terjadinya potensi politik jagal diantara elit yang memperebutkan aras kekuasaan.

Melalui pemilihan kepala daerah setiap warga/masyarakat sipil yang telah memenuhi persyaratan berduyun-duyun mendatangi kotak TPS untuk memilih, menyetujui dan menyepakati sosok siapakah ke depannya yang akan berkenan menjadi pemimpin. Namun, terkait soal siapa yang dipilih, apa-apa saja yang disetujui dan rupa-rupa apa saja yang disepakati bisa jadi tidak terpikirkan atau sekedar memenuhi undangan pencoblosan. Bahkan, kemungkinan terburuk pun bisa saja terjadi yakni; Money Politic Politik Ijon dan Politik Patronase.

Jika kita melihat ke belakang beberapa dekade yang lalu misalnya, beberapa lembaga survei ternama di Indonesia sebenarnya sudah mengingatkan kita mengenai kondisi relasi dan interseksi lembaga partai politik dan publik. Hasil tinjauan Lembaga Survei Indonesia (LSI) di tahun 2015 memaparkan bahwa bagi publik partai politik yang ada saat itu hanya memperjuangkan kepentingannya sendiri yakni guna mendapatkan kursi jabatan dan tampuk kekuasaan dengan prosentase sebesar 52,8%.  Sementara 33,8% publik menganggap partai politik masih memperjuangkan kepentingan rakyat dan sisanya menjawab tidak tahu.

Kemudian lembaga survei INDIKATOR pada tahun 2016 menjelaskan posisi lembaga demokrasi di Indonesia yang memiliki tingkat terendah dari kepercayaan publik adalah partai politik dengan prosentase 39,2%. Sebaliknya, ada 51,5% publik yang tidak percaya kepada partai politik.

Sementara tingkat kepercayaan publik pada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan prosentase 48,5% dan sebaliknya ada 44,4% publik yang tidak percaya terhadap “yang mulia” Dewan Perwakilan Rakyat. Lantas, mengenai lembaga demokrasi di Indonesia yang paling dipercayai publik dan memiliki angka prosentase tertinggi ialah Komisi Pemberantasn Korupsi (KPK) sebesar 79,6% dan hanya ada 13,7% diantara publik yang tidak percaya terhadap KPK.

Terakhir, pada tahun 2017 lalu lembaga survei INDO BAROMETER mencatat bahwa ada 63,0% publik yang menjawab bahwa tidak memiliki kedekatan apapun dengan partai politik ketika diajukan pertanyaan terkait adakah kedekatan rakyat dengan partai politik. Dan hanya ada 17,2% publik yang menjawab memiliki kedekatan dengan partai politik.

Hal yang unik dari temuan survei terakhir adalah logika politik representasi di kursi parlemen atau kepala daerah bahkan jabatan Presiden yang melalui mekanisme partai sekalipun semestinya memiliki kedekatan yang tinggi, sebab melalui representasi merekalah kehendak rakyat terwujudkan dalam kebijakan dan bukan sebaliknya, ramai-ramai perlahan meninggalkan kepercayaan pada partai politik.

Bagi beberapa elemen masyarakat yang jelas menolak segala kebijakan politik/apolitis, tentunya angka-angka ini tidak terasa memiliki relasi langsung terhadap kebutuhan hidup. Tetapi, bagi kalangan masyarakat politik, soal rendahnya kepercayaan publik pada parta politik menjadi pukulan telak pada partai politik. Namun, sayangnya apakah kondisi menyusutnya kepercayaan tersebut dibarengi dengan suatu langkah penyusunan agenda taktis ke depannya ataukah justru terhenti pada ranah wacana.

Gerakan Rakyat Kuat, Negara Kuat

Adalah filsuf Aristoteles yang menyebut suatu komunitas masyarakat politik dengan istilah Politike koinonia, ia menggambarkan bagaimana suatu komunitas masyarakat politik tersebut memiliki kehendak untuk terlibat langsung dalam setiap pengambilan keputusan politik dan meletakkan setiap posisi individu sama sejajar di depan mata hukum. Juga pemaknaan yang hampir sama dalam pandang filsuf Markus Tullius Cicero mengenai masyarakat politik, ia menyebutnya dengan istilah Societas Civilis.

Pada tahun 1767 Adam Ferguson menggambarkan suatu masyarakat yang berkeadaban dan menjungjung tinggi nilai etis dan mampu mewujudkan solidaritas sosial antara sesama warga. Maka Ferguson menyebutnya dengan istilah Civil Society. Lebih lanjut, pada tahun 1792 salah seorang pemikir Thomas Paine mewacanakan berbeda, ia bertandas bahwa Civil Society berposisi berlawanan dengan satu lembaga negara, posisi berlawanan ini bisa juga diartikan bahwa Civil Society adalah komunitas masyarakat anti thesis dari negara dan dalam imajinasi civil society negara adalah wadah yang mencitrakan keburukan semata, tak ada yang baik dan tak ada yang perlu dipercaya darinya (Lutfhi J.K 2012).

Sejatinya pandangan masyarakat sipil yang politis terhadap setiap situasi perpolitikan nasional tidak bisa dibarengi dengan usaha menjadi pengontrol atas gerak negara. Bukan bermaksud untuk menolak setiap kebijakan yang lahir dari negara. Melainkan gerak itu dibatasi oleh aturan aturan normatif dalam konstitusi dan prilaku etis yang menjunjung tinggi nilai keadaban.

Untuk keluar dari silang sengkarut perpolitikan pragmatis partai politik dan penggunaan masyarakat sipil sebatas pada pengambilan hak suara lalu kemudian meninggalkannya begitu saja setelah proses pemilihan. Maka, dari situlah distrust pada prilaku partai politik lahir. Angka-angka hasil survei berkala di atas hanyalah sebuah simbol untuk mengkiaskan kondisi pada masyarakat sipil mana setiap parpol berpihak dan bagi imajinasi masyarakat sipil ia menjadi petanda pula bahwa betapa perlunya langkah taktis apa ke depannya yang bisa dilakukan.

Setidaknya ada dua langkah taktis yang bisa dilakukan oleh masyarakat sipil. Pertama, perlahan namun pasti, masyarakat sipil harus segera merebut negara (reklaiming the state), mereorientasi segala yang bersandar pada kuasa elit-oligarki atau kuasa kelompok predatoris. Jalan baru ini tentu mesti ditempuh melalui jalan sah konstitusional, persiapkan partai politik baru sebagai manifestasi ideologi yang diperjuangkan, bentuk kelompok kelompok pengerak di berbagai sektor, dari buruh hingga akademisi, dari seniman hingga ilmuwan.

Langkah taktis Kedua, adalah tetap bertahan pada posisi di luar dari negara yakni menjadi komunitas masyarakat politik atau masyarakat sipil yang terus merawat nafas kontrol publik, menjadi kelompok penekan, pengontrol gerak negara dan lembaga demokrasi di dalamnya serta membatasi ruang gerak diri dengan tidak masuk terlibat dalam gelanggang perpolitikan praktis negara. Kiranya jika kedua langkah ini terwujud maka, kemungkinan besar mimpi memperkokoh demokrasi akan segera terwujud. Semoga. []

ABDURRACHMAN SOFYAN

Peneliti Demokrasi dan HAM Intrans Institute

Magister Hak Asasi Manusia dan Syariah, alumnus Universitas Muhammadiyah Malang