Laporan terkait dana kampanye kandidat dalam Pilkada 2024 kembali menuai kritik tajam. Berdasarkan penelusuran Indonesia Corruption Watch (ICW), terdapat dugaan kuat bahwa pelaporan dana kampanye yang dilakukan para kandidat tidak mencerminkan realitas ongkos politik yang sesungguhnya. Hal itu diperkuat dengan data rerata penerimaan sumbangan kandidat yang hanya berkisar Rp3,8 miliar, jauh di bawah estimasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2020 yang menyebutkan biaya pencalonan gubernur berada di kisaran Rp20 miliar hingga Rp100 miliar.
“Selisih besar ini mengindikasikan adanya ketidakseriusan dalam pelaporan dan potensi manipulasi data,” tulis ICW melalui siaran pers, Jakarta (26/11).
Dominasi sumbangan dari pasangan calon juga dinilai menimbulkan pertanyaan besar tentang peran partai politik dalam pendanaan kampanye. ICW memandang minimnya dukungan finansial dari partai politik membuat para kandidat harus mencari sumber dana secara mandiri, sering kali dengan cara yang tidak transparan. Kondisi ini membuka ruang bagi penyalahgunaan kewenangan, terutama oleh kandidat petahana.
“Salah satu contoh nyata adalah kasus Rohidin Mersyah, petahana Gubernur Bengkulu yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK. Ia diduga memerintahkan pengumpulan dana korupsi untuk membiayai pencalonannya,” imbuhnya.
Minimnya peran partai politik dalam mendukung dana kampanye juga memiliki implikasi serius terhadap partisipasi politik masyarakat. Hanya individu dengan sumber daya besar sejak awal yang memiliki peluang lebih besar untuk mencalonkan diri. Situasi tersebut menurut ICW, mempersempit ruang bagi kandidat independen atau dari kelompok masyarakat yang lebih luas, dan justru memperkuat dominasi kandidat dari dinasti politik atau kandidat yang terhubung dengan pebisnis besar.
Melihat kondisi tersebut, ICW menegaskan perlunya perombakan regulasi secara menyeluruh terkait pelaporan dana kampanye. Mekanisme audit yang lebih ketat, transparansi dalam laporan dana kampanye, dan reformasi tata kelola partai politik merupakan langkah mendesak untuk menjamin asas demokrasi dalam Pilkada.
“Tanpa perubahan signifikan, potensi politik uang dan manipulasi dalam proses pemilihan akan terus menggerogoti kualitas demokrasi di Indonesia,” pungkas ICW. []