PEMILU Kepala Daerah putaran kedua alias yang diselenggarakan sepanjang tahun 2010 ini menampakkan realitas yang menarik.
Pertama, keluhan para kandidat tentang makin mahalnya biaya yang harus dikeluarkan untuk memenangi pilkada.
Sejumlah orang mengaku untuk pencalonan hingga pemenangan pilkada bupati/walikota memerlukan tidak kurang dari Rp 5 miliar rupiah. Sementara dalam pilkada gubernur, seorang calon harus mempersiapkan uang puluhan miliar.
Ini kemudian yang belakangan menjadi salah satu alasan pilkada langsung mulai dipersoalkan.
Menurut cerita seorang kawan konsultan pemenangan pilkada, putri mantan Bupati Kutai Kertanegara merogoh kocek sekitar Rp 70 miliar untuk membayar jasa konsultan pemoles citra politik.
Kedua, realitas politik menunjukkan bahwa para kepala daerah yang masih menjabat ingin mencalonkan diri lagi, kendati sudah menjabat dua periode. Mereka masih ingin berada di kursi kekuasaan kepala daerah, walau sedikit turun pangkat sebagai wakil kepala daerah. Atau jika tidak begitu, bagi mereka yang telah menjabat dua periode, selanjutnya tongkat istafet kekuasaan dilanjutkan oleh istri atau anak-anaknya.
Wali Kota Surabaya yang sudah dua kali menjabat, rela turun jabatan sebagai Wakil Walikota Surabaya. Bupati Tuban agaknya juga akan mengikuti jejak Walikota Surabaya, turun pangkat jadi Wakil Bupati Tuban.
Jabatan Bupati Kutai Kertanegara berpindah dari bapak kepada putrinya. Kursi Bupati Kendal beralih dari suami kepada istrinya, demikian juga kursi Bupati Bantul dan Indramayu beralih dari suami kepada istrinya.
Yang paling asyik pilkada Kabupaten Kediri, istri tua dan istri muda bertarung dalam pilkada memperebutkan kursi bupati tinggalan sang suami.
Ketiga, makin banyak saja kepala daerah yang terjerat masuk ke “hotel prodeo” alias penjara akibat kasus korupsi yang membelitnya. Yang paling menohok rasa keadilan adalah kasus Kabupaten Boven Digul. Bupati yang masih menjabat sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi dan bahkan telah ditahan. Namun pada gilirannya memenangi pilkada tahun ini.
Beberapa realitas itu, membelanjakan dana besar untuk memenangi pilkada, “kecanduan berkuasa” secara terus-menerus, dan kepala daerah dipidana kasus korupsi, kian hari kian kasat saja di mata rakyat.
Saya kira, makin banyak orang yakin bahwa ongkos politik yang harus dibelanjakan seorang kandidat dalam pilkada itu besar sekali jumlahnya.
Bahkan nyaris tak masuk akal orang lumrah. Orang juga tahu, dalam era transparansi informasi publik ini, berapa sih gaji seorang bupati, walikota, gubernur, dan para wakilnya. Secara ekonomi antara modal politik dalam pilkada dan gaji yang diperoleh dalam satu periode jabatan tidak akan mencapai break event point, dalam bahasa Jawa “ora cucuk”.
Itu saja masih dibayang-bayangi risiko masuk bui akibat indikasi kasus korupsi.
Namun orang awam juga bertanya dengan nada aneh, “Mengapa itu semua dipertaruhkan, dan makin banyak saja yang berminat menduduki jabatan kepala daerah? Bahkan yang telah berkuasa dalam batas maksimum pun masih ingin tambah periode lagi?”
Itulah misteri kekuasaan. Bila kita buka kamus, kata misteri itu dalam Bahasa Inggris memiliki beberapa makna. Mystery memiliki arti kegaiban, misteri, buku penuh sensasi dan diselubungi tabir rahasia. Dalam bentuk lain, mysterious berarti aneh, pelik, gaib, dan penuh teka-teki. Kata mystery dan mysterious berdekatan dengan kata mystic yang berarti penganut ilmu kebatinan.
Pantas saja dalam konteks politik Indonesia, seseorang yang ingin mendekati atau mempertahankan kekuasaan rajin ziarah kubur, atau menggunakan jasa “dukun politik” untuk mendampingi selama dalam pusaran kekuasaan. Itu lebih karena kekuasaan itu bersifat mistis dan misterius, nganeh-nganehi.
Dalam teori politik, kekuasaan ( power) sering dimaknai kemampuan seseorang untuk mempengaruhi pihak lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu sesuai dengan yang dikehendakinya. Dalam konteks ini, dapat dibayangkan betapa seseorang yang sedang berkuasa dapat melakukan apa saja sesuai kehendaknya dengan segenap instrumen dan sumber daya yang dimiliki.
Seorang kepala daerah berwenang menunjuk siapa menjadi kepala dinas apa. Celakanya dalam politik ada keyakinan “there is no free lunch in politics”, untuk mendapatkan jabatan tidak gratis alias ada ongkosnya. Ini barangkali yang sering menjadi salah satu sumber “pendapatan” di luar gaji seorang kepala daerah. Itu hanya salah satu contoh, masih banyak contoh lain jika diteruskan.
Sampai di sini, itulah rupanya misteri kekuasaan. Secara kasat mata, realitas itu menuntun kita membuka tabir misteri kekuasaan, yaitu berlakunya hukum alam politik “money gets to power and than gets more money” (MPM), uang untuk meraih kekuasaan dan saat berkuasa meraih lebih banyak uang.
Seorang kawan politikus mengibaratkan kecanduan kekuasaan itu mirip kecanduan rokok, sudah pasti risiko yang bakal ditanggung, namun tetap menggiurkan.
Apakah kecanduan kekuasaan itu patut dibiarkan? Kendati misteri kekuasaan kian terkuak, biarkan rakyat yang menjawabnya.
Wallahu ’Alam Bishshawab.
HASYIM ASY’ARI
*Penulis adalah dosen Fakultas Hukum Undip dan mantan anggota KPU Jateng.
**Tulisan ini sebelumnya dipublikasikan di Harian Suara Merdeka, Senin, 18 Oktober 2010.