August 8, 2024

Obesitas Kekuasan Negara Pilkada 2020

9 Desember 2020, 269 daerah di Indonesia melaksanakan pemungutan dan penghitungan suara dalam pandemi, melakukan transisi pemerintahan lokal. Rencana ada 270 daerah tapi karena ada protes massa pendukung pasangan calon pascapembatalan kepesertaan Pilkada Boven Digoel, pungut hitung suara di Kabupaten Provinsi Papua ini ditunda.

Fakta penyelengaraan negara tersebut membuat kita terus mempertanyakan nalar kekuasaan pemerintah republik ini. Ternyata, aspirasi penundaan Pilkada 2020 yang bisa diterima adalah yang berwujud kekerasan dan pengrusakan properti publik dan pribadi. Yang didengar penguasa adalah kemarahan massa pendukung karena pasangan calonnya yang mantan koruptor digugurkan Komisi Pemilihan Umum.

Selama ini, argumen saintifik diabaikan penguasa. Semua dokter dan petugas medis yang berjihad menangani pandemi telah menyampaikan data terinfeksi dan korban nyawa Covid-19 yang signifikan makin meningkat. Para pakar lintas bidang sudah menyampaikan penjelasan ilmu pengetahuannya mengenai ancaman kesehatan dan nyawa dari Covid-19 jika penyelenggaraan negara seperti pilkada mengabaikan perlindungan warga.

Selama ini, aspirasi publik yang lebih representatif serta terukur dan demokratis pun diabaikan penguasa. Pemberitaan dan hasil survei menggambarkan mayoritas warga menginginkan pilkada ditunda. Banyak organisasi masyarakat sipil berbadan hukum seperti Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama mendesak penundaan pilkada sampai situasi dalam pandemi bisa dikendalikan.

Yang terjadi, penguasa di pemerintahan dari, oleh, untuk rakyat ini tetap menyelenggarakan transisi kekuasaan meski pemilik kedaulatannya menolak. Pilkada serentak sekonyong-konyong diselenggarakan. Penguasa melupakan, atau selama ini memang masa bodoh, dengan perlindungan hak pilih, hak rasa aman, hak kehidupan, dan hak sehat segenap bangsa yang dijamin undang-undang dasar sebagai tanda tujuan dibentuknya negara. Sebaliknya, pemerintah yang menjalankan negara ini cenderung memperbesar kekuasaannya. Obesitas kekuasaan negara ini cenderung mengabaikan hak-hak asasi konstitusional warganya.

Hukum sebagai perampingan kekuasaan

Murray N. Rorthbard dalam “Anatomy of The State” (2009) menjelaskan bahwa batasan kekuasaan negara adalah hukum. Tanpa hukum, kekuasaan menjadi otoriter. Ia akan seenaknya melakukan apa saja, bahkan mengabaikan otonomi diri dan hak kepemilikan kita sebagai warga.

Rorthbard menjelaskan hukum yang begitu penting sebagai batasan kekuasaan, dengan pengingatan sejarah. Kekuasaan dulunya dimiliki pihak yang tunggal lalu berubah dengan pencatatan aturan dan pembagian kekuasaan. Raja yang mengklaim mempunyai kekuasaan dari Tuhan dibatasi dengan penulisan hukum, apa saja yang diklaim sebagai kekuasaan dari Tuhan. Melalui penulisan hukum ini dengan sendirinya kekuasaan jadi terbatas karena bentuk-bentuk kekuasaan hanya sebatas dari apa yang dituliskan.

Begitu juga yang terjadi dengan pemerintahan parlementer. Secara asal, hukum yang dituliskan membatasi, apa yang jadi kekuasaan pihak kerajaan, dan apa yang jadi kekuasaan pihak rakyat yang diwakilkan dalam parlemen. Jika penceritaan Rorthbard mau diperpanjang dengan pemerintahan presidensial, ini pun merupakan wujud pembatasan kekuasaan orang nomor satu seperti raja yang dikonstitusionalkan (dituliskan menjadi hukum).

Dari pengalamannya, kekuasaan penyelenggaraan negara cenderung meluas dan mengintervensi ranah privat dan hak-hak asasi warganya. Karena ini, Rorthbard perpendapat, hukum harus menjadi peramping kekuasaan negara yang semestinya memang terbatas. Sehingga, kekuasaan negara penting dikembalikan kepada dasarnya yaitu melindungi dan melayani hak-hak warga. Ini yang dalam Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia disebut sebagai tujuan negara, melindungi segenap bangsa.

Penjelasan Rorthbard tersebut relevan menjadi pisau analisis penyelenggaraan negara bernama pilkada. Hukum merupakan batasan kekuasaan penguasa negara dan UU Pilkada merupakan hukum yang dibuat penguasa pembuat kebijakan untuk mempertahankan bahkan memperluas kekuasannya.

The International Initiative Design Electoral Assistance (IDEA) pun menyimpulkan bahwa, kerangka hukum pada tingkat undang-undang dibutuhkan dalam pemilu Covid-19. Tujuannya agar kekuasaan negara tetap berfungsi melindungi hak konstitusional warganya dalam pandemi. Hukum di tingkat undang-undang harus mengatur ragam waktu dan bentuk layanan hak pilih karena pandemi merupakan hamparan yang mengancam sehat dan nyawa warga. Waktu pemilihan bisa diperbanyak melalui early voting. Jam pemilihan bisa ditambah, bukan hanya jam 7.00-13.00. Cara dan media pemilihan bisa dibuat beragam seperti lewat surat pos serta HP, PC, atau laptop dengan internet, juga drive thru layaknya memesan makan resto cepat saji melalui kendaraan pribadi. Semuanya untuk melindung hak pilih dan hak hidup sehat warganya.

Berdasar pengalaman negara-negara yang menyelenggarakan pemilu dalam pandemi, negara yang melakukan revisi undang-undang pemilu dengan ketentuan layanan hak pilih, kampanye, dan penegakan hukum pada konteks wabah, berbuah pesta demokrasi yang meriah, bebas, dan adil. Di luar ini, pemerintahan negara-negara menjadi obesitas berkuasa dengan mengatasnamakan kestabilan negara dan sosial dalam kegentingan pandemi. International IDEA sampai mengajak warga berdaulat untuk membela demokrasi.

Indonesia berdasar penekanan tersebut bisa masuk sebagai negara yang mengalami obesitas kekuasaan. Proses-proses kekuasaan penyelenggaraan negara seperti pilkada yang seharusnya amat mungkin dibatasi berdasar hukum pada konteks pandemi, malah terus dijalankan. Undang-undang pilkada yang berkualitas buruk pada era normal tak diperbarui pada era kenormalan baru. Berdasar pertemuan 21 September 2020 penguasa mengedepankan sejumlah penghukuman pidana untuk pilkada dalam pandemi tanpa meningkatkan perlindungan hak pilih, hak rasa aman, hak sehat, dan hak hidup.

Penguasa negara hanya mengubah ketentuan penundaan jadwal pungut hitung pilkada. Dari kewenangan Presiden, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) 2/2020, kemudian diundangkan menjadi UU 6/2020. Pada bagian Penjelasan Pasal 201A ayat (3) bertuliskan, Pemungutan suara serentak pada bulan Desember 2O2O ditunda dan dijadwalkan kembali apabila tidak dapat dilaksanakan karena bencana nasional pandemi Corona Virus Disease 2O19 (COVID- 19) belum berakhir. Covid-19 bukan saja belum berakhir di Indonesia tapi juga makin tinggi dan sulit dikendalikan lalu kita berpesta dalam kekuasaan rakyat tanpa hukum yang melindunginya.

Hal tersebut merupakan tanda, kekuasaan negara amat disukai sebagian pihak yang biasa mengatasnamakan rakyat. Pilkada terus dipaksa untuk melegalkan kelanjutan penguasaannya terhadap negara ini.

Salah satu yang membedakan demokrasi dengan krasi lainnya adalah partisipasi warga. Segala bentuk partisipasi menyampaikan penundaan dan rekomendasi ketentuan hukum sudah diabaikan. Lalu, kuantitas persentase pengguna hak pilih yang bisa menggambarkan kualitas peserta, penyelenggara, serta pemilih dalam pemilu dan demokrasi pun diabaikan. Obesitas kekuasaan dalam Pilkada 2020 lalu jadi punya slogan “dari, oleh, dan untuk penguasa itu sendiri”, bukan rakyat. []

USEP HASAN SADIKIN