Artikel ini bukan latah ikut meramaikan seruan “omnibus law” Presiden Jokowi. Sebab, gagasan menyatukan undang-undang pemilu sudah lama jadi bahasan di kalangan pegiat pemilu. Meski UU No 7/2017 telah menyatukan tiga undang-undang pemilu, namun masih ada undang-undang pilkada dan undang-undang partai politik yang terpisah. Keterpisahan ini tidak hanya menimbulkan duplikasi dan kontradiksi pengaturan, tetapi juga menyulitkan pengembangan sistem politik demokratis.
Pasca-Perubahan UUD 1945 hingga Pemilu 2014 telah berlaku tiga undang-undang pemilu legislatif, dua undang-undang pemilu presiden, dua undang-undang penyelenggara pemilu, dan satu undang-undang yang mengatur pilkada. Gagasan kodifikasi atau penyatuan atau omnibus undang-undang pemilu yang disuarakan para pegiat pemilu pasca-Pemilu 2004 baru mendapatkan momentum setelah Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan MK No 14/PUU-XI/2013 tanggal 23 Januari 2014.
Putusan itu menyatakan, bahwa pemisahan penyelenggaraan pemilu legislatif dari pemilu presiden tidak konstitusional. MK pun memerintahkan agar kedua jenis pemilu itu diselenggarakan serentak. Tentu tidak logis jika pemilu legislatif dan pemilu presiden diselenggarakan serentak sedangkan undang-undangnya berbeda. Maka keluarlah UU No 7/2017 yang tidak hanya menyatukan undang-undang pemilu presiden dan undang-undang pemilu legislatif, tetapi juga undang-undang penyelenggara pemilu.
UU No 7/2017 merupakan omnibus law pemilu tahap awal. Sebab, undang-undang ini masih mengandung banyak kelemahan dan kekurangan sehingga harus disempurnkan. Selain itu, undang-undang partai politik dan undang-undang pilkada perlu disatukan ke dalamnya.
Menggabungkan Saja
UU No 7/2017 yang berlaku sejak 16 Agustus 2017, terdiri dari 4 buku, 31 bab, 82 bagian, 68 paragraf, dan 573 pasal; atau dalam format dokumen negara, terdiri dari 317 halaman batang tubuh, 116 halaman penjelasan, dan 33 halaman lampiran. Undang-undang ini memang paling lengkap dalam mengatur pemilu. Namun paling lengkap bukan berarti paling baik.
Pertama, UU No 7/2017 tidak visioner. Undang-undang ini tidak mengatur garis besar sistem pemilu sehingga pembaca tidak segera mengetahui kerangka sistem politik demokratis yang hendak dibangun dan dijaganya. Pengaturan sistem pemilu dicampuraduk dengan pengaturan pelaksanaan tahapan membuat di dalam undang-undang ini tidak tertangkap visi misi politik kenegaraannya. Undang-undang ini menggunakan frasa “penyelenggaraan pemilu” dan “pelaksanaan pemilu” secara serampangan sehingga semakin membingungkan. Padahal jika dibaca ketentuan Pasal 22E UUD 1945 terlihat jelas perbedaan di antara dua frasa tersebut.
Kedua, UU No 7/2017 tidak sistematis. Pemilu bisa dilihat dari empat sisi: aktor, sistem, manajemen, dan hukum. Aktor terdiri dari penyelenggara, pemilih, peserta, dan calon. Sistem adalah hubungan antar variabel pemilu (besaran daerah pemilihan, metode pencalonan, metode pemberian suara, serta formula perolehan kursi dan calon terpilih) untuk mengubah suara menjadi kursi. Manajemen adalah pelaksanaan tahapan: pendaftaran peserta, pendaftaran pemilih, pendaftaran calon, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, penetapan hasil, dan pelantikan. Hukum adalah penegakan hukum atas tindak pidana, pelanggaran administrasi, sengketa administrasi, dan sengketa hasil. Penyusunan materi undang-undang ini tidak konsisten mengikuti babakan tersebut sehingga sulit dipahami. Selain itu, undang-undang ini banyak mengatur pelaksanaan teknis tahapan pemilu sehingga menghasilkan undang-undang yang kering, ruwet, dan jelimet bagaikan standard of procedure (SOP).
Ketiga, UU No 7/2017 mengandung duplikasi dan turah. Undang-undang ini seakan menggabungkan begitu saja tiga undang-undang sehingga muncul banyak duplikasi. Misalnya, pada rincian tugas, wewenang dan kewajiban penyelenggara (buku kedua) diatur kembali dalam pelaksanaan tahapan (buku ketiga). Selain itu, undang-undang ini menyertakan empat lampiran tentang jumlah anggota KPU provinsi dan kabupaten/kota, anggota Bawaslu provinsi dan kabupaten/kota, serta daerah pemilihan DPR dan DPRD provinsi. Lampiran setebal 33 halaman ini sebetulnya tidak perlu karena bisa ditetapkan melalui keputusan KPU dan Bawaslu.
Tiga masalah itu harus diselesikan agar UU No 7/2017 kelak berubah menjadi undang-undang yang visioner, solid, dan mudah dipahami. Para pembentuk undang-undang seharusnya menyadari bahwa undang-undang pemilu menjadi acuan banyak pihak dalam menjelaskan bangunan demokrasi politik sebagaimana diamanahkan konstitusi.
Menyelaraskan Syarat
Kini berlaku undang-undang partai politik, yaitu UU No 2/2008 yang diubah oleh UU No 2/2011. Menyatukan undang-undang partai politik ke dalam undang-undang pemilu tidak berbeda dengan menyatukan undang-undang penyelenggara pemilu ke dalam undang-undang pemilu, sebab keduanya sama-sama mengatur aktor pemilu. Bersamaan dengan pengaturan tentang (syarat) pemilih dan calon, pengaturan tentang penyelenggara dan partai politik bisa dimasukkan ke dalam satu buku tentang aktor pemilu.
Arti penting penyatuan undang-undang partai politik ke dalam undang-undang pemilu adalah menyelaraskan pengaturan partai politik sebagai badan hukum dengan partai politik sebagai peserta pemilu.
UU No 2/2008 junto UU No 2/2011, menetapkan syarat administrasi dan organisasi untuk mendapatkan status badan hukum. Syarat administrasi meliputi akte notaris pendirian, nama dan lambang, kantor, dan rekening; sedangkan syarat organisasi memiliki kepengurusan di setiap provinsi, 75% kabupaten/kota, dan 50% kecamatan. Syarat administrasi dan organisasi tersebut ternyata dicantumkan kembali dalam UU No 7/2017 sebagai syarat partai politik peserta pemilu. Duplikasi syarat administrasi dan organisasi tersebut tidak terjadi jika undang-undang partai politik disatukan dalam undang-undang pemilu.
Selain itu, untuk menjadi peserta pemilu, UU No 7/2017 menambahkan syarat keanggotaan: memiliki anggota sedikitnya 1.000 orang atau 1/1.000 jumlah penduduk di kabupaten/kota. Tapi justru di sini timbul masalah: apakah syarat keanggotaan itu masuk akal? Pertama, syarat keanggotaan mestinya jadi bagian dari syarat organisasi sebab tidak mungkin organisasi punya pengurus tapi tak punya anggota. Kedua, syarat keanggotaan sebagai syarat peserta pemilu tidak mendekati kenyataan politik, sebab kemampuan partai politik meraih suara dalam pemilu tidak ditentukan oleh jumlah anggotanya melainkan oleh dukungan pemilih.
Oleh karena itu, undang-undang pemilu baru nanti mesti mengharuskan partai politik baru mendapatkan dukungan minimal pemilih sebagaimana calon anggota DPD dan calon kepala daerah independen. Sedangkan partai politik yang memiliki kursi di parlemen dengan sendirinya berhak mengikuti pemilu, karena sudah terbukti meraih suara (dukungan) yang cukup sehingga mendapatkan kursi di parlemen. Ketentuan ini tidak hanya adil bagi partai politik baru dan partai politik lama, tetapi juga memudahkan penyelenggara dalam memverifikasi persyaratan.
Mengubah Paradigma
Masalah utama jika hendak menggabungkan undang-undang pilkada ke dalam undang-undang pemilu adalah pandangan bahwa pilkada bukan pemilu. Pandangan ini sebetulnya sudah dipatahkan oleh Putusan MK No 72-73/PUU-I/2004 tanggal 22 Maret 2005 yang menyatakan bahwa pilkada adalah pemilu. Namun putusan tersebut dimentahkan sendiri oleh MK melalui Putusan MK No 97/PUU-XI/2013 tanggal 9 Mei 2014, yang menyatakan bahwa pilkada bukan pemilu.
Lahirnya putusan terakhir ini dilatarbelakangi oleh banyaknya kasus sengketa hasil pilkada yang masuk ke MK sehingga lembaga ini tercecer menangani kasus judicial review yang menjadi tugas pokoknya. Singkatnya, demi menghindari penanganan sengketa hasil pilkada MK menyatakan pilkada bukan pemilu. Jika memang itu masalahnya, menyerentakkan jadwal pilkada sesungguhnya menjadi solusi.
Bagaimanapun pandangan MK, pengaturan pilkada tetap bisa dimasukkan ke dalam undang-undang pemilu. Sebab baik pilkada maupun pemilu memiliki banyak kesamaan: asas, tujuan, pelaksanaan tahapan, dan model penegakan hukum. Bahkan pemilih dan penyelenggaranya pun juga sama. Sistem pemilu pilkada memang beda dengan sistem pemilu legislatif, tetapi sama dengan sistem pemilu presiden. Oleh karena itu undang-undang pilkada yang kini berlaku (UU No 1/2015 junto UU No 8/2016 junto UU No 10/2016) tinggal diadopsi ke dalam undang-undang pemilu baru nanti. []
DIDIK SUPRIYANTO
Penasihat Yayasan Perludem