September 13, 2024

Pahit Manis Rekomendasi Panwaslu

Kompleksitas relasi penyelenggara pemilu di Indonesia bertambah kasus. Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Kaimana tak meloloskan Bupati Kaimana, Matias Mairuma sebagai peserta di pilkada karena perbedaan tempat lahir yang tertera di berkas kependudukan dengan yang tertera di semua ijazah. Panwaslu Kaimana yang ikut menguatkan bukti ketaksesuaian berkas malah merekomendasikan KPU Kaimana meloloskan Matias Mairuma-Burhanudin Ombaer. KPU Kaimana bersikukuh menjalankan aturan pencalonan tapi KPU RI dan KPU Provinsi Papua Barat meminta KPU Kaimana menerima rekomendasi Kaimana.

“Apapun itu rekomendasi Panwaslu, mau pahit mau manis, terima saja,” kata Ketua KPU Kaimana, Hasbullah Furuada kepada rumahpemilu.org di Jakarta (5/11). Lelaki mantan anggota Panwaslu ini menirukan pernyataan komisioner KPU Papua Barat saat KPU Kaimana berkonsultasi.

Hasbullah menceritakan, petahana Bupati Kaimana, Matias Mairuma menyerahkan berkas pencalonan yang tak memenuhi syarat. Tempat lahir Matias yang tertera di berkas kependudukan adalah Kaimana sedangkan tempat lahir yang tertera di berkas pendidikan (ijazah) Matias adalah Tual (Provinsi Maluku). Berkas kependudukannya terdiri dari KTP dan akte kelahiran.

Sikap KPU Kaimana yang tetap menolak pencalonan Matias, disikapi dengan pengambilalihan kewenangan penyelenggaraan Pilkada Kaimana 2015 oleh KPU Papua Barat. KPU Kaimana menyesalkan sikap KPU RI dan KPU Papua Barat atas tindakan pengambilalihan kewenangan KPU Kaimana menjalankan tahapan pilkada. Pengambilalihan kewenangan ini tanpa surat pemberitahuan resmi dan masih terdapat ketidakjelasan atas putusan Panwaslu Kaimana.

“Pengambilalihan dilakukan secara paksa oleh KPU provinsi, padahal belum ada surat resmi,” kata Hasbullah (5/11).

Hasbullah menekankan, seharusnya tak semua rekomendasi Panwaslu diterima begitu saja. Ada rekomendasi yang benar dan ada yang salah. Menurutnya KPU Kaimana sudah melakukan verifikasi secara rinci, termasuk menyertakan data Gereja tempat Matias sebagai jemaat. Verifikasi pun melibatkan pihak Dinas Kependudukan, Dinas Pendidikan, juga termasuk Panwaslu Kaimana yang membenarkan ketaksesuaian berkas Matias.

“Pemeriksaan berkas sudah melibatkan semua pihak. Data Gereja yang membuktikan ketaksesuaian berkas Matias, kami (KPU Kaimana) dapatkan dari Panwaslu Kaimana,” tambah Hasbullah.

Matias Mairuma lalu melaporkan komisioner KPU Kaimana ke DKPP. Sebagai Teradu, Hasbullah bersama dua anggota KPU Kaimana, Aida Wahyuni dan Selina Sada dijatuhi hukuman pemberhentian tetap oleh DKPP.

Jurnalis rumahpemilu.org, Debora Blandina memberitakan penjelasan saksi ahli sidang etik, Zainal Arifin Mochtar (16/11). Menurut Zainal, memutus perkara laporan pasangan calon Matias Mairuma-Ismail Sirfefa bukan ranah Panwaslu. Dugaan pemalsuan dokumen yang dilakukan Matias Mairuma termasuk dalam kategori tindak pidana sesuai dengan pasal Pasal 179 UU 1/2015 tentang pemilihan Bupati, Gubernur, dan Walikota.

Arifin pun mengatakan, Pasal 30 huruf C UU 1/2015 dengan tegas telah membatasi kewenangan Panwaslu. Temuan dan laporan sengketa dalam kasus itu mengadung unsur tindak pidana sehingga bukan merupakan kewenangan Panwaslu untuk memutus.

Direktur eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini mengatakan, KPU sebagai lembaga nasional, tetap, dan mandiri tak bisa menyeragamkan sikap KPU provinsi dan kabupaten/kota terhadap rekomendasi Panwaslu. Ada rekomendasi yang benar dan ada yang salah.

“Seharusnya makna nasional, tetap, dan mandiri bisa KPU bisa mengupayakan kebenaran tahapan pilkada yang dijalankan KPU provinsi kabupaten/kota,” kata Titi.

Sengkarut penyelenggara pemilu

Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Didik Supriyanto berpendapat, permasalahan mendasar dari keadaan pilkada tersebut adalah karena banyaknya lembaga penyelenggara pemilu. Menurutnya, Indonesia tak seperti negara demokratis lain yang hanya mempunyai satu lembaga penyelenggara pemilu. Pada Pemilu 1999, 2004, dan 2009 Indonesia membentuk dua lembaga penyelenggara, KPU dan Pengawas pemilu. Lalu 2014 menjadi tiga lembaga: KPU, Bawaslu dan DKPP.

Ketiganya diposisikan sebagai lembaga yang saling bersaing dalam proses penyelenggaraan pemilu. KPU sebagai lembaga pengambil keputusan atas proses dan hasil pemilu, tetapi keputusannya bisa dipersoalkan Bawaslu, dan DKPP. Di Pilkada 2015 ini berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, lembaga adhoc bentukan Bawaslu bernama Panwaslu bisa memutuskan sengketa secara final dan mengikat.

Relasi Bawaslu dan DKPP bukan lembaga peradilan. Meski begitu, relasi lemabaga pengawas negara dengan dewan etik membuat KPU kehilangan karakternya yang mandiri. Dewan etik DKPP bisa menentukan masa jabatan komisioner KPU.

International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) menetapkan karakter lembaga penyelenggara pemilu yang bisa mewujudkan pemilu jujur dan adil. 1. Independen dan tak berpihak; 2. Transparan-akuntabel; 3. Cepat berkeputusan; 4. Efisien dan efektif; 5. Profesional; 6. Bermasa jabatan; 7. Berstruktur; 8. Berpembiayaan jelas; 9. Ber-tugas/fungsi menyelenggarakan; 10. Beranggota dengan komposisi dan kualifikasi ketat; dan 11. Ber-kewenangan/ tanggungjawab kepada pihak berkepentingan.

Karakter lembaga penyelenggara pemilu IDEA itu tak sesuai dengan perwujudan lembaga penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Tiga lembaga penyelenggara pemilu jelas tak efisien dan tak efektif. Tiga lembaga penyelenggara pemilu pun membuat kemandirian KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu utama dan konstitusional menjadi lemah.

Pakar tata negara, M. Fajrul Falakh berpendapat, redaksi “komisi pemilihan umum” dalam konstitusi perwujudannya adalah KPU. Lembaga penyelenggara pemilu yang konstitusional menurutnya adalah KPU.

“Kalau KPU ada, pemilu masih bisa ada dan jalan. Tapi kalau Bawaslu dan DKPP tak ada, pemilu masih bisa jalan,” Didik menegaskan. []

USEP HASAN SADIKIN