September 13, 2024

Pasal-pasal Bermasalah UU Pemilu

Kompleksitas Pemilu 2019 tak hanya soal keserentakan pemilu eksekutif dan pemilu legislatif tapi juga karena banyak pasal bermasalah dalam undang-undang pemilunya. Pemilu serentak pertama di Indonesia ini tinggi potensi tersendat mengganggu tahapan. Kepercayaan rakyat sebagai pemilih kedaulatan demokrasi terhadap proses dan hasil pemilu bisa rendah.

“Di samping kesalahan minor dalam penulisan, pasal-pasal dalam UU Pemilu bermasalah karena bertentangan dengan Putusan MK (Mahkamah Konstitusi) dan ada yang tak relevan dengan konteks pemilu serentak,” kata peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Catherine Natalia di Sekretariat Perludem, Jakarta Selatan (31/8).

Pasal-pasal bermasalah ini tetap ada meski sebelum RUU Pemilu pasca-Paripurna menjadi UU No.7/2017 dilakukan sejumlah perbaikan penulisan. Ternyata, masih ada masalah penulisan dan sejumlah konten.

Undang-undang No.7 Tahun 2017 sebetulnya menjawab kebutuhan regulasi untuk keserentakan. Undang-undang kepemiluan yang sebelumnya berserak akan bertentangan dengan penyelenggaraan pemilu serentak tahun 2019. Tapi, perbaikan UU No.7/2017 lebih pada aspek keserentakan saja sedangkan banyak ketentuan lainnya malah bermasalah sehingga UU No.7/2017 tak lebih baik dibanding UU pemilu sebelumnya.

Bertentangan Putusan MK

Setidaknya ada tiga pasal yang bertentangan dengan Putusan MK. Pertama, Pasal 173 ayat (3) tentang verifikasi partai politik (parpol) dan Pasal 222 tentang ambang batas pencalonan presiden. Keduanya cukup sistemik berpengaruh pada tahapan penyelenggaraan pemilu serentak.

Pasal 173 ayat (3) bertuliskan: Partai politik yang telah lulus verifikasi dengan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diverifikasi ulang dan ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu.

Pasal itu mendorong penyelenggara pemilu membedakan perlakuan parpol untuk menjadi peserta pemilu. Ketua Komisi Pemilihan Umum, Arief Budiman menekankan, semua parpol akan diverifikasi secara administratif tapi hanya parpol yang pada Pemilu 2014 tak diverikasi faktual.

“Kalau di draft (Peraturan KPU) kita, dua-duanya (parpol peserta pemilu 2014 dan bukan) diverfikasi tapi yang satu diverifikasi administratif saja yang satu diverfikasi administrasi dan faktual. Kecuali, untuk daerah yang dibentuk setelah 2014, seluruh partai akan dilakukan verifikasi administrasi dan faktual,” kata Arief (22/8).

Padahal Putusan MK Nomor 52/PUU-X/2012 saat penyelenggaraan Pemilu Legislatif 2014 telah membatal pembedaan perlakuan parpol untuk menjadi peserta pemilu. Menurut MK, Pasal 8 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU No.8/2012 tentang Pemilu Anggota DPR DPD, dan DPRD bertentangan dengan UUD 1945.

Sejumlah parpol di luar peserta Pemilu 2014 telah mengajukan judicial review pasal verifikasi UU No.7/2017. Menurut Partai Solidaritas Indonesia dan Partai Persatuan Indonesia (Perindo), pasal tersebut diskriminatif.

Pasal 222 tentang ambang batas pencalonan presiden pun digugat sejumlah partai politik. Partai Islam Damai dan Aman (Idaman) dan Partai Indonesia Kerja (Pika) telah mengajukan judicial review ke MK.

Pasal 222 UU No.7/2017 berbunyi: Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

Pasal itu sama dengan Pasal 187 ayat (5) UU No.42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang sudah tak berlaku melalui Putusan MK mengenai pemilu serentak. Selain itu, persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dan memperoleh 25% suara sah nasional pemilu anggota DPR sebelumnya (Pileg 2014) sudah dipakai mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden Pilpres 2014.

Kedua pasal tersebut jika disikapi MK dengan Putusan mengabulkan semua permohonan pemohon dan memberlakukan untuk Pemilu 2019, maka tahapan verifikasi akan mulai dari awal. Karena, tahapan verifikasi parpol peserta pemilu menyertakan pasangan bakal calon presiden-wakil presiden yang diusung parpol atau gabungan parpol.

Jika keadaannya itu, waktu verifikasi bertambah sempit sedangkan jumlah parpol yang harus diverifikasi bertambah bisa tiga kali lipat lebih banyak. Jika KPU tak menyediakan PKPU berdasar ragam keadaan, tahapan pemilu akan berantakan sehingga kepercayaan pemilih terhadap proses dan hasil pemilu bisa rendah.

Ketentuan bermasalah

Selain yang bertentangan dengan MK, ada juga pasal yang ketentuannya bermasalah. Di antaranya, kewenangan pembentukan daerah pemilihan Pemilu DPRD provinsi yang sebelumnya ada di KPU provinsi malah hilang dan menjadi kewenangan DPR.

Pasal 189 ayat (5) UU No.7/2017 bertuliskan: Daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.

Ketentuan ini rentan digugat juga ke MK. Salah satu anggota KPU 2012-2017,  Hadar Nafis Gumay sebagai salah satu pihak yang berkeinginan mengguat mengatakan, penataan dapil DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota seharusnya menjadi kewenangan penyelenggara pemilu (KPU), bukan anggota/fraksi DPR yang berpotensi menjadi peserta pemilu.  UU No.7/2017 malah mengalami kemunduran dari kewenangan itu.

MK pun berkemungkinan mengabulkan permohonan perubahan terhadap Pasal 189 ayat (5) UU No.7/2017. Penataan dapil harus memperhatikan prinsip kesetaraan populasi antar-daerah pemilihan dan harus menghilangkan gerrymandering atau pembentukan dapil yang sistematis dan berpola menguntungkan pihak tertentu.

Kemungkinan MK itu perlu diantisipasi KPU. Selain dengan menyiapkan rancangan PKPU berdasar kondisi MK yang mengabulkan permohonan mengubah kewenangan pembentukan dapil, KPU pun bersama KPU provinsi sudah menyiapkan dapil Pemilu DPRD provinsi untuk 2019.

Lalu ada Pasal 351 ayat (8) yang berbunyi: Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilatih oleh Bawaslu. Jumlah daerah dan saksi yang terlampau banyak akan membebani Bawaslu sedangkan tanggung jawab lembaga pengawas ini dalam UU No.7/2017 bertambah di konteks pemilu serentak yang kompleks.

Selain pasal-pasal yang bertentangan dengan Putusan MK dan berkentuan bermasalah, masih ada pasal-pasal bermasalah lainnya. Perludem dengan kajian terhadap UU No.7/2017 menemukan sejumlah permasalahan. Pasal 10 ayat (8) tentang pengucapan sumpah dan janji ketua dan anggota KPU tapi belum ada ketua KPU. Pasal 235 ayat (5) soal sanksi yang diberikan parpol peserta pemilu yang tak mengusung calon presiden-wakil presiden.

Pasal 287 ayat (5) soal larangan media massa di masa tenang. Pasal 416 ayat (1) tentang syarat keterpilihan presiden-wakil presiden jika hanya ada dua pasangan calon. Pasal 433 ayat (3) tentang potensi kecurangan petahana dalam kewenangannya menentukan dapil saat pemilu lanjutan atau susulan. Pasal 449 ayat (2)dan lainnya. []

USEP HASAN SADIKIN