November 15, 2024

Pelanggaran Netralitas ASN di Media Sosial Paling Banyak Terjadi

Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI, Rahmat Bagja mengatakan, pelanggaran netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) paling banyak terjadi di media sosial, atau sebesar 40 persen. Hal tersebut dinilai terjadi lantaran kurangnya sosialisasi Surat Keputusan Bersama (SKB) Netralitas ASN, bahwa menunjukkan keberpihakan di media sosial merupakan suatu pelanggaran. Menyukai postingan kampanye calon, atau berkomentar menunjukkan keberpihakan termasuk pelanggaran netralitas.

“Teman-teman ASN kadang tidak sadar kalau keberpihakan kepada calon di media sosial itu bentuk keterbukaan yang bersangkutan kepada publik. Biasanya ASN suka like postingan calon tertentu. Ada juga yang komen, wah ini calon pilihan gue nih. Boleh gak ASN berpihak? Boleh, di bilik suara, tetapi tidak boleh menunjukkan keberpihakannya,” terang Bagja pada diskusi “Jaga Netralitas dan Stabilitas  Pilkada 2024”, yang disiarkan oleh TVRI Nasional (2/7).

Selain itu, Bagja menyampaikan bahwa telah ada beberapa sekretaris daerah (sekda) yang mendapatkan sanksi peringatan sedang. Beberapa sekda dilaporkan aktif mendekati partai politik untuk mendapatkan dukungan pencalonan di Pilkada Serentak 2024. Sanksi kepada ASN akan tercatat di Badan Kepegawaian Negara (BKN), dan hal tersebut akan berpengaruh pada kenaikan pangkat dan golongan ASN.

“Di ASN itu, kalau sudah ada catatan, maka itu berpengaruh pada DP3 (Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan) track record yang bersangkutan. Walaupun dikasih sanksi peringatan, itu akan jadi bahan pertimbangan untuk kenaikan pangkat dan golongan. Jadi, semua akan tercatat,” tandas Bagja.

Tak hanya pegawai negeri sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) yang menjadi objek pengawasan netralitas ASN oleh Bawaslu, tetapi juga termasuk pegawai honorer. Dalam perjanjian kerja dengan instansi negara, pegawai honorer telah berkomitmen untuk tidak menunjukkan keberpihakan politik. Namun demikian, Bawaslu tak dapat mengawasi pegawai Badan Usaha Milik Negara atau Daerah (BUMN/D). Pegawai BUMN/D tidak termasuk PNS dan P3K.

“Dengan karyawan BUMN, walaupun menjadi persoalan karena mereka menggunakan anggaran negara, tetapi tidak masuk dalam kategori PNS dan P3K. Ini yang jadi persoalan. Jadi, memang ada keterbatasan regulasi sehingga membatasi kita dalam melakukan pengawasan,” tutup Bagja. []