November 10, 2024

Pembatasan Hak Pilih TNI/Polri di Indonesia, Masihkah Dipertahankan?

Tak ada norma yang mengatur agar hak pilih bagi anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan anggota Kepolisian RI (Polri) tak digunakan di Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu. Hal ini berbeda dari pengaturan pembatasan hak pilih bagi anggota TNI dan Polri yang telah diatur di UU Pemilu dan Pilkada selama 48 tahun. Hal tersebut memicu diskusi terkait perizinan penggunaan hak pilih bagi anggota TNI dan Polri.

Sejarah hak pilih bagi anggota TNI/Polri

Pada pemilu pertama yang dilaksanakan di Indonesia, yakni Pemilu 1955, hak bagi anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) diberikan dan diizinkan untuk digunakan. Begitu juga dengan hak untuk dipilih. Anggota ABRI yang maju sebagai calon anggota legislatif (caleg) tak mesti mengundurkan diri sebagai anggota ABRI.

“Pada 1955, TNI Polri gak dicabut hak pilihnya. Mereka memilih,” kata Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Kota Banda Aceh, Indra Milwady, pada diskusi “Hak Pilih TNI dan Polri dalam Pemilihan Umum” (25/11).

Regulasi kemudian berubah pada pemilu di masa Orde Baru. Pasal 11 UU No.15/1969 menyebutkan “Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilih”. Aturan ini terus dipertahankan hingga di UU Pemilu No.7/2017, dengan nama instansi yang berubah menjadi TNI dan Polri.

“Jadi, ada hak pilihnya, tapi tidak digunakan,” tutur Indra.

Adapun di masa Orde Baru hingga 2004, terdapat perwakilan ABRI di parlemen. Anggota Fraksi ABRI ditunjuk oleh institusi ABRI.

Hak memilih bagi militer di negara lain

Pembatasan hak memilih bagi anggota militer, dari data International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA), hanya dilakukan oleh Indonesia dan Kongo. Negara lain, seperti Rusia, Amerika Serikat, Kanada, Australia, Swedia, Inggris, Vietnam, Thailand, Filipina, Jerman, Israel, Prancis dan Korea Selatan, tidak melakukan pembatasan hak pilih bagi anggota militer.

Indra menyampaikan bahwa di negara-negara tersebut, anggota militer diberikan kekhususan memilih. Salah satunya dapat memilih di barak militer. Di Kanada misalnya, pemungutan suara dilakukan di barak militer, namun suara tersebut dikumpulkan dan dihitung di TPS di ibukota.

“Tapi ini ya harus hati-hati. Misal nanti di barak itu yang menang partai A, di barak lain yang menang partai B, langsung bisa ketahuan dan anggota militer bisa jadi terkotak-kotakkan,” ujar Indra.

Selain itu, pemungutan suara anggota militer juga bisa dilakukan via pos. Metode pemilihan lewat pos sendiri awalnya memang diperuntukkan bagi anggota militer pada masa pemerintahan Abraham Lincoln.

“Memilih lewat pos itu kan awalnya metode pemilihan yang diberikan oleh tentara. Pada masa Abraham Lincoln,” tandas Indra.

Khawatir profesionalitas TNI/Polri terganggu

Persoalan anggota TNI/Polri yang didiskusikan boleh atau tidak menggunakan hak pilihnya di Pemilu 2024, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati menilai belum waktunya. Diizinkannya anggota TNI/Polri untuk menggunakan hak pilih dapat memperuncing segregasi dan konflik politik di masyarakat.

“TNI/Polri ini kan punya fungsi untuk pencegahan konflik di masyarakat, menjaga ketertiban, dan menjaga kesatuan dan persatuan bangsa. Nah, kalau misalnya diberikan hak pilih yang bisa digunakan,  malah bisa terjadi konflik batin dan dikhawatirkan akan semakin memperkeruh situasi yang sudah terfragmentasi tadi,” terang Ninis pada diskusi yang sama.

Kekhawatiran Ninis juga diutarakan oleh Direktur Reserse Kriminal Umum Polisi Daerah Aceh, Sonny Sanjaya. Jika hak pilih boleh digunakan oleh anggota TNI/Polri, ia mengaku khawatir tak dapat menjalankan tugas secara profesional dan proporsional. Preferensi individu berpotensi menyebabkan perlakuan berbeda terhadap kandidat.

“Saya sebagai pribadi tidak akan fokus untuk mengamankan. Karena, ah ini sekarang jagoan saya nih kampanye. Di situ akan terjadi konflik di internal saya. Kalau melanggar-melanggar dikit gak papa lah. Saya seneng sama dia. Lalu kalau ini lawan jagoan saya, perlakuannya beda. Namanya juga manusia. Siapa yang bisa cegah manusia di dalam hatinya?” urai Sonny.

Syarat pemberian penggunaan hak pilih bagi anggota TNI/Polri

Ninis menyampaikan beberapa syarat sebelum hak pilih bagi anggota TNI/Polri diizinkan untuk digunakan. Pertama, bahwa institusi TNI dan Polri harus menunjukkan profesionalitas dengan minimnya konflik internal dan eksternal.

“Jadi, harus diuji dulu. Ada survei internal misalnya, atau kajian yang mendalam yang menunjukkan bahwa TNI Polri sudah siap,” kata Ninis.

Kedua, untuk meminimalisir terjadinya mobilisasi atau pemanfaatan TNI/Polri sebagai kekuatan politik baru, maka institusi TNI dan Polri mesti dipimpin oleh individu yang lahir pada masa Reformasi agar yang bersangkutan memiliki cara pandang baru terhadap demokrasi.

Ketiga, pemberian pendidikan demokrasi dan politik kepada seluruh anggota TNI dan Polri guna menghilangkan cara pandang lama terhadap politik atau dalam sejarah dikenal istilah dwifungsi ABRI.

Keempat, izin bagi anggota TNI/Polri untuk menggunakan hak pilih tidak hanya diatur di UU Pemilu, namun juga di UU tentang TNI dan Polri.